Floresa.co – Polisi di Kabupaten Kupang, NTT akhirnya menangkap lansia pemerkosa anak yang dilaporkan sejak November tahun lalu, usai korban melakukan beragam cara agar aparat serius menangani kasus ini
Kini, keluarga masih menunggu Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP) sebagai pernyataan resmi kepolisian.
Informasi penangkapan itu disampaikan penyidik kepada keluarga korban melalui WhatsApp pada 29 April pagi.
“Puji Tuhan, terlapor Eduard Benu alias Edu sudah ditemukan, dibawa dan diamankan oleh tim Resmob di Polres Kupang dan sedang dalam proses pemeriksaan,” demikian isi pesan yang diterima YB, salah satu keluarga korban.
Unit Resmob atau Reserse Mobile bertugas menyelidiki dan menangkap pelaku tindak pidana, termasuk mengejar pelaku yang kabur.
Keluarga Minta SP2HP, Petugas PPA Intimidasi
Berbicara kepada Floresa pada 2 Mei, YB berkata, pada 29 April, penyidik langsung meminta korban bersama bayi yang dilahirkannya, serta orangtua korban untuk datang ke Polres Kupang “guna pengambilan sampel darah sebagai bagian dari proses penyidikan lebih lanjut.”
Korban tersebut, yang diperkosa pada tahun lalu saat masih berusia 15 tahun, telah melahirkan pada 7 Maret.
Menanggapi permintaan itu, YB menyebut tidak bisa memenuhi panggilan karena sedang sibuk bekerja. Ia sempat berjanji akan datang keesokan harinya, namun penyidik, kata dia, bersikeras agar mereka “harus datang saat itu juga.”
Imanuel Tampani, kerabat lainnya, menyayangkan langkah penyidik “yang langsung meminta keluarga datang ke Polres tanpa lebih dulu memberikan SP2HP.”
“Seharusnya kami menerima SP2HP lebih dulu, supaya jelas status hukumnya seperti apa, bukan sekadar disuruh datang begitu saja,” katanya kepada Floresa pada 2 Mei.
Pada 30 April, YB juga mengaku mendapat pesan WhatsApp dari petugas Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Provinsi NTT, menginformasikan hal yang sama kepadanya yakni “untuk segera pergi ke Polres.”
“Kami masih belum bisa hadir, karena saya masih harus menemani korban untuk kontrol di puskesmas,” katanya.
UPTD PPA adalah lembaga bentukan pemerintah daerah yang memberi layanan bagi perempuan dan anak korban kekerasan, diskriminasi, dan masalah khusus lainnya.
YB kembali dihubungi petugas itu pada 2 Mei, yang selain mendesak segera hadir di Polres Kupang, juga mempersoalkan langkah keluarga melakukan aksi demonstrasi menuntut penyelesaian kasus tersebut.
“Mama dong kalau polisi minta u lengkapi berkas atau minta ke polres, tolong pergi. Mama dong demo sampe semua kami dipanggil Mama. Setiap kali kami harus menghadap PPA polres hanya Mama punya demo itu. Sekarang polisi minta u konseling psikolog. Silakan kontak Ibu Itha karena beliau yg bertanggung jawab untuk datangkan psikolog,” tulis petugas itu.
YB menilai isi pesan itu intimidatif, seolah menyalahkan dirinya karena belum menghadirkan korban, bayi yang dilahirkannya serta orangtua korban ke Polres Kupang.
Sementara Imanuel berkata pendekatan petugas itu menunjukkan “kecenderungan aparat untuk menyalahkan keluarga, alih-alih fokus pada pemenuhan hak korban.”
“Bukannya menunjukkan empati, mereka justru memperlakukan kami seolah jadi pengganggu proses hukum. Ini bentuk pembalikan logika keadilan,” katanya pada 3 Mei.
Merespon pernyataan petugas yang mempersoalkan aksi demonstrasi, Imanuel berkata penangkapan pelaku justru terjadi bukan semata karena “inisiatif aparat,” melainkan sebagai “respons atas tekanan publik.”
Aksi demonstrasi terkait kasus itu dilakukan kelompok mahasiswa pada 15 April, menyoroti lambannya penanganan polisi kendati pemerkosaan terjadi enam bulan sebelumnya.
Massa aksi yang tergabung dalam aliansi pencari keadilan menyampaikan tuntutan agar pelaku segera ditangkap dan korban mendapat perlindungan yang layak. Mereka juga menduga polisi bersekongkol dengan pelaku dan membiarkannya kabur.
Dalam audiensi dengan Kapolres Kupang, AKBP Rudy Junus Jacob Ledo, kala itu, mereka juga menuntut kepastian waktu penangkapan.
Rudy lalu berjanji akan menangkap pelaku dalam waktu satu minggu.
Pada 3 dan 4 Mei, Floresa menghubungi Brigpol Riska, penyidik dalam kasus ini, untuk meminta penjelasan terkait upaya hukum selanjutnya setelah pelaku ditahan.
Namun, ia tak merespons, kendati pesan yang dikirim ke ponselnya bercentang dua, tanda telah sampai kepadanya.
Kronologi Kasus
Eduard Benu alias EB, lansia di Kecamatan Takari, Kabupaten Kupang, NTT dilaporkan memperkosa korban yang berusia 15 tahun hingga hamil dan melahirkan.
Aksi itu dilakukan berulang kali di rumah korban saat orang tuanya tak berada di rumah.
Hal ini diketahui ketika ibu korban menyadari adanya “keanehan” pada kondisi fisik anak gadisnya.
Khawatir akan kesehatan putrinya, ia dan suaminya membawanya ke RSUD Soe untuk dilakukan pemeriksaan medis.
Pemeriksaan yang dilakukan pada Sabtu, 9 November 2024 itu menyatakan bahwa korban sedang hamil.
Setelah mengetahui dihamili EB, mereka pun segera melaporkan kejadian ini ke Polres Kupang.
Laporan polisi terkait kasus itu dibuat pada 11 November 2024, sebagaimana tertuang dalam bukti tanda terima laporan bernomor: LP/8/252/X/2024/SPKT/POLRES KUPANG/POLDA NUSA TENGGARA TIMUR.
Keluarga korban baru dipanggil lagi untuk dimintai keterangan saksi dan korban oleh penyelidik pada 29 November 2024.
“Namun, usai diperiksa, tidak ada proses lebih lanjut lagi,” kata ibu kandung korban yang ditemui Floresa pada 20 Februari.
Karena itu, jelasnya, ia bersama perwakilan keluarga kembali mendatangi unit Pelayanan, Perempuan dan Anak [PPA] Polres Kupang pada 9 Januari 2025 untuk menanyakan perkembangan kasus.
Alih-alih mendapatkan penjelasan, petugas yang ditemui justru berkata, “penyelidik tidak ada,” sembari menelepon anggota unit PPA pada saat yang bersamaan.
Hasil pembicaraan itu menyatakan bahwa penyelidik berencana turun ke Tempat Kejadian Perkara (TKP) pada minggu berikutnya.
“Penyelidik akhirnya baru turun pada tanggal 17 Januari 2025,” katanya.
Respon itu, katanya, disusul dengan dikeluarkannya surat pemanggilan pertama kepada pelaku setelah mendapat desakan dari pihak keluarga.
Selain aksi demonstrasi mahasiswa, respons publik yang menuntut penyelesaian kasus itu juga diutarakan Ombudsman perwakilan NTT yang menerima pengaduan keluarga korban pada 14 Februari.
Editor: Anno Susabun