Tiba-tiba Diberhentikan, Nakes Sukarela Murni di RS Pratama Reo Kecewa dengan Pemkab Manggarai

Bukan upah, melainkan perasaan kehilangan peluang kerja sebagai ASN yang bikin sukarelawan kecewa

Baca Juga

Floresa.co – Pemerintah Kabupaten [Pemkab] Manggarai memberhentikan puluhan tenaga kesehatan [Nakes] sukarela murni di Rumah Sakit [RS] Pratama Reo, yang diklaim karena masalah anggaran.

Kebijakan ini diberitahukan pada 18 Maret, di tengah polemik tuntutan Nakes non-Aparatur Sipil Negara [non-ASN] agar pemerintah memperhatikan nasib mereka.

Pemberitahuan pemberhentian itu tertera dalam surat Kepala Dinas Kesehatan, Bartolomeus Hermopan bernomor 821/800.1.6.3/DINKES/III/2024.

Surat itu diterbitkan pada 15 Maret dan ditujukan kepada Pelaksana Tugas Direktur RS Pratama Reo, Januar Irawan. 

Bartolomeus menyebut “tidak tersedianya jaminan anggaran terhadap bahaya atau risiko” sebagai pertimbangan “memberhentikan dengan hormat” 20 Nakes itu.

Flaviana Rahayu Astuti, salah satu Nakes yang diberhentikan mengatakan baru sebulan menjadi sukarelawan murni di RS Pratama Reo.

Ia mengaku dipanggil bersama 19 Nakes lainnya ke sebuah ruang rapat di tempat mereka bekerja pada 18 Maret pagi.

Saat itu, kata dia, Januar membacakan surat yang diteken Bartolomeus.

“Ia hanya sampaikan isi surat, tidak tunjukkan suratnya pada kami,” kata Ayu, sapaannya.

Ia mengaku kecewa karena menganggap “alasan pemberhentiannya tidak jelas.”

Kekecewaan serupa dirasakan Maya, yang pagi itu juga diberhentikan dari RS Pratama Reo, Kecamatan Reok.

“Pak Direktur [Januar] bilang, cuma meneruskan perintah dari dinas,” katanya.

“Perintah terperincinya apa, kami tidak tahu,” kata bidan berusia 26 tahun itu kepada Floresa pada 18 Maret.

“Bukan karena Demonstrasi”

Dihubungi Floresa pada 18 Maret malam, Bartolomeus membenarkan keputusan kantornya terhadap 20 Nakes sukarela murni. 

“Betul, kami memberhentikan dengan hormat karena tidak ada anggaran untuk bahaya atau risiko yang sangat besar,” katanya.

Ditanya soal “bahaya atau risiko yang sangat besar” itu, ia menjawab melalui pesan WhatsApp: “Nanti saja bertemu, kita bisa diskusi panjang lebar soal risiko kerja di RS dan tempat pelayanan kesehatan lainnya.”

Merespons jawabannya, Floresa memintanya menyebut setidaknya dua bahaya. 

Ia bersedia menjawab, katanya “bahaya terpapar penyakit menular dan kecelakaan di tempat kerja.”

Sejumlah Nakes mengaitkan pemberhentian dengan pertemuan Nakes non-ASN dan perwakilan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Manggarai pada 6 Maret.

Bertemu dalam Rapat Dengar Pendapat, sebanyak 300 Nakes non-ASN menuntut pemerintah lekas menerbitkan Surat Perjanjian Kerja baru, kenaikan gaji dan tambahan penghasilan.

Bartolomeus membantah anggapan itu, katanya, “ini [pemberhentian] murni karena pertimbangan risiko yang sangat besar dan ketiadaan ‘uang lelah’ bagi mereka.”

“Jadi bukan karena demonstrasi itu,” kata Bartolomeus. 

Ia menyebut “demonstrasi” alih-alih Rapat Dengar Pendapat yang mengacu pada pertemuan 6 Maret.

Tak ubahnya Bupati Manggarai, Herybertus G.L. Nabit yang sebelumnya menyebut Nakes “demonstrasi” dan “ribut-ribut.”

Lantaran “ribut-ribut,” Nabit enggan menandatangani SPK bagi 300 Nakes non-ASN. 

“Semua Nakes yang berdemonstrasi, saya tidak akan menandatangani SPK,” kata Nabit.

“Percayalah, atasanmu pasti perhatikan keluhanmu. Tetapi, yang pasti dengan aturan, bukan berdasarkan apa yang kau mau,” katanya.

Merasa Hilang Peluang Jadi ASN

Nakes sukarela murni bekerja tanpa surat kontrak dan upah tetap secara bulanan.

Lumrahnya mereka hanya menerima “uang jalan” ketika menggantikan “senior yang hari itu tak bisa mengantar pasien rujukan,” kata Ayu.

Besaran “uang jalan” yang diberikan kepada sukarelawan murni sebelumnya disepakati antara pengelola, Nakes Aparatur Sipil Negara [ASN] dan Nakes sukarela murni di Puskesmas terkait.

Kesepakatan menyangkut besaran pemangkasan bulanan dana bantuan operasional kesehatan yang nantinya diberikan kepada Nakes sukarela murni.

Ayu mengaku sekali jalan bisa memperoleh sekitar Rp100.000. Ia biasa mengantar pasien rujukan hingga 5-10 kali dalam sebulan.

Sementara selama bekerja sebagai sukarelawan di RS Pratama Reo, mereka “sama sekali tak mendapat ‘uang jalan.’”

Seperti halnya Ayu, Maya juga baru sebulan bekerja di RS tersebut. Sebelumnya ia menjadi sukarelawan di Puskesmas Reo. 

Bagi Maya, “bukan upah, melainkan hilangnya peluang bekerja sebagai ASN atau Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja [P3K]  yang melandasi kekecewaan kami terhadap keputusan dinas.”

Seseorang yang diangkat menjadi P3K secara otomatis terdaftar sebagai ASN.  

Bekerja berdasarkan surat kontrak, P3K memperoleh gaji yang lebih tinggi dibanding non-ASN pada posisi yang sama. Nakes yang hendak seleksi P3K diwajibkan menyertakan surat keterangan pernah bekerja di fasilitas kesehatan, dengan masa kerja minimal selama dua tahun. 

Ayu lulus D-III Kebidanan dari Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Sint Carolus, Jakarta pada 2020. 

Ia kembali ke Reo, kampung halamannya, tak lama sesudah diwisuda. 

“Berharap dapat menjadi ASN di dekat kampung, supaya tetap dekat dengan keluarga,” kata Ayu soal pilihannya pulang kampung alih-alih bekerja di Jakarta.

Kini Ayu justru diberhentikan sebagai sukarelawan murni, satu pekerjaan yang “meski bisa dibilang tak ada upahnya, tetapi kelak memberikan peluang bagi saya menjadi ASN.”

Editor: Anastasia Ika

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kawan-kawan bisa berdonasi dengan cara klik di sini.

Terkini