Sebab jika demikian, partisipasi politik warga hanya terjadi saat pemilihan. Selebihnya masyarakat tidak tahu, sebab tidak memiliki akses untuk itu. Bukan tidak mungkin, demokrasi seperti ini akan mengabaikan diskursus kritis publik.
Itu berarti, demokrasi menjadi milik kelompok elite dan mengabaikan hal esensial yaitu rakyat. Akibatnya, demokrasi “dikapitalisasi” dan “dikapling-kapling” menjadi milik orang-orang tertentu serta menjadi instrumen demi mencapai kepentingan parsial tertentu pula. Praksis demokrasi, dengan demikian, melawan hakikatnya sendiri.
Di sinilah peran media sosial amat urgen. Jika selama ini, ada empat pilar demokrasi yaitu legislatif, yudikatif, eksekutif dan media massa, kini media sosial merupakan pilar kelima yang telah menjadi bagian integral dari pendewasaan demokrasi.
Sebagai pilar kelima, media sosial menjadi forum diskusi politik bersama, dimana setiap orang bebas menggunakannya tanpa represi. Media sosial menjadi medium bagi rakyat untuk mengawasi sistem demokrasi yang salah kaprah dan berusaha mengembalikannya kepada fitrahnya.
Melaluinya, rakyat berusaha untuk mengajukan gugatan, memberikan kritik dan berpartisipasi dalam praksis restoratif. Media sosial kini telah menjadi wadah bersama yang mengkritisi sekaligus mengevaluasi “kepincangan” demokrasi dan menentang berbagai praktik “kekhilafan” pembangunan.
Saya meyakini bahwa keberadaan media sosial benar-benar telah dan menjadi pilar kelima demokrasi serta bertranfromasi menjadi kekuatan alternatif yang siap sedia menggonggong “ketakteraturan” sosial. Media sosial telah menjadi “batu penjuru” yang menopang Pilkada.
Degradasi
Menjelang Pilkada serentak, media sosial kian memiliki peran penting. Ada banyak calon pemimpin yang memaparkan misi-misi mereka kepada publik lewat media sosial. Tanggapan atas visi-misi itu pun disampaikan secara langsung, terbuka dan tanpa memakai prosedur yang rumit.