Floresa.co – Pemerintah Indonesia menyatakan akan meningkatkan penggunaan energi geotermal dan mempercepat pengurusan izin, bagian dari upaya mendorong percepatan investasi pada sektor ini demi target nol emisi karbon pada 2060.
Menurut Presiden Joko ‘Jokowi’ Widodo yang dua bulan lagi mengakhiri kekuasaannya, langkah ini bagian dari komitmen Indonesia “menjadi bagian penting dari langkah-langkah dunia dalam membangun ekonomi hijau.”
Sementara Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral [ESDM] Bahlil Lahadalia menyatakan akan memangkas syarat dan waktu pengurusan izin proyek geotermal “untuk mendorong teman-teman investor melakukan percepatan investasi.”
Pernyataan keduanya muncul di tengah polemik kehadiran sejumlah proyek geotermal yang memicu konflik, seperti yang terjadi di Flores, serta keraguan sejumlah elemen yang mempertanyakan klaim ramah lingkungan sumber energi ini dan kecilnya dampak bagi warga lokal.
Salah satunya adalah riset dari Center of Economic and Law Studies [CELIOS] dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia [Walhi] tahun ini yang menyebut narasi pemerintah tentang keunggulan geotermal semuanya diragukan, bahkan “tidak terbukti” di lapangan.
Ambisi Maksimalkan Potensi Geotermal
Berbicara pada pembukaan ‘Indonesia International Geothermal Convention and Exhibition [IIGCE] ke-10 di Jakarta Convention Center Senayan, Jakarta pada 18 September, Jokowi mengaku heran dengan realisasi sejumlah proyek geotermal yang lamban.
Padahal, katanya, banyak investor yang memburu energi baru terbarukan [EBT] sebagai energi hijau dan Indonesia memiliki potensi energi panas bumi yang besar.
Menyitir pernyataan Bahlil dalam laporannya pada acara itu, Jokowi berkata, lambannya investasi sektor panas bumi karena perizinan yang lama, lima sampai enam tahun.
“Ini yang mestinya paling cepat dibenahi terlebih dahulu,” katanya.
Ia berkata, saat ini dari 24.000 Megawatt [MW] potensi energi geotermal di Indonesia, yang dikerjakan baru 11 persen.
Dengan percepatan izin, kata Jokowi, investor bisa segera bekerja “sehingga kita memiliki tambahan listrik hijau yang lebih banyak.”
Bahlil dalam laporannya pada acara itu menyampaikan, dari 93.000 MW kapasitas pembangkit listrik di Indonesia saat ini, EBT adalah 13.700 MW atau sekitar 15 persen.
Dari 15 persen itu, kata dia, geotermal menyumbang 2.600 MW atau 18,5 persen atau 3 persen dari total kapasitas pembangkit listrik nasional.
Sesuai kebijakan bauran energi nasional, kata Bahlil, pada 2025 porsi EBT harus mencapai 23 persen.
Energi panas bumi, tambah Bahlil, dapat menjadi salah satu instrumen penting untuk meningkatkan porsi EBT karena potensinya yang besar, 24.000 MW atau 40 persen dari potensi panas bumi di seluruh dunia.
Dalam 10 tahun terakhir, kata mantan Menteri Investasi itu, akumulasi investasi pembangunan Pembangkit Listrik Panas Bumi [PLTP] tumbuh signifikan, naik hingga 8 kali lipat sehingga pada 2024 diperkirakan mencapai 8,7 miliar dollar Amerika Serikat atau Rp131,76 triliun.
Ia mengklaim, pembangunan PLTP telah menciptakan hampir 900 ribu lapangan kerja – baik secara langsung maupun tidak langsung – dan mampu berkontribusi ke negara Rp16 triliun.
Tidak hanya dampak ekonomi, klaim Bahlil, PLTP juga telah berkontribusi mengurangi 17,4 juta ton emisi CO2 per tahun di Indonesia.
Menurutnya, EBT di Asia Tenggara saat ini diperebutkan oleh investor, seiring dengan kebutuhan sektor manufaktur untuk menggunakan ‘energi hijau’ sesuai tuntutan pasar atau konsumen.
Namun, percepatan investasi sektor EBT di Indonesia, katanya, terganjal proses perizinan yang lama.
“Saya pikir waktu saya jadi Menteri Investasi, [ketika] kita reform Undang-Undang Tenaga Kerja, sudah selesai. Ternyata di kantor kami ini [Kementerian ESDM], sampai ayam tumbuh gigi pun akan susah,” katanya.
“Kenapa? Orang melakukan investasi, urus izin tiga tahun, RKKPR [Rekomendasi Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang], izin Amdal, izin lokasi, itu bisa dua sampai tiga tahun. Masuk di Kementerian ESDM, main lagi barang itu. Eksplorasi butuh waktu dua sampai tiga tahun. Jadi, bisa membangun/konstruksinya itu pada tahun keenam,” ujarnya.
Dengan proses perizinan yang lama, kata Bahlil, Indonesia akan sulit mencapai target nol emisi karbon pada 2060.
“Jadi, saya izin sama Bapak Presiden, kami akan memangkas, baik dari sisi syarat, waktu, untuk mendorong teman-teman investor melakukan percepatan investasi,” ujarnya.
Jokowi menyatakan dalam acara itu, potensi panas bumi mesti dimanfaatkan karena Indonesia “berkomitmen menjadi bagian penting dari langkah-langkah dunia dalam membangun ekonomi hijau, dalam mengembangkan industri hijau, dalam melakukan transisi ke energi hijau.”
“Ini komitmen yang sudah sering saya sampaikan di mana-mana,” katanya.
Pada pembukaan IIGCE, Kementerian ESDM juga mengumumkan hasil penawaran tujuh Wilayah Kerja Panas Bumi [WKP] serta Wilayah Penugasan Survei Pendahuluan dan Eksplorasi [WPSPE].
Sejumlah WKP itu antara lain WKP Cisolok-Sukarame 40 MW, WKP Nage 40 MW, WKP Hu’u Daha 60 MW, WKP Toka Tindung 40 MW, WPSPE Koto Sani Tanjung Bingkung 40 MW, WPSPE Bora Pulu 40 MW dan WPSPE Samosir 40 MW.
WKP Nage berlokasi di Flores, sekitar 20 kilometer sebelah selatan Bajawa, ibukota Kabupaten Ngada. Dengan luas 10.410 hektare, WKP ini berada di kawasan hutan, yakni 2.083,85 hektare hutan produksi, 825,78 hektare hutan produksi dapat dikonversi, dan 7.500,37 hektare Area Penggunaan Lain.
Selain itu, seperti dikutip dari siaran pers Kementerian ESDM, dalam acara itu juga diluncurkan Geothermal Energy Information System [GENESIS], platform yang menyediakan layanan data survei dan eksplorasi yang terintegrasi, serta statistik panas bumi. Penawaran dan pelelangan WPSPE dan WKP juga dilakukan melalui platform ini.
Acara lain adalah penandatanganan kesepakatan antara Kementerian ESDM dan Selandia Baru terkait kerja sama di bidang energi terbarukan dan konservasi energi untuk periode tahun 2024-2029.
Selain itu adalah MoU antara Kementerian ESDM dan Kementerian Lingkungan, Energi dan Iklim Islandia mengenai kerja sama di bidang energi terbarukan untuk periode 2024-2029.
Fakta Lapangan Tak Seindah yang Dibicarakan
Kendati pemerintah terus menggenjot proyek-proyek geotermal di berbagai daerah, fakta di lapangan menunjukkan kondisi yang kontras dengan klaim-klaim sebagai energi bersih, ramah lingkungan, menciptakan lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi.
Riset CELIOS dan Walhi menunjukkan klaim-klaim itu tidak sesuai dengan fakta yang terjadi di lapangan.
Klaim geotermal sebagai energi hijau atau energi bersih yang rendah emisi karbon dan berdampak baik bagi kesejahteraan ekonomi warga, kata mereka, semuanya diragukan dan bahkan “tidak terbukti.”
“Padahal selama proses pembangunan pembangkit listrik dan instalasi permukaan hingga proses operasionalnya, emisi gas rumah kaca bisa mencapai kuantitas yang setara dengan emisi PLTU batubara,” tulis lembaga tersebut dalam laporan riset yang diluncurkan pada 5 Maret.
Gas rumah kaca adalah gas-gas yang dilepaskan ke atmosfer bumi dan berpotensi meningkatkan efek rumah kaca, penyumbang utama pemanasan global dan perubahan iklim.
Kendati “selalu dikomparasikan dengan PLTU batubara konvensional dalam konteks keluaran emisi gas rumah kaca yang lebih rendah,” riset tersebut mengungkap temuan di beberapa unit geotermal di Turki dan Italia, di mana emisi dari plant cycle dan fuel cycle proyek setara, bahkan lebih tinggi dari PLTU batubara.
Plant cycle merujuk pada emisi yang terkait dengan pembangunan pembangkit listrik dan instalasi permukaan, pengeboran dan penyelesaian sumur‑sumur, produksi bahan yang diperlukan untuk instalasi, hingga pembongkaran fasilitas tersebut. Sedangkan fuel cycle adalah emisi selama proses konversi energi untuk produksi listrik.
“Selama ini, perhitungan emisi pada PLTP hanya mengacu pada fuel cycle semata dan mengabaikan emisi pada plant cycle,” menurut riset itu.
Selain emisi karbon, gas lainnya yang dihasilkan dari PLTP adalah hidrogen sulfida atau H2S yang mengandung racun yang berbahaya bagi manusia, sebagaimana terjadi secara berulang di PLTP Sorik Marapi, Mandailing Natal, Sumatera Utara.
Selain itu, proyek-proyek geotermal di beberapa lokasi juga berdampak pada bencana gempa bumi.
Gempa minor terjadi karena teknik fracking dalam geotermal, di mana pengeboran menyebabkan terjadinya rekahan atau kerenggangan pori-pori tanah.
“Ditambah dengan sifat tektonik Indonesia yang sangat aktif di beberapa tempat, gempa minor merupakan formula ampuh untuk menimbulkan gempa bumi besar”, sebagaimana terjadi di PLTP Dieng di Jawa Tengah dan Gunung Salak, Jawa Barat.
Dampak lainnya menurut laporan tersebut adalah pencemaran air tanah, gagal panen, dan hilangnya biodiversitas endemik.
Dalam praktiknya, geotermal beroperasi sebagaimana pertambangan pada umumnya, di mana dilakukan pengeboran untuk mengeluarkan panas dari dalam perut bumi, sekaligus injeksi air dalam jumlah banyak untuk dipanaskan, lalu dialirkan melalui sumur produksi.
“Proses inilah yang kerap kali membawa dampak signifikan pada merosotnya kualitas lingkungan, yang pada akhirnya tidak hanya mengorbankan ekosistem flora dan fauna, tapi juga ruang kehidupan manusia yang bergantung padanya.”
Dampak pada krisis air ini sudah terjadi di lokasi sekitar PLTP Sokoria di Kabupaten Ende, sebagaimana termuat dalam laporan Floresa tahun lalu.
Menurut laporan itu, sejak 2011, mata air di dekat Kampung Sokoria tercemar, lima tahun usai proyek geotermal berjalan.
PT Sokoria Geothermal Indonesia [PT SGI], perusahaan yang mengerjakan proyek dan menangani PLTP sempat merespons dengan mendatangkan air ke kedua kampung itu menggunakan mobil tangki, dibagikan kepada warga.
Perusahaan juga sempat menginisiasi proyek pengadaan air bersih, yang diambil dari tempat lain, namun masih mangkrak saat Floresa melakukan peliputan.
Dampak Secara Ekonomi
Dari segi ekonomi, riset CELIOS dan Walhi juga mengungkap kerugian ekonomi bagi warga yang kehilangan potensi pendapatan akibat kerusakan tanah dan kekurangan sumber air yang berdampak pada penurunan produktivitas pertanian.
Riset tersebut mengangkat cerita PLTP di tiga lokasi di Flores, yakni di Wae Sano, Kabupaten Manggarai Barat; Sokoria, Kabupaten Ende dan Ulumbu, Kabupaten Manggarai.
Menggunakan modelling ekonomi dengan metode IRIO [Inter Regional Input-Output], riset itu menyatakan petani setempat menghadapi risiko kehilangan pendapatan sebesar Rp470 miliar pada tahap pembangunan proyek.
“Sementara kerugian terhadap output ekonomi mencapai Rp1,09 triliun pada tahun kedua proses ekstraksi geotermal. Jumlah tenaga kerja diperkirakan menurun 20.456 orang di tahun pertama dan 50.608 orang di tahun kedua.”
Pada tahun pertama, PLTP berpotensi menurunkan produktivitas dari tiga sektor ekonomi penting warga setempat, yakni pertanian, perikanan dan perkebunan.
Untuk tahun-tahun selanjutnya, kata mereka, semakin banyak ragam sektor ekonomi yang akan terus menurun.
“Kecenderungan proyek geotermal yang padat modal tidak terlalu membawa dampak berganda terhadap ekonomi lokal. Sebaliknya, bagi ekonomi lokal kehadiran geotermal sering dipandang sebagai penghambat produktivitas di sektor pertanian dan perikanan,” menurut Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif CELIOS.
Konflik Sosial yang Semakin Terbuka
Di samping dampak lingkungan, hal lainnya yang dilaporkan dalam riset tersebut adalah dampak sosial dalam bentuk konflik agraria berupa perlawanan dan protes warga di berbagai tempat, termasuk dampak yang secara khusus mengenai kaum perempuan yang semakin rentan dalam struktur sosial masyarakat setempat.
Mengangkat cerita kaum perempuan dari Poco Leok, Kabupaten Manggarai, laporan tersebut mengungkapkan “penerima dampak paling serius dari proyek pembangunan pembangkit geotermal adalah kelompok perempuan sehubungan dengan kerentanan identitas mereka dalam struktur sosial.”
Konflik akibat proyek geotermal perluasan PLTP Ulumbu di Poco Leok terjadi karena pemerintah, perusahaan PT PLN dan Badan Pertanahan Nasional yang dikawal aparat keamanan polisi dan TNI berhadap-hadapn dengan warga, maupun antarwarga yang terbelah dalam kubu pro dan kontra proyek.
Hal tersebut misalnya disampaikan dalam surat kepada Bank Pembangunan Jerman Kreditanstalt für Wiederaufbau [KfW] sebagai pendana proyek, yang dikirim warga pada 5 Juli dan 25 September.
Dalam surat itu, mereka menyatakan “pangkal masalah dan pemicu tunggal dari bencana dan huru-hara di rumah kami adalah proyek pembangkit listrik dari penambangan panas bumi yang melibatkan dua pelaku utama, PT PLN dan KfW.”
Bencana huru-hara yang dimaksud merujuk pada upaya paksa pengukuran lahan untuk proyek itu, yang melibatkan aparat TNI/Polri.
Selain menghadapi kekerasan, intimidasi dan kriminalisasi aparat, warga juga mengalami benturan dengan sesama saudara mereka.
Floresa mendapat laporan bahwa pada 19 September malam, warga adat Lungar mengadang seorang warga lainnya yang diduga menjadi utusan PT PLN.
Warga itu, Deus Dapang, hendak mempersiapkan lokasi sosialisasi pelebaran jalan untuk proyek tersebut. Ia berasal dari Kampung Rebak, salah satu kampung adat di Poco Leok, tetapi berdomisili di Ruteng, ibu kota Kabupaten Manggarai yang berjarak sekitar 23 kilometer ke arah utara.
Pengadangan lainnya yang dilakukan terhadap sesama warga terjadi di Kampung Mesir pada 3 September. Warga yang mendukung proyek mencegat warga dari belasan kampung lainnya yang mengunjungi salah satu lokasi titik pengeboran [wellpad] bersama Tim Independen dari Bank KfW.
Proyek-proyek yang sedang gencar dikembangkan di Pulau Flores adalah bagian dari Proyek Strategis Sasional bidang energi di pulau yang pada 2017 ditetapkan sebagai Pulau Geotermal.
Hingga kini terdapat dua lokasi PLTP yang telah beroperasi di Flores, yakni Ulumbu di Kabupaten Manggarai yang menghasilkan daya listrik 10 MW sejak 2012 dan PLTP Sokoria dengan kapasitas 3 MW sejak 2023.
Pemerintah menargetkan 16 titik WKP di Flores, yakni Wae Sano, Ulumbu, Wae Pesi, Gou-Inelika, Mengeruda, Mataloko, Komandaru, Detusoko, Sokoria, Jopu, Lesugolo, Oka Ile Ange, Atadei, Bukapiting, Roma-Ujelewung dan Oyang Barang.
Laporan ini dikerjakan oleh Petrus Dabu dan Anno Susabun
Editor: Ryan Dagur