‘Ini Pelanggaran HAM yang Dibiarkan Negara,’ Respons Aktivis di Flores Soal Represi yang Berujung Pembatalan Pertemuan LGBT se-ASEAN di Jakarta

Pertemuan bertajuk ASEAN Queer Advocacy Week yang rencananya digelar di Jakarta pada 17-21 Juli dibatalkan setelah panitia mendapat berbagai ancaman.

Floresa.co – Seorang aktivis yang berbasis di Flores, NTT menilai pembatalan agenda pertemuan kelompok Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender [LGBT] se-ASEAN di Jakarta setelah mendapat ancaman dari berbagai pihak merupakan “pelanggaran hak asasi manusia yang dibiarkan negara.”

Hendrika Mayora Viktoria dari komunitas transpuan Fajar Sikka yang berbasis di Maumere, Kabupaten Sikka mengatakan, “pembatalan ini menunjukkan Indonesia belum siap menerima keberagaman dan masih homofobia terhadap LGBT.”

Padahal kata dia, Indonesia merupakan salah satu negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa yang menjunjung tinggi hak asasi manusia atau HAM.

“Indonesia salah satu negara terdepan yang menyuarakan HAM,” katanya kepada Floresa, Sabtu 15 Juli 2023.

“[Namun] mengapa pertemuan LGBT dilarang?” sambungnya.

Pertemuan bertajuk ASEAN Queer Advocacy Week itu rencananya digelar di Jakarta pada 17-21 Juli.  Namun, Arus Pelangi, lembaga advokasi hak-hak kelompok LGBT yang mengorganisasi kegiatan itu memutuskan memindahkan lokasinya ke tempat lain yang dirahasiakan setelah menerima serangkaian tekanan.

Akun Twitter dan Instagram organisasi tersebut mendapat  ancaman bertubi-tubi. Akun pribadi aktivis Arus Pelangi dan identitas penyelenggara juga disebarkan secara masif di media sosial. 

Mayora mengatakan, tidak adanya tindakan tegas dari pemerintah untuk memberikan jaminan perlindungan bagi penyelenggaraan kegiatan seperti itu “tidak adil bagi LGBT” karena konferensi itu bertujuan untuk berdialog dengan kelompok-kelompok terpinggirkan.

Menurutnya, kelompok LGBT juga merupakan bagian dari warga negara yang mempunyai kontribusi untuk kemajuan bangsa Indonesia.

Namun, kata dia, negara tidak menjamin kebebasan warganya yang sangat beragam.

“Kita ini mencintai Indonesia. Bagaimana lagi kita berbicara mencintai Indonesia kalau tidak menghargai satu sama lain?” tanyanya.

Dédé Oetomo, pendiri dan pembina GAYa NUSANTARA, lembaga advokasi hak komunitas LGBT yang berbasis di Surabaya mengatakan, fenomena represi terhadap kelompok minoritas dengan menggunakan pandangan agama tertentu merupakan “beban sejarah RI sejak 1945 waktu menyusun Piagam Jakarta.”

Piagam Jakarta yang disebut Dede adalah rancangan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang mengandung lima sila Pancasila, tetapi pada sila pertama juga tercantum frasa “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya,” yang menandakan keinginan kuat menjadikan kaidah agama sebagai dasar bagi kehidupan bernegara. Frasa ini, yang juga dikenal dengan sebutan “tujuh kata” pada akhirnya dihapus dari Pembukaan UUD 1945 dalam versi Pancasila yang kemudian disetujui.

“Ada orang yang sebetulnya ingin negara Indonesia berdasarkan kaidah agama dan gagal di Majelis Permusyawaratan Rakyat, tetapi bertindak seakan sudah disahkan,” kata Dede kepada Floresa, Sabtu 15 Juli.

Ia mengatakan “pemerintah abai dalam melindungi hak berkumpul, bahkan “negara tidak berani tegas berprinsip demi semua golongan.”

Dugaan Politisasi LGBT

Mayora mengaitkan penolakan konferensi itu dengan kepentingan politik menjelang pemilihan umum tahun depan.

Isu kelompok rentan seperti LGBT, kata dia, “selalu dimainkan, digoreng-goreng.”

Ia mengatakan, isu LGBT dimanfaatkan untuk mendulang suara dari kelompok-kelompok konservatif yang menghadirkan narasi-narasi kebencian.

Akibatnya, otoritas cenderung mengikuti keinginan kelompok-kelompok konservatif itu.

“Boleh dibilang, ada upaya memakai politik identitas agama,” katanya.

Narasi kebencian kian marak, katanya kemudian, “tetapi dibiarkan.”

“Ada muatan politik yang kentara sekali” dengan pembiaran narasi semacam itu, kata Mayora.

Pembiaran, kata dia, akhirnya, membuat kelompok-kelompok konservatif, otoritas agama tertentu masuk mencampuri urusan privat dengan membangun narasi kebencian terhadap LGBT, seperti tampak dalam pemberitaan media, baik lokal maupun nasional.

“Urusan privat orang dibawa ke urusan agama,” katanya.

Media Ikut Sebarkan Kebencian

Aliansi Jurnalis Independen Indonesia [AJI] dan Serikat Jurnalis untuk Keberagaman [Sejuk] menilai, lewat pemberitaan, media cenderung diskriminatif dan mengamplifikasi narasi kebencian terhadap konferensi kelompok LGBT.

“Pemberitaan itu secara langsung dan tidak langsung berkontribusi pada meningkatnya ancaman kekerasan,” tulis mereka dalam pernyataan Jumat, 14 Juli yang diterima Floresa.   

Hasil pemantauan terhadap pemberitaan media daring menunjukkan adanya pengabaian terhadap Pedoman Pemberitaan Isu Keberagaman dari Dewan Pers “karena menggunakan kutipan narasumber yang berisi narasi kebencian dan ancaman seperti pada kata ‘mengusir’ dan ‘menyimpang,’” kata AJI dan Sejuk.

Beberapa pemberitaan, kata mereka, juga hanya menggunakan narasumber dari kalangan otoritas resmi, mengabaikan prinsip HAM dan keberagaman gender, dan tidak mempertimbangkan dampaknya terhadap minoritas LGBT.

Sebagian pemberitaan media daring lokal maupun nasional “berpotensi menguatkan permusuhan, kebencian, diskriminasi, dan persekusi terhadap kelompok tersebut.”

Sekretaris Jenderal AJI Indonesia, Ika Ningtyas menyebut sejumlah media daring gagal memberikan ruang aman bagi kelompok gender minoritas.

Padahal, kata dia, media seharusnya tidak mengamplifikasi narasi kebencian yang digelorakan sekelompok warga intoleran di media sosial maupun pernyataan pihak-pihak tertentu yang diskriminatif. 

“Sebaliknya, media harus lebih kritis, menjunjung keberagaman dan menghormati bahwa setiap orang memiliki hak untuk berkumpul, menggelar rapat, dan berserikat yang diselenggarakan untuk maksud damai seperti yang dijamin oleh konstitusi,” katanya.

Ika juga mendesak media massa untuk lebih serius menulis berita yang inklusif terhadap kelompok minoritas seperti LGBT, menghormati keberagaman, menggunakan perspektif HAM sesuai prinsip Deklarasi Universal HAM, dan berpegang pada Pedoman Pemberitaan Isu Keberagaman.

Sementara itu Tantowi Anwari, manajer advokasi Sejuk mengatakan jurnalis dan media massa seharusnya mempelajari latar belakang peristiwa terkait isu keberagaman dan tidak mempertebal suara-suara yang mengajarkan kebencian.

Era disrupsi, jelas dia, sangat memengaruhi bisnis media yang tidak selalu sejalan dengan prinsip-prinsip jurnalistik. 

“Perusahaan media massa semestinya mulai mengakui HAM sebagai dasar kebijakan bisnis mereka. Pendekatan HAM tidak hanya berpikir tentang untung, melainkan menjaga prinsip anti-diskriminasi,” katanya.

Penting, kata dia, media bertanggung jawab melalui pemberitaan yang tidak meminggirkan minoritas “yang berujung pada kekerasan dan persekusi.”

Pentingnya Ruang Inklusif

Bagi Mayora, pemerintah mesti “tunduk pada HAM”

Ia mengatakan bersyukur bahwa di daerah seperti Flores, keberadaan mereka diterima karena ada saling menghargai di antara warga.

Ia bercerita pernah mengadakan konsolidasi kelompok minoritas gender dan seksual sedaratan Flores dan Lembata.

“Semuanya terjadi dengan baik. Ini semua menunjukkan nilai positif untuk Indonesia,” katanya.

Ia berharap semua pihak yang memakai doktrin agama dan Pancasila untuk melegalkan diskriminasi terhadap kelompok rentan menyadari bahwa itu adalah cara yang salah.

“Pancasila itu sudah cukup melindungi keberagaman. Kalau orang omong Pancasila sudah cukup menghargai kita, karena kita bagian dari keberagaman.” Jelasnya.

Dédé Oetomo juga berharap pemerintah  “menjunjung tinggi pesan demokrasi dan HAM yang ada di UUD 1945.”

 

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini.

BACA JUGA

BANYAK DIBACA