Media Sosial, Demokrasi dan Pilkada

Baca Juga

Lantas, alih-alih diharapkan menjadi sarana demokratisasi demi peningkatkan partisipasi politik warga, media sosial malah menjadi “dalang” timbulnya “ketidakenakan” sosial menjelang Pilkada.

Akibatnya, demoralisasi publik melalui media sosial pun sulit dibendung.  Dengan demikian, media sosial mengalami degradasi nilai.

Deliberasi

Idealnya media sosial tidak hanya menjadi wadah ekspresi politik secara liberal, tetapi juga serentak menjadi perangkat deliberalisasi.

Artinya, kebebasan penggunanya mesti disertai dengan kesadaran untuk tidak terjebak dalam dehumanisasi dan demoralisasi publik.

Untuk konteks Indonesia, ukuran yang paling tepat untuk menilai arti dari kebebasan adalah Pancasila sebagai dasar dan filsafat Negara, bahkan way of life masyarakat Indonesia (Arifin: 2011).

Jika kesadaran untuk menjaga keharmonisan tidak menjadi bagian integral dari ekspresi kebebasan, maka kebebasan itu sesungguhnya melawan esensi Pancasila.

John Dewey ada benarnya, bahwa demokrasi tak hanya berkaitan dengan bebebasan, tetapi juga berpilin erat dengan ketertiban dan keteraturan.

Menjelang Pilkada, rakyat memang bebas mengekspresikan diri termasuk mengungkapkan pikiran melalui media sosial. Sebab hal ini merupakan bukti bahwa mereka memiliki sensilibilitas sosial. Tetapi, sekali lagi, tidak boleh mengabaikan etika publik.

Di media sosial, bukan etika pribadi saja yang diungkapkan, tetapi etika pribadi yang berelasi secara erat dengan etika publik.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kawan-kawan bisa berdonasi dengan cara klik di sini.

Terkini