Floresa.co – Sudah dua pekan Lidya Yani menanam padi di sawahnya. Mestinya, tunas padi itu sudah menghijau. Namun, tidak demikian yang terjadi.
Hujan yang tak lagi turun membuat sawahnya seluas 150×50 meter itu yang berharap pada air hujan mengering.
“Tanaman padinya sudah layu. Bahkan yang lain sudah mati,” ujar Lidya, warga Desa Poco Rii, Kecamatan Borong, Kabupaten Manggarai Timur.
Tahun lalu, saat curah hujan cukup, katanya, ia dan petani di desanya membajak sawah mulai November hingga Desember.
Karena itu, Januari-Februari biasanya tanaman padi sudah cukup besar dan beranak pinak. Para petani pun mulai membersihkan rumput atau gulma yang tumbuh di antara tanaman padi.
Lidya mengatakan hampir semua petani sawah di desanya senasib dengannya.
Bahkan, katanya saat berbicara dengan Floresa pada 6 Februari, ada yang sama sekali belum membajak sawah karena curah hujan rendah dan sumber air tidak ada.
Petani di desanya, kata Lidya, umumnya masih menggunakan tenaga kerbau untuk membajak sawah.
Karena itu, butuh air yang cukup sehingga memudahkan kerja kerbau.
Selain berharap pada hujan, kata dia, petani lain di desanya telah berusaha mengalirkan air dari sebuah mata air di dekat persawahan mereka.
Mata air yang debitnya kecil itu dialirkan menggunakan selang ke petak-petak sawah.
“Kami harus memindakan selang dari petak yang satu ke petak yang lain. Kami siapkan khusus satu hari untuk menyalurkan air ke setiap petak agar mudah dalam proses pembajakannya,” ujar Lidya.
Cerita senada juga disampaikan Edison Edi, petani lainnya di Desa Poco Rii.
Pria berusia 30 tahun itu mengatakan, ia sudah menanam tunas padi sebulan yang lalu. Kini, tunas padi itu sudah mati karena kekeringan.
“Bagaimana ia mau hidup, airnya tidak ada,” ujarnya kepada Floresa pada 6 Februari.
Edi bercerita, tanda-tanda kekeringan sebenarnya sudah terlihat saat ia menanam padi di sawahnya yang berukuran 100×50 meter sebulan yang lalu.
Saat itu, ia mengaku kesulitan menanam karena kekurangan air.
“Tidak ada yang bisa kami harapkan lagi ketika melihat keadaan sawah kami begini, selain menunggu keajaiban,” ujarnya.
Edi memperkirakan “tahun ini ada kelaparan massal,” karena hampir semua petani sawah di desanya bernasib sama.
“Dari sekian orang yang memiliki sawah, yang kemungkinan bisa panen, bisa dihitung dengan jari,” ujarnya.
Kepala Desa Usulkan Beralih ke Holtikultura
Cerita Lidya dan Edi mewakili kondisi puluhan petani sawah lainnya di Dusun Pel, Desa Rii, yang kini cemas akan kehilangan sumber pangan.
Paulus Junda, Kepala Desa Poco Rii mengakui warganya diperkirakan gagal panen, jika hujan tak juga turun beberapa waktu ke depan.
Ia mengatakan, ada 72 Kepala Keluarga [KK] di Dusun Pel yang memiliki sawah. Dari jumlah tersebut, 9 KK merupakan pemilik sawah tadah hujan.
Dari 9 KK sawah tadah hujan ini, 6 diantaranya tidak membajak sawah karena tak ada air, sementara 3 KK lainnya memang sudah membajak, tetapi belum bisa ditanami padi karena kering.
Paulus menambahkan, sebanyak 63 KK lainnya memang memiliki sumber air dari sungai, namun debit airnya kecil akibat kemarau, sehingga tak cukup untuk mengairi sawah mereka.
Diperkirakan, kata dia, 63 KK ini juga mengalami gagal panen.
“Semua petani ini sudah berusaha, tetapi alam tak mendukung,” ujar Paulus kepada Floresa pada 8 Februari.
Pemerintah desa, kata Paulus, mendorong warganya agar beralih menanam hortikultura, seperti sayur-sayuran.
Konsepnya, kata dia, petani mengerjakannya secara berkelompok.
Pemerintah desa, tambah Paulus, juga melakukan pendataan petani yang kemungkinan mengalami gagal panen.
Data tersebut digunakan untuk mengajukan bantuan beras ke Dinas Sosial
“Itu fokus kami satu bulan ke depan,” ujarnya.
Dinas Pertanian Siapkan Langkah Darurat
Jhon Sentis, Kepala Dinas Pertanian Manggarai Timur mengatakan kepada Floresa pada 7 Februari, pihaknya sudah membahas masalah kekeringan di kabupaten itu bersama dengan Organisasi Perangkat Daerah lainnya, termasuk juga kepolisian setempat pada 5 Februari.
Rapat itu, ungkap Jhon, membahas dampak kekeringan di beberapa kecamatan, yaitu Borong, Rana Mese dan Kota Komba.
“Langkah darurat diprioritaskan untuk disalurkannya bantuan sosial pada keluarga yang terdampak melalui dinas terkait,” ungkap Jhon.
Pemerintah Kabupaten Manggarai Timur, tambah John, juga masih mengkaji bantuan benih jagung dan padi untuk para petani, termasuk mengkaji perkiraan curah hujan beberapa bulan ke depan dari Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika.
Ia menyatakan pihak juga sudah melaporkan ke Dinas Pertanian Provinsi NTT perihal kondisi kekeringan ini.
[Kami juga] sudah menyampaikan usulan bantuan benih jagung dan benih padi,” katanya.
Petani: Yang Dibutuhkan Bantuan Sosial Darurat
Bagi warga seperti Lidya dan Edi, dengan kondisi alam yang tidak menentu saat ini, mereka berharap ada bantuan sosial dari pemerintah.
Terkait rencana bantuan benih padi dan jagung, Lidya mengatakan solusi tersebut kurang tepat mengingat kondisi yang dihadapi petani saat ini adalah kekeringan.
“Kami tidak ada tanaman alternatif yang bisa kami tanam kalau hujannya tidak ada,” ujar Lidya.
Menurutnya, bantuan sosial beras paling tepat sekarang.
“Pengadaan benih padi dan jagung percuma kalau kekeringan masih melanda,” ujarnya.
Pendapat senada juga disampaikan Edi.
“Kami mau tanam jagung butuh air untuk menghidupkannya, sayur juga demikian,” katanya.
“Jadi, kami menyerah dengan keadaan sekarang yang tidak biasa dibanding sebelumnya,” ujar Edi.
Editor: Peter Dabu