Floresa.co – Menggunakan selang kecil berwarna hijau, Sebina Moni mengalirkan air dari kran ke sawahnya.
Di ujung selang, ia menaruh sebuah ember untuk menampung air. Setelah ember mulai penuh, ia menggayung air itu, lalu menyiram padi di sawah seluas sekitar seperempat hektare.
Sore itu, Jumat, 10 November, untuk kesekian kalinya perempuan 44 tahun itu menyirami padi yang tampak mulai merunduk.
Warga Golo Meni, Kecamatan Kota Komba Utara, Kabupaten Manggarai Timur itu sudah tak menghafal persis sudah berapa kali menyiramnya sejak debit air irigasi berkurang hingga tidak lagi sampai ke petak-petak sawah itu.
“Saya pakai air dari pipa yang sebenarnya untuk air minum,” katanya.
Sawah yang terletak sekitar 50-an meter arah utara rumahnya memungkinkan Sabina mengalirkan air dari kran menggunakan selang.
Sebina mengatakan, banyak petani lain di wilayah itu juga melakukan cara serupa agar padi di sawah mereka bertahan hidup hingga panen.
“Ada yang menggunakan alat semprot [untuk menyiram padi],” katanya.
Sementara petani lain yang lokasi sawahnya lebih jauh dari pemukiman, kata dia, “terpaksa membiarkan tanaman padi kering.”
Floresa menyaksikan tanaman padi tampak layu dan mengering pada beberapa lokasi di areal persawahan di Golo Meni.
Sementara pada petak-petak sawah itu terlihat rekahan tanah mengangah di mana-mana akibat kekeringan.
Air irigasi yang dialirkan ke sawah Sebina dan ratusan petani lain di Desa Golo Meni, bersumber dari Sungai Wae Mokel yang membentang dari Poco Nembu, Kota Komba Utara, hingga Pantai Selatan Flores di Waelengga, Kecamatan Kota Komba.
Sebina mengatakan debit air sungai itu perlahan-lahan berkurang hingga akhirnya tidak bisa menjangkau sebagian besar areal persawahan di wilayah itu, setelah terjadi kemarau panjang sejak Juli.
Ia mengatakan, andai saja hujan mulai turun pada akhir Oktober seperti pada tahun-tahun sebelumnya, maka petani sawah di wilayahnya masih bisa menikmati hasil panen padi yang cukup.
Namun, tahun ini, kata dia, hingga November, hujan tak kunjung turun, hal yang membuatnya dan petani lain cemas akan terjadi kelaparan.
“Sekarang sawah kering. Bisa terjadi kelaparan yang berkepanjangan dan harga beras pasti akan terus naik,” katanya.
Gregorius Jehuna, petani lainnya di Golo Meni membenarkan cerita Sebina.
Ia berkata, debit air berkurang sejak para petani mulai menanam padi pada bulan Juli.
“Bahkan sampai panen, sudah kering. Tidak ada air,” katanya.
Gregorius baru saja selesai memanen padi di sawahnya saat ditemui Floresa, pada Jumat sore.
Menurutnya, akibat kemarau panjang tahun ini, sawahnya yang berukuran tiga perempat hektar itu hanya menghasilkan 10 karung atau satu ton gabah.
Padahal, kata dia, pada tahun-tahun sebelumnya, panenan bisa mencapai tiga hingga empat ton.
“Hasilnya menurun drastis karena kemarau ini,” katanya.
Paulus Darman, Kepala Desa Golo Meni, mengatakan 2,5 hektar dari total 187 hektar sawah di desanya terancam gagal panen dan 7,5 hektar lainnya tidak bisa dikerjakan pada musim tanam dua [MT2] karena tidak terjangkau air akibat kemarau panjang tahun ini.
“Ada 14 keluarga terdampak,” katanya kepada Floresa.
Belasan keluarga yang terdampak itu, kata dia, tersebar di Dusun Lawi Lenggong, Dusun Mukun, dan Dusun Ngela, serta sebagian di wilayah desa persiapan Benteng Tabu.
Paulus mengatakan, pihaknya akan segera membuat laporan ke pemerintah Kabupaten Manggarai Timur terkait bencana kekeringan itu.
Terkait El Nino
Kekeringan ini terjadi di tengah situasi sejumlah wilayah Indonesia terdampak El Nino.
Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika [BMKG] menyatakan fenomena El Nino dan Indian Ocean Dipole [IOD] Positif menjadi pemicu kemarau lebih ekstrem dan suhu lebih panas di Indonesia tahun ini.
Lembaga itu memprediksi El Nino akan berlangsung hingga Februari 2024.
Dwikorita Karnawati, Kepala BMKG, mengatakan fenomena El Nino dan IOD Positif menyebabkan anomali kenaikan suhu permukaan yang lebih panas dan penurunan curah hujan di Indonesia.
BMKG menyatakan, pada Agustus, NTT termasuk salah satu wilayah di Indonesia yang tingkat ketersediaan air tanah untuk tanaman berkurang akibat El Nino.
Siprianus B. Tatu, Kepala Bidang 1 BPBD Manggarai Timur yang menangani pencegahan dan kesiapsiagaan bencana, mengatakan, sampai saat ini, pihaknya belum punya data terkait dampak El Nino, seperti bencana kekeringan yang dialami petani sawah di Golo Meni.
“Harus ada kajian dari Dinas Pertanian. Apakah padi mati karena kemarau atau karena penyakit. Sejauh ini, belum ada kajian yang masuk ke BPBD,” katanya.
“Kalau ada kajian dari dinas terkait,” katanya, “BPBD akan mengeluarkan pernyataan atau rekomendasi bahwa sekarang ini kita mengalami bencana El Nino.”
Biasanya, kata dia, apabila BPBD mengeluarkan pernyataan bencana, misalnya bencana kekeringan, maka akan ada kebijakan berupa pemberian bantuan kepada keluarga terdampak melalui Dinas Sosial.
“Tapi, sejauh ini belum ada kajian,” katanya.
Sipri mengarahkan Floresa untuk bertanya langsung ke Dinas Pertanian terkait total luas lahan persawahan di Manggarai Timur yang terdampak kekeringan akibat El Nino.
Sementara itu, Ade Manubelu, Sekretaris Dinas Pertanian Kabupaten Manggarai Timur mengatakan data sementara lahan persawahan yang terdampak kekeringan di Manggarai Timur, 129 hektar.
“Terdampak artinya tanaman [padi] yang sudah dibudidayakan, tetapi terancam gagal panen,” katanya.
Ia mengatakan, saat ini pihaknya masih menunggu data dari semua petugas Penyuluh Pertanian Lapangan terkait total luas lahan sawah yang terdampak El Nino di sembilan kecamatan di kabupaten itu.
Ade mengatakan, saat ini yang terdata sebanyak 258 petani sawah yang terancam gagal panen.
Ia tidak menjelaskan detail soal upaya mitigasi terhadap ancaman gagal panen itu.
Ia hanya mengatakan bahwa tahun depan pemerintah akan “membagikan benih padi” kepada para petani sawah di Manggarai Timur.
Sementara belum ada data pasti dan upaya mitigasi dari pemerintah terhadap dampak El Nino di Manggarai Timur, petani seperti Sebina dan Gregorius hanya berharap agar hujan bisa segera turun, sehingga mereka bisa kembali mengolah sawah.
“Semoga cepat hujan, supaya bisa kerja lagi,” kata Gregorius.