Floresa.co – Ada kabar tak sedap yang menghinggapi dunia pendidikan di Nusa Tenggara Timur (NTT). Ini bukan lagi soal kualitas pendidikan yang masih saja rendah jika disandingkan dengan standar nasional. Tapi, ini soal moralitas para peserta didik.
Sebuah survei baru-baru ini melahirkan kejutan, karena ada temuan, di mana anak-anak di usia remaja ikut berlomba-lomba menghasilkan video mesum.
Survei ini digelar oleh Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) dan lembaga non-profit OnTrack Media Indonesia (OTMI).
Akhir pekan lalu, mereka merilis survei tentang perilaku mesum remaja SMP dan SMA di beberapa kabupaten di NTT.
Alhasil,sebanyak 29,5 – 31,3 persen remaja NTT melakukan hubungan seksual pranikah dan sekitar 60 persen di antaranya tanpa menggunakan alat pengaman.
Yang lebih miris lagi, muncul fenomena bahwa siswa/i SMP dan SMA di NTT justru bisa membuat film porno untuk kemudian dilombakan di antara mereka.
Direktur OnTrack Media Indonesia (OTMI), Imelda Theresia mengatakan, pada survei OTMI, tim telah melakukan kegiatan focus group discussion (FGD) kepada para siswa, guru dan orang tua.
Dari kegiatan itu ditemukan fakta-fakta seperti, minimnya komunikasi antara siswa, guru dan orang tua, adanya pembuatan video porno berseri disalah satu SMP di Kabupaten Kupang, NTT dan ada juga menceritakan tentang para siswa yang merasa bangga jika berpacaran dengan tukang ojek atau sopir angkot.
“Kami temukan ada siswa yang memproduksi film dewasa untuk dilombakan dengan teman-teman lainnya,” kata Imelda Theresia pada saat meluncurkan program “Mari Kita Bicara” di aulah Dinas Pendidikan dan Kebudayaan NTT.
OTMI menemukan itu saat melakukan survei yang digelar sejak Oktober 2014. Survei itu, menurut Imelda, dilakukan di 16 sekolah yang tersebar di empat kabupaten di NTT, yakni Kabupaten Kupang, Belu, Manggarai dan Manggarai Barat. Jumlah responden survei tersebut sebanyak 450 orang siswa.
Menurut Imelda, siswa SMP itu memproduksi film dewasa untuk dilombakan dengan teman-teman lainnya.
Film itu dibuat di tepi pantai, lalu disebarkan ke teman-teman lainnya menggunakan telepon seluler. Film itu sendiri direkam menggunakan telepon seluler.
Film itu pertama diprakarsai oleh siswi SMA dengan melibatkan siswa-siswi SMP di Kabupaten Kupang.
Imelda mengkhawatirkan kasus itu. Karena itu, kata Imelda, perlu diambil tindakan sejak dini agar tidak meluas dan menyebar ke semua sekolah.
Temuan survei ini setidaknya menjadi peringatan bagi siapapun yang bersentuhan dengan dunia pendidikan di NTT.
Tentu tantangannya besar, karena menanamkan nilai-nilai di tengah menjamurnya media komunikasi dan informasi tidaklah mudah. Lantas, butuh usaha ekstra keras dari semua pihak.
Lembaga pendidikan, lembaga agama, dan terutama keluarga yang diandaikan menjadi penyanggah moralitas publik, diharapkan melihat ini sebagai problem besar yang mesti disikapi serius.