Oleh: Martin Elvanyus De Porres
Pada 9 Juni 2024, sejumlah petani Suku Soge dan Goban di Kabupaten Sikka, Provinsi Nusa Tenggara Timur menggelar aksi demonstrasi di area perkebunan Nangahale, hal yang menandai belum berakhirnya konflik lahan itu selama beberapa dekade dengan lembaga keagamaan Gereja Katolik.
Aksi damai itu ini merupakan yang kesekian kalinya, sebagai protes atas penguasaan tanah tersebut oleh PT Krisrama [Kristus Raja Maumere], sebuah perusahaan milik Keuskupan Maumere, pasca berakhirnya Hak Guna Usaha [HGU] pada 2013.
Masyarakat adat Soge dan Goban meyakini bahwa tanah eks HGU Nangahale dengan luas 868.730 hektare itu adalah ulayat mereka. Karena itu, mereka menuntut agar tanah tersebut dikembalikan kepada mereka.
Namun, PT Krisrama masih terus menguasainya dan sedang memproses permohonan pengurusan HGU baru.
Di tengah situasi ini, masyarakat adat Soge dan Goban dalam lingkup etnis Tana Ai mempertanyakan legalitas aktivitas perusahaan.
Persoalan Sejak Era Kolonial
Penguasaan tanah itu oleh Gereja Katolik bisa dilihat mundur ke awal abad ke-20.
Pada 1912, di bawah payung hukum Undang-Undang Agraria tahun 1870, sebuah perusahaan Belanda meneken kontrak untuk mengembangkan tanaman kapas di Nangahale.
Penguasa lokal dengan bantuan Pemerintah Hindia Belanda kemudian mengusir keluarga Soge dan Goban dari tanah dataran rendah Nangahale.
Mereka pun tersebar di sekitar bukit yang rentan dengan banjir.
Krisis ekonomi dunia menyebabkan perusahaan kapas itu gulung tikar.
Pada 1924, Vikariat Apostolik Kepulauan Sunda Kecil, otoritas Gereja Katolik pada zaman kolonial Belanda yang wilayahnya mencakup Flores, membelinya lalu mengembangkan perkebunan kelapa.
Setelah kemerdekaan Indonesia, pada 1987, wilayah itu yang secara administratif diurus Keuskupan Agung Ende mendirikan PT Perkebunan Kelapa DIAG.
Perusahaan ini mendapat status legal HGU dari pemerintah Orde Baru selama 25 tahun, lewat SK HGU 01/Kabupaten Sikka pada 1989.
Sejak pembentukan Keuskupan Maumere pada 2005, pengelolaannya dialihkan ke keuskupan tersebut yang wilayahnya mencakup Kabupaten Sikka.
Penting dicatat bahwa selama penguasaan oleh Gereja Katolik pada masa pemberlakuan izin HGU itu, masyarakat adat telah berjuang mengklaim tanah tersebut, setidaknya sejak tahun 1990-an.
Sejumlah pemangku suku, didukung sejumlah lembaga swadaya masyarakat, bertemu baik pihak pemerintah daerah dan nasional maupun Gereja Katolik guna membicarakan hak legitimnya.
Pada awal 2000, sejalan dengan era Reformasi, komunitas adat itu menginisiasi demonstrasi massal di Maumere. Beberapa anggotanya lantas dipersekusi atas tuduhan agitasi.
Upaya Reklaim Atas Tanah
Pasca masa kontrak HGU berakhir, suku Soge dan Goban kian gencar berjuang. Dalam pandangan mereka, perusahaan mesti rendah hati dan segera angkat kaki jika tidak mau dianggap beroperasi ilegal.
Mereka pun memobilisasi diri dan secara komunal membangun pemukiman di tengah perkebunan eks HGU.
Perjuangan masyarakat dalam tahap ini melibatkan lebih banyak orang dari beberapa desa di sekitar.
Partisipasi tersebut dimungkinkan karena adanya gerakan yang terorganisir yang diikat oleh cerita hidup yang sama, yaitu hilangnya hak asal-usul atas tanah karena dirampas oleh pihak lain.
Mereka juga menganggap bahwa selama era HGU, perusahaan hanya mengurus kelapa, bukan termasuk lahan yang belum dikelola.
Bagi masyarakat, mereka tidak sedang melawan gereja atau negara. Mereka hanya ingin mekanisme distribusi lahan yang adil.
Namun, perjuangan mereka lagi-lagi tidaklah mudah.Mereka mengalami ketegangan sehari-hari dengan para mandor perusahaan.
Mereka malah dituduh mencuri buah kelapa. Aktivitas mereka pun dipantau dengan ketat. Stereotip sebagai penyerobot lahan juga dilabelkan kepada mereka.
Upaya yang Gagal
Pemerintah Kabupaten Sikka sempat membuat langkah terobosan ketika pada 2020, Bupati Roby Idong mengeluarkan SK No. 134/HK/2020 tentang Tim Terpadu Penyelesaian Konflik dan mengajak masyarakat adat berunding.
SK ini merupakan bagian dari “kontrak politik” sewaktu bupati itu berkampanye di Nangahale menjelang pilkada 2018.
Namun, tim itu kemudian dianggap gagal karena konflik terus memanas.
Salah satu indikatornya ketika pada 2022 Badan Pertanahan melakukan pemasangan pilar, bagian dari upaya meloloskan perpanjangan HGU, tanpa persetujuan masyarakat adat.
Langkah itu bersamaan dengan opsi membagi lahan itu ke dalam empat bagian, yaitu untuk HGU, masyarakat adat, konservasi dan cadangan negara.
Masyarakat adat melawannya karena mereka hanya diberi 92 hektare untuk sekitar 1.000 kepala keluarga. Sisanya untuk HGU 302 hektare, sementara untuk konservasi dan tanah cadangan negara luasnya belum ditetapkan.
Penolakan warga adat juga menguat setelah beredarnya informasi bahwa sekitar Mei atau Juni 2022, Bupati Sikka, Roby Idong dan Uskup Maumere, Mgr. Ewaldus Martinus Sedu dilaporkan menemui Menteri ATR/BPN dan memohon pembaruan HGU seluas 380 hektare dari sebelumnya hanya 302 hektare.
Ketegangan ini disertai intimidasi yang menyasar sejumlah aktivis yang membantu perjuangan masyarakat adat.
Dalam aksi unjuk rasa di Maumere pada 18 Januari 2022, terjadi kericuhan, di mana seorang oknum aparat keamanan memukul seorang warga adat.
Selain itu, rumah seorang pekerja sosial dan kemanusiaan di Maumere tiba-tiba dikepung oleh sejumlah “preman.” Mereka menuduhnya menghasut warga adat merusak pilar batas tanah yang sebelumnya telah dipasang oleh pihak pemerintah.
Keterlibatan kelompok “preman” ini membuat konflik struktural berubah menjadi soal horizontal.
Warga Adat Butuh Tanah
Hingga hari-hari ini, kisah panjang konflik tanah warisan masa kolonial Belanda ini terus berada dalam ketegangan.
Intervensi negara, termasuk dari Pemerintah Kabupaten Sikka, DPRD, Komnas HAM dan Kementerian Agraria dan Tata Ruang Badan Pertanahan Nasional tidak mencapai titik temu.
PT Krisrama terus menggunakan upaya intimidatif dan represif serta tuduhan yang bersifat stereotipe kepada warga adat.
Dalam kondisi ini, warga adat Soge dan Goban terus mengambil tindakan dengan cara mereka sendiri. Apalagi, mereka mendapati pihak perusahaan terus mengembangkan teritorinya guna meniadakan tempat tinggal mereka.
Di tengah-tengah perkebunan kelapa misalnya, terdapat hamparan sawah yang dikerjakan para buruh perusahaan dan areanya terus diperluas dari hari ke hari.
Warga membalasnya dengan menutup saluran air, bahkan berkonfrontasi langsung dengan pastor kepala perkebunan yang kadangkala muncul dengan ekskavator untuk menggarap tanah kosong.
Kendati mendapat kriminalisasi dari aparatur negara, polisi dan tentara pasca melakukan tindakan “pendudukan kembali” tersebut, warga adat terus melakukan resistensi, ditandai dengan masifnya bangunan pemukiman, sebagian besarnya terbuat dari bambu.
“Kami juga tahu diri. Apa yang menjadi hak kami dan apa hak mereka,” demikian kepala suku Soge bertutur suatu ketika kepada saya.
Konflik ini menunjukkan dua perbedaan cara pandang. Di satu sisi, masyarakat adat terus berharap dan membayangkan alokasi tanah yang adil.
Sementara pada sisi lain, perusahaan milik Gereja Katolik terus bertahan meski belum ada izin, bersemangat melakukan ekspansi ruang dan menyingkirkan hak-hak kewargaan.
Perusahaan juga berusaha terus memanfaatkan jalur legal formal agar mendapatkan izin secepatnya.
Entah sampai kapan otoritas Gereja Katolik mau duduk bersama warga adat untuk mencari penyelesaian yang adil dalam konflik berkepanjangan ini.
Martin Elvanyus De Porres adalah penulis dan peneliti lepas. Sebelumnya bekerja sebagai jurnalis dan redaktur Ekora NTT dan pernah mengajar Antropologi Budaya di Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif Ledalero.
Editor: Ryan Dagur