Floresa.co – Pegiat sosial mengapresiasi kelompok wanita tani di Kabupaten Manggarai Timur yang berani membuka kasus dugaan pungutan liar hingga penggelembungan harga yang melibatkan Dinas Pertanian dalam pelaksanaan program bantuan pangan.
Mereka juga mendesak polisi bekerja serius mengusut kasus ini hingga tuntas.
Ignasius ‘Rian’ Jacques Juru, pegiat sosial yang juga peneliti mengatakan keberanian Kelompok Wanita Tani [KWT] Sedang Mekar di Desa Watu Mori, Kecamatan Rana Mese membongkar kasus ini menjadi contoh bagi warga lain dalam mengontrol birokrasi yang koruptif.
“Warga harus punya kesadaran mengontrol seperti itu,” katanya kepada Floresa.
Dugaan pungli dan penggelembungan harga itu mencuat ke publik setelah Maria Koleta Jelima dan dan Maria Dangus, ketua dan bendahara KWT Sedang Mekar membongkar perilaku staf Dinas Pertanian yang meminta setoran satu juta rupiah setelah pencairan tahap pertama dana Program Pekarangan Pangan Lestari [P2L] itu pada Mei 2023.
Selain pungutan itu, mereka juga mengatakan bahwa pengelolaan dana diintervensi Dinas Pertanian, seperti dalam penentuan mitra tempat membeli benih dan alat pertanian, hal yang bertentangan dengan petunjuk teknis program tersebut.
Mereka diarahkan membeli benih dan alat pertanian di Toko Dite di Borong, dengan harga yang berkali-kali lipat dari harga di toko lainnya.
Rian, yang juga periset di Research Centre for Politics and Government Universitas Gadjah Mada Yogyakarta mengatakan, praktik seperti ini selain buruk dan koruptif dalam konteks hukum, “juga derajat korupsinya sangat parah.”
“Terutama ketika kita letakan dalam konteks situasi masyarakat yang sedang sulit mengakses pangan karena iklim dan serangan penyakit seperti saat ini,” katanya.
“Ketika tindakan itu dilakukan, maka tidak hanya melanggar hukum, tetapi tindakan koruptifnya sudah melanggar semua aspek kelayakan publik. Ada nilai-nilai publik yang dirusak,” katanya.
Ia berkata, “kontrol publik penting agar birokrasi dan jaringan bisa bekerja sesuai dengan prinsip dan norma-norma kerja institusi publik.”
Polisi Mesti Usut Tuntas
Kasus ini sedang diusut Polres Manggarai Timur, usai mendapat arahan dari Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar NTT.
Jeffry D.N Silaban, Kasat Reskrim Polres Manggarai Timur mengatakan kepada Floresa pada Senin, 23 Oktober, kasusnya “masih proses penyelidikan.”
Namun, ia tidak merespons pertanyaan terkait siapa saja yang sudah diperiksa.
Sementara Koleta dari KWT Sedang Mekar mengatakan ia sudah diperiksa di Polres Manggarai Timur pada Senin siang.
Ia juga mengatakan sempat melihat Jhon Sentis, Kepala Dinas Pertanian “memberikan keterangan di kantor polisi.”
Efron Agustinus, pemuda asal Desa Watu Mori mengatakan mendukung penuh Polres Manggarai Timur mengusut tuntas kasus ini.
“Jangan sampai mengendap di Polres,” katanya.
Kalau tidak diusut tuntas, “integritas dan profesionalitas aparat penegak hukum Polres Manggarai Timur patut dipertanyakan.”
Hal senada juga disampaikan oleh pegiat sosial Dionisius Parera bahwa polisi “tidak boleh main-main dalam mengusut kasus ini.”
Ia mengatakan “banyak kasus korupsi di Manggarai Timur yang mengendap di kepolisian.”
Salah satunya, kata dia, “kasus dugaan korupsi dana Covid-19” di Dinas Kesehatan yang perkembangan proses penanganannya belum jelas hingga kini.
Dionisius mengatakan, Manggarai Timur merupakan salah satu kabupaten dengan status miskin ekstrim.
Ketika korupsi terjadi di daerah miskin ekstrim, maka “kita sangat bertumpuh kepada aparat penegak hukum untuk menuntaskannya.”
Sementara itu, Koleta mengatakan kelomponya berharap “polisi untuk mengusut kasus ini seadil-adilnya.”
“Kami sakit hati karena kami yang justru dituduh makan uang oleh anggota [kelompok tani]. Padahal, kami tidak pernah pegang itu uang,” katanya.
Bagaimana Dugaan Pungli dan Penggelembungan Harga Terjadi?
KWT Sedang Mekar merupakan salah satu dari empat kelompok di Manggarai Timur yang mendapat dana Program P2L yang diatur dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 8 Tahun 2023.
Setiap kelompok mendapat dana Rp90 juta. Dari jumlah itu, Rp75 juta untuk pengadaan sarana perbenihan, demplot, pertanaman dan kegiatan pasca panen. Sisanya digunakan untuk operasional P2L seperti biaya pertemuan koordinasi, pelatihan, pendampingan, pengawalan, dan pelaporan.
Pengelolaan dana ini dilakukan dengan model swakelola tipe IV, yakni dikelola langsung oleh kelompok penerima. Dinas Pertanian hanya melakukan pendampingan dan pengawasan.
Namun, dalam pelaksanannya, terjadi praktik dugaan pungli dan penggelembungan harga.
Koleta mengatakan, saat pencairan tahap pertama dana program ini senilai Rp37,5 juta pada Mei, staf Dinas Pertanian memungut satu juta per kelompok.
Selain itu, ada penggelembungan harga benih dan peralatan pertanian dalam Rencana dan Anggaran Belanja [RAB]. Mereka juga diwajibkan membelinya di Toko Dite.
Padahal, kata Koleta, harga benih dan barang lain di toko lain di Borong jauh lebih murah.
Ia mencontohkan polybag yang di dalam RAB harga per kilogramnya sama untuk ukuran besar dan kecil, yaitu Rp65 ribu.
“Setelah kami cek di toko lain di Borong, harga polybag besar Rp35 ribu per kilogram dan polybag kecil itu hanya Rp25 ribu,” katanya.
Dari salinan RAB yang diperoleh Floresa, harga benih sayuran dan tanaman juga amat tinggi, dibanding dengan harga di pasaran.
Harga benih kacang panjang isi 200 biji misalnya dipatok Rp165 ribu di RAB.
Ketika Floresa mencoba mengecek harga benih dan beberapa peralatan pertanian di toko online seperti Tokopedia, selisihnya sangat tinggi dengan di RAB.
Benih kacang panjang untuk kemasan berisi 200 biji misalnya hanya Rp22,5 ribu.
Koleta mengatakan, akibat penggelembungan harga tersebut, Toko Dite membebankan utang kepada kelompok tani penerima program ini.
“Utang itu kami tahu saat suami saya pergi beli obat hama di Toko Dite. Saat itu, pemilik toko bilang kelompok kami ada utang Rp18 juta lebih,” katanya.
“Kami kaget. Kenapa ada utang? Sementara kami sudah beri Rp30 juta.”
Koleta mengatakan, ia sudah menghitung harga benih dan alat-alat pertanian yang disalurkan Toko Dite ke kelompoknya, di mana totalnya hampir Rp30 juta.
“Saya hitung itu sesuai harga normal yang berlaku di toko lain. Makanya kami pikir tidak ada utang. Apalagi, nota belanja dari uang Rp30 juta itu sampai saat ini belum diberikan ke kelompok,” katanya.
Ia mengatakan setelah mengadukan masalah ini ke Dinas Pertanian, Yulius Elkemis, staf yang menangani Program P2L, mendatangi rumahnya.
“Dia bilang bahwa utang di Toko Dite itu bisa dihapus, asalkan kami tidak menginformasikan masalah ini ke wartawan,” katanya.
Yulius, kata dia, sempat mengancamnya dengan mengatakan; “Kalau wartawan tulis, bukan hanya saya yang dipenjara, mama juga dipenjara.”
Yulius sempat membantah pernyataan Koleta terkait larangan untuk mempublikasikan masalah tersebut.
“Tidak benar itu,” katanya kepada Floresa pada 16 Oktober.
“Saya waktu itu pergi memberitahukan bahwa kalau memang ada barang yang mereka tidak pakai, silahkan dibawa pulang ke toko karena sesuai diskusi kami dengan pemilik toko, barang yang tidak dipakai, silahkan dihantar lagi ke toko,” katanya.
Sedangkan terkait pungutan satu juta rupiah, katanya, dana tersebut digunakan untuk membayar materai dan biaya lain saat pengajuan proposal ke Kementerian Pertanian.
“Nanti, kalau ada sisa setelah mengurus administrasi untuk pencairan tahap kedua, kami akan kembalikan ke kelompok,” katanya.
Ia mengklaim semua hal terkait pengelolaan dana tersebut sudah sesuai dengan kesepakatan bersama kelompok tani penerima program.
“Semua benih, alat-alat pertanian yang disalurkan oleh Toko Dite sudah sesuai dengan usulan masing-masing kelompok,” klaim Yulius.
Sementara itu, Ade Manubelu, Sekretaris Dinas Pertanian Manggarai Timur mengatakan kepada Floresa, dinas tidak pernah menginstruksikan untuk memungut dana dari kelompok penerima program.
“Pungutan itu inisiatif individu [yang menangani program P2L],” katanya pada 18 Oktober.
Ade menyatakan, terkait harga benih dan alat-alat pertanian yang tercantum di RAB, “saya tidak tahu persis.”