Floresa.co – Di tengah perayaan Hari Paskah yang sunyi tahun ini – sebagai dampak Covid-19 – hari Minggu, 12 April, sebuah video beredar di media sosial, di mana seorang pemuda yang berbicara dengan latar belakang teman-temannya yang duduk dan muka tampak memar, mengisahkan peristiwa kekerasan yang mereka alami.
Belakangan diketahui bahwa pemuda dalam video itu adalah Edo Mense, yang pada Sabtu malam, 11 April bersama delapan rekannya bertengkar dengan anggota Polres Mabar. Mereka kemudian dipukul, hingga mengalami luka di wajah dan kepala.
BACA: Lewat Video, Pemuda di Labuan Bajo Kisahkan Pemukulan oleh Polisi
Menyusul ramainya video itu, polisi kemudian menyampaikan klarifikasi pada Minggu malam dan menyebut memang ada ‘tindakan tegas’ terhadap para pemuda itu, namun tidak ada elaborasi lebih lanjut bentuk tindakan tegas yang dimaksud.
Dikatakan bahwa para pemuda itu yang sedang berkumpul dan meminum sopi, melawan saat diminta untuk bubar, yang membuat mereka dipaksa dibawa ke kantor polisi.
Sementara keterangan berbeda disampaikan Edo, di mana katanya, mereka sempat dimaki oleh polisi, yang membuat ia memberi teguran kepada para aparat itu agar menjunjung tinggi etika dalam bertugas. Edo juga mengatakan bahwa mereka dipukul di kantor polisi – keterangan yang tidak disinggung eksplisit dalam penjelasan Kapolres Mabar, AKBP Handoyo Santoso.
Menurut Edo, yang adalah warga di Labuan Bajo, malam itu, ia menemui teman-temannya yang baru pulang dari daerah terpapar Covid-19. Teman-temannya itu tidak mendapat tempat untuk menumpang di Labuan Bajo sebelum mereka akan ke kampung masing-masing. Keluarga-keluarga mereka, klaim Edo, menolak menerima kehadiran mereka.
Kasus kekerasan yang menimpa para pemuda itu telah melahirkan beragam reaksi. “Ini terlalu berlebihan, seharusnya polisi tidak bertindak anarkis begini,” kata Hermina Goretti, ibu dari Edo.
Ketua Himpunan Pemuda dan Mahasiswa Manggarai Barat (Hipmmabar) Jakarta, Fernandes Nato juga menyampaikan kritikan dengan nada yang sama, yang meminta polisi sebaiknya mengedepankan cara-cara humanis berhadapan dengan masyarakat.
“Tentu sebagai masyarakat kita sangat menghormati aparat penegak hukum bila mereka menindak masyarakat yang bandel dan tidak taat asas. Namun, penindakan itu tidak harus dipukul dan lain sebagainya, apalagi sampai menimbulkan luka fisik,” katanya.
BACA: Tanggapi Kasus Kekerasan oleh Polres Mabar, Hipmabbar: Aparat Harus Beri Teladan kepada Masyarakat
Tentu saja, semua pihak sepakat bahwa Covid-19 adalah sesuatu yang mesti disikapi serius saat ini.
Ini bukan tanggung jawab hanya sebagian orang, tetapi semua. Karena itu, dalam diri semua orang diharapkan ada kesadaran untuk melakukan arahan pemerintah terkait protokol kesehatan agar mencegah penyebarannya. Tentu saja, kewaspadaan terhadap pandemi ini semestinya tidak membuat kita juga kehilangan rasa kemanusiaan. Karena itu, masyarakat seharusnya tidak begitu saja menolak mereka yang kembali ke kampung. Ada banyak pilihan cara yang bisa diambil agar mereka bisa ‘dipastikan’ menjalani karantina.
Pemerintah sendiri juga diharapkan maksimal bekerja demi memastikan bahwa masyarakat bisa menaati ketentuan yang ada.
Polres Mabar, yang juga diamanatkan oleh Maklumat Kapolri, memiliki peran untuk memastikan bahwa masyarakat menjalankan berbagai ketentuan, termasuk tidak boleh berkumpul. Karena itu, penindakan terhadap masyarakat yang melanggar adalah perlu.
Namun, dalam kasus dengan para pemuda itu, model penindakan polisi itu patut disayangkan. Kapolres Mabar dalam penjelasannya menyebut bahwa oknum anggotanya melakukan ‘tindakan tegas’ terhadap para pemuda itu, sebuah pernyataan yang menimbulkan pertanyaan; seperti apa rumusan atau defenisi tindakan tegas oleh polisi? Apakah sampai masyarakat harus menderita luka seperti itu? Jika jawabanya adalah, ‘Ya’ maka perlu langkah mendefinisi ulang.
Lantas, bisa ditambahkan pertanyaan ini: apa yang membedakan model penyelesaian masalah antara aparat dengan mereka yang bukan aparat – preman misalnya?
Dalam diri polisi, kita mengandaikan ada kesadaran akan peran sebagai pengayom masyarakat. Dalam kasus kekerasan terhadap pemuda itu, yang terjadi bertentangan dengan hal itu. Apalagi, seperti yang dituturkan Edo, setelah dibawa ke kantor polisi dan dipukul, mereka dikembalikan ke tempat semula, tanpa ada solusi.
Polisi tampak baru mengambil langkah koordinasi yang lebih baik dengan Pemda Mabar terkait tempat karantina bagi para pemuda itu, setelah kasus ini ramai.
Tantangan besar bangsa kita saat ini adalah perihal keteladanan. Karena itu, mengingat Kapolres Mabar menyatakan bahwa ia telah memerintahkan Seksi Propam untuk menindak anggotanya, kita berharap bahwa hal itu benar-benar dilakukan.
Teladan dalam hal menegakkan hukum terhadap anggota sendiri adalah cara paling baik dan terang untuk menunjukkan kepada masyarakat bahwa tindakan tegas terhadap mereka yang melakukan pelanggaran, tidak hanya diberlakukan kepada masyarakat, tetapi juga anggota itu sendiri.
Dengan cara demikianlah, kepercayaan publik bahwa polisi itu benar sebagai pengayom masyarakat bisa hidup kembali.
Floresa