Penyakit Darah Pisang Terus Menyebar di Sikka, Pekebun dan Pembeli Diminta Tak Serampangan Gunakan Parang

Sebisa mungkin tak gunakan parang yang sama di sejumlah kebun berbeda

Floresa.co – Di kebun pisang yang berjarak sekitar 10 meter dari rumahnya, Hendrikus Lenci berkali-kali mengayunkan kelewang [parang]. 

Ditebasnya batang-batang pisang kepok yang tampak kerdil dengan lembaran daun kuning mengering.

Ia lalu mengumpulkan tebasan itu di satu titik sebelum mulai membakarnya.

Kendati tak ingin menyebut “rutinitas,” tetapi itulah yang secara konstan ia lakukan selama tiga bulan terakhir.

“Saya mengikuti anjuran Dinas Pertanian Kabupaten Sikka,” kata Lenci kepada Floresa pada 4 Mei.

Sesuai anjuran, “tanaman yang terjangkit penyakit darah pisang harus dibakar supaya tidak menyebar ke tanaman pisang lainnya,” kata Lenci.

Sembari menunggui api melumat tanaman pisang bermasalah, pekebun asal Kelurahan Nangalimang, Kecamatan Alok, Kabupaten Sikka itu bercerita soal tandan-tandan yang tak lagi mampu terjual.

Hingga tiga bulan lalu, setiap hari selalu ada yang datang ke kebunnya dan pulang menyunggi bertandan-tandan pisang.

“Pembeli datang menaiki 3-4 pikap dalam sehari ke kebun ini. Mereka pilih dan tebang sendiri [tanaman pisangnya],” kata pekebun berusia 69 tahun itu.

Beberapa di antaranya datang ke kebun, mencari pisang untuk acara adat. Terhadap pencari pisang untuk acara adat, Lenci tak pernah memberi harga. Ia akan memberikan secara cuma-cuma.

Selain pedagang yang terbiasa menjual pisang ke sejumlah pasar di Sikka, ada pula yang mengaku membeli dari kebun Lenci untuk dijual ke beberapa kota di Pulau Jawa, termasuk Surabaya.

Lenci membanderol Rp25.000 hingga Rp30.000 per tandan, harga yang menyokong pemasukannya hingga Rp500 ribu per hari. 

Sedikitnya ia mampu melepas lima tandan per hari ke pelanggan. 

Lenci merasa mulai kesusahan memperoleh pemasukan seiring kenaikan harga pisang hingga Rp50 ribu per tandan.

Calon pembeli memang tetap datang ke kebun, katanya, “tetapi pulang dengan tangan kosong.”

Pisang kepok yang sudah terserang penyakit darah pisang (Maria Margaretha Holo/Floresa)

Tak Satu pun Terjual

Duduk tak jauh dari tempat pembakaran, Lenci memotong separuh dari sebuah batang pisang. 

Ketika terpotong, tampak lendir dan titik-titik berwarna cokelat kemerah-merahan pada sisi dalam batangnya.

Bila muncul titik-titik semacam itu, “artinya pisang tersebut sudah tak layak dikonsumsi.”

“Kalau belum yakin juga, coba potong pula buahnya,” kata Lenci sebelum memenggal-menggal setandan pisang.

Buah-buah pisang itu berkulit kehijauan, sebelum tampak membusuk dan berlendir ketika dipotong Lenci. 

Ia lalu membelah sebuah jantung pisang dari sebatang pisang yang sama, yang juga tampak berlendir.

“Tetangga biasanya datang minta jantung pisang untuk buat sayur. Kini saya tak izinkan lagi,” katanya.

Penyakit darah pisang atau layu bakteri disebabkan bakteri Ralstonia solanacearum. Bakteri itu dapat menyerang setiap bagian tanaman pisang, termasuk akar, batang, daun, bonggol dan buah.

“Kami hidup dari ratusan tanaman pisang ini. Semenjak kena layu bakteri, seribu rupiah pun kami tidak dapat lagi,” kata Lenci.

Lekas Tangani

Berbulan-bulan mendengar kabar penyebaran penyakit darah pisang, Daniel Dami, seorang petani lain di desa Timu Tawa, Kecamatan Talibura mendesak pemerintah lekas menangani penyebaran penyakit darah pisang.

“Kami membutuhkan sosialisasi dini dari pemerintah supaya dapat mengantisipasi serangan  penyakit tersebut,” kata Dami.

Kebun pisangnya “masih sehat-sehat” dan ia harapkan “akan terus sehat.”

Kepada Floresa, Dami bercerita rata-rata petani di desanya tidak memiliki kebun pisang yang luas. 

Tak seperti Lenci, pekebun di desanya tak punya target kuantitas untuk dijual ke pasar maupun ke pembeli yang langsung datang ke kebun. 

“Biasanya kami hanya jual satu atau dua tandan. Lainnya ditukar dengan ikan dan garam saat hari pasar,” kata pekebun 66 tahun itu.

Kendati pisang bukan pemasukan utama keluarganya, “janganlah penyakitnya sampai ke desa kami. Pisang itu teman mengopi kami tiap pagi.”

Lenci menduga penyebaran yang begitu cepat tidak hanya melalui serangga tetapi juga penggunaan parang secara serampangan.

Jejak penyakit darah pisang yang sudah terlihat pada batang pisang. (Maria Margaretha Holo/Floresa)

Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Sikka, Yohanes Emil Satriawan mengungkapkan hal serupa. 

Selain melalui angin dan serangga, percepatan penyebaran penyakit darah pisang “bisa juga melalui penggunaan sebuah parang di sejumlah kebun berbeda,” katanya kepada Floresa pada 5 Juni.

Catatan Dinas Pertanian Sikka menunjukkan tahun ini penyakit darah pisang menyebar di 11 kecamatan dengan lahan seluas 25,84 hektare, atau 1,9% dari keseluruhan kebun pisang yang sebesar 1.348,63 hektare di kabupaten tersebut.

Dinas Pertanian dan Petugas Pengendali Organisme Pengganggu Tumbuhan bekerja sama dengan Penyuluh Pertanian Lapangan, katanya “terus melakukan sosialisasi dan pengendalian di beberapa lokasi penyebaran penyakit darah pisang.”

Ia mengimbau petani pisang tak membeli anakan dari wilayah yang sudah terjangkit guna menyetop penyebaran penyakitnya.

Editor: Anastasia Ika

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik mendukung kami, Anda bisa memberi kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel WhatsApp dengan klik di sini.

BACA JUGA

TERKINI

BANYAK DIBACA