Penyelundupan Komodo: Warga Setempat Terlibat dengan Jaringan di Bali, Dijual Puluhan Juta Per Ekor

Menurut polisi, motif dua warga Kampung Kerora, Pulau Rinca — bagian dari Taman Nasional Komodo — terlibat dalam jaringan perdagangan hewan langka itu "karena tidak ada kerja."

Baca Juga

Floresa.co – Kasus penyelundupan anak komodo yang melibatkan dua warga dalam kawasan Taman Nasional [TN] Komodo mesti menjadi evaluasi bagi pemerintah agar memperhatikan kesejahteraan penduduk setempat, demikian menurut pegiat sosial.

Kasus penyelundupan itu terungkap setelah petugas Balai Karantina Pertanian dan Hewan berhasil menggagalkan pengiriman seekor anak komodo di Pelabuhan ASDP Labuan Bajo, Senin, 30 Oktober.

Budi Guna Putra, Wakil Kapolres Manggarai Barat mengatakan pelaku terdiri dari empat orang. Dua di antaranya adalah warga Kampung Kerora, Pulau Rinca, bagian dari TN Komodo.

Polisi mengidentifikasi pelaku utama berinisial H, warga Bali; penghubung berinisial I; penangkap anak komodo adalah warga Kerora berinisial N dan A. 

Keempatnya telah ditetapkan sebagai tersangka dan sedang dalam proses penyidikan di Polres Manggarai Barat.

“Anak Komodo ini ditangkap di Pulau Rinca di Kampung Kerora dengan menggunakan alat jerat berupa kayu yang dipasangkan tali seukuran kepala komodo,” kata Budi saat konferensi pers di Polres Manggarai Barat, Rabu, 1 November. 

“Tersangka yang bertugas untuk menangkap anak komodo ini diiming-imingi uang dua juta rupiah per ekor. Sementara yang mengkomunikasikan itu diimingi uang Rp500 ribu,” katanya.

Budi mengatakan, motif pelaku yang menangkap anak komodo ini adalah “karena tidak ada kerja, statusnya pengangguran.”

Bagaimana Kasus Penyelundupan Komodo Bisa Terungkap?

Budi mengatakan, petugas berhasil menggagalkan penyelundupan anak komodo tersebut setelah mendapat informasi dari seorang sopir truk pengangkut pisang yang curiga dengan barang yang dititipkan H.

“Sopir truk itu berinisiatif menghubungi petugas karantina setelah melihat ada sesuatu yang bergerak di dalam tas hitam yang dititip pelaku [H],” kata Budi.

Tas berisikan anak Komodo itu, kata dia, disimpan di bagian dashboard depan truk. 

“Sopir itu dijanjikan uang sebesar Rp500 ribu oleh pelaku utama [H],” katanya.

“Pada saat diperiksa dan dicek oleh petugas karantina, ternyata di dalamnya ada hewan yang diduga mirip dengan  komodo,” katanya.

“Petugas pun menghubungi Balai Konservasi Sumber Daya Alam [BKSDA] untuk mengetahui secara pasti hewan apa yang berada dalam tas tersebut. “

BKSDA, kata dia, membenarkan bahwa hewan itu adalah anak komodo yang ditemukan dalam kondisi mulut dilakban dan kaki terikat.

Budi mengatakan setelah mendapatkan informasi itu dari petugas Balai Karantina, polisi langsung mengejar H.

“Pelaku utama sudah pesan tiket mau terbang ke Bali menggunakan pesawat,” katanya.

“Setelah pelaku utama berhasil ditangkap, langsung diamankan, kemudian didalami,” katanya.

Tiga Anak Komodo Telah Berhasil Dijual

Budi mengatakan, sesuai hasil penyelidikan terhadap para pelaku, diketahui bahwa selama Juni hingga Oktober 2023, sudah ada lima anak komodo mereka tangkap.

Tiga di antaranya, kata dia, telah diselundupkan dan dijual ke Bali dan Jawa, satu ekor mati sebelum dikirim dan satu lagi yang hendak dikirim 30 Oktober.

Kelima komodo itu, kata dia, diambil dari Pulau Rinca.

Sesuai keterangan pelaku, kata dia, satu ekor anak komodo dijual dengan kisaran harga 20 hingga 28 juta rupiah.

Budi mengatakan, polisi sedang menelusuri tujuan akhir komodo yang telah dijual oleh pelaku itu.

Ia menjelaskan, para pelaku disangkakan dengan UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem, pasal 21 ayat 2 huruf (a), dengan  ancaman hukumannya 5 tahun penjara dan denda paling banyak Rp100 juta.

Budi berjanji akan terus melakukan pendalaman kasus penyelundupan komodo tersebut.

“Pihak-pihak yang terlibat jual lebih satwa yang dilindungi ini akan ditindak tegas,” katanya.

Pemerintah Mesti Evaluasi

Doni Parera, pegiat sosial di Labuan Bajo mengatakan “tindakan penyelundupan komodo, secara hukum itu jelas salah karena menjual satwa langka yang dilindungi undang-undang.”

Namun, kata dia, “kita mesti tilik lebih jauh lagi supaya ada solusi yang permanen, dan tidak terulang di kemudian hari.”

Ia mengatakan, “ada masyarakat dalam kawasan TN Komodo  yang diabaikan,” termasuk warga Kampung Kerora yang hingga kini masih kesulitan untuk mendapatkan air bersih.

“Masyarakat yang hidup di alam yang masuk situs warisan dunia, dan salah satu dari tujuh keajaiban dunia, mesti dimakmurkan,” katanya.

“Kalau saja warga Kerora sekarang ini mesti bertaruh nyawa untuk dapatkan air minum yang adalah kebutuhan dasar manusia, maka itu masih jauh dari kondisi makmur,” tambahnya.

Doni mengatakan, jika mereka rela menjual ‘Saudara Kembar,’ sebutan untuk Komodo sesuai mitos mereka, “maka itu menceritakan ada kondisi yang memaksa.”

Saat ini, kata dia, “ketika saudara-saudara di Pulau Flores menjerit dengan harga beras yang terus naik, maka bagaimana keadaan warga di kawasan TN Komodo yang kering kerontang? Kondisi mereka pasti lebih parah.”

Oleh karena itu, katanya, pemerintah mesti memikirkan kesejahteraan warga dalam kawasan TN Komodo, “sebagai kompensasi mereka serahkan tanah leluhur menjadi kawasan konservasi yang sangat membatasi ruang gerak mereka, termasuk untuk bercocok tanam.”

“Persoalan utama dari keadaan ini adalah manusia yang diabaikan,” katanya.

Doni juga mengatakan, kasus penyelundupan anak komodo menjadi preseden buruk pengelolaan reptil raksasa tersebut.

“Pemerintah mesti memperketat pengawasan terhadap hewan endemik itu,” katanya.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kawan-kawan bisa berdonasi dengan cara klik di sini.

Terkini