Komunitas Transpuan di Sikka Pertemukan Anak-Anak Nangahale dan Nangahure, Cara Tumbuhkan Empati dan Solidaritas Sejak Dini

Dengan bermain bersama dan berbagi kisah, anak-anak yang rumahnya digusur korporasi milik Keuskupan Maumere merasa tak lagi sendirian

Floresa.co – Komunitas Fajar Sikka, organisasi transpuan berbasis di Maumere mendampingi anak-anak Nangahale yang kehilangan rumah karena konflik lahan dengan korporasi milik Gereja Katolik.

Dalam acara pada 13 Mei, komunitas itu mempertemukan anak-anak  Nangahale dengan teman sepantaran mereka di Nangahure demi menumbuhkan empati serta solidaritas.

Mereka bermain dan saling bercerita nyaris seperempat hari di tepi Pantai Pintu Air Asia atau yang kerap disebut Pantai Pintar Asia.

Kawasan pesisir yang terpaut sekitar 48 kilometer dari Nangahale itu tercakup dalam wilayah administratif Kelurahan Wailiti, Kecamatan Alok Barat di Kabupaten Sikka.

Pertemuan tersebut merupakan bagian dari pendampingan pemulihan trauma atau trauma healing bagi lebih dari 20 anak korban penggusuran di Nangahale. 

Dari Nangahale, puluhan anak itu menumpang sebuah pikap yang disediakan Komunitas Fajar Sikka selaku penggagas trauma healing.

Selama lebih dari sejam duduk berhimpitan di atas sebuah pikap tak membuat mereka bosan. Mereka gembira lantaran hendak berjumpa dengan teman-teman baru.

Amelia Jessika Afrinda, seorang anak 10 tahun dari Nangahale mengaku senang bisa bertemu teman baru.

Meski “sedih ketika bercerita penggusuran yang kami alami,” tetapi ia “merasa tak sendiri” ketika mengetahui puluhan anak mendengarkan kisahnya dengan penuh perhatian.

Hendrika Mayora Viktoria, Ketua Komunitas Fajar Sikka berkata, kegiatan di Pantai Pintar Asia “melahirkan perjumpaan baru yang  membantu proses penyembuhan trauma anak-anak Nangahale.”

Pendampingan itu bukan pertama kalinya yang diinisiasi Komunitas Fajar Sikka.

Rangkaian kegiatannya bermula lima hari pasca penggusuran 22 Januari. 

Sedikitnya 120 rumah dihancurkan ekskavator yang dioperasikan PT Krisrama, korporasi milik Keuskupan Maumere.

Setelah sempat tiga bulan bertahan hidup di tenda-tenda darurat, sekurang-kurangnya 400 anggota Suku Soge Natarmage dan Goban Runut-Tana Ai kembali membangun rumah mereka.

Mayora dan sejumlah anggota Komunitas Fajar Sikka melawat ke Nangahale pada hari-hari awal pascapenggusuran. 

“Hati kami iba melihat perempuan dan anak-anak di Nangahale,” kata Mayora, “bahkan air bersih pun sulit mereka peroleh.”

Kepada Floresa pada 15 Mei, Kepala Suku Soge Natarmage, Ignasius Nasi mengatakan “sejumlah sumur di sekitar rumah warga adat turut dirusak ekskavator.” 

Ia tak tahu persis jumlah sumur di lokasi penggusuran, hanya menyatakan “kini tersisa lima sumur.” 

Lima sumur sulit memenuhi kebutuhan air bersih warga adat sekitar yang berjumlah sedikitnya 400 orang. Terlebih lagi ketika musim kemarau datang, yang lazimnya bermula pada pertengahan tahun.

Lihat Lebih Dekat

Mayora mengakui keterbatasan pengetahuan dirinya dan anggota Komunitas Fajar Sikka akan metode terapi dalam trauma healing.

Namun, setidaknya “inilah hal praktis yang dapat kami upayakan bagi korban penggusuran Nangahale.”

Solidaritas “tak sekadar bahan dialog dalam ruang-ruang diskusi ilmiah,” katanya.

Lebih dari itu, “solidaritas perlu dibangun secara nyata sehingga warga adat Nangahale tak merasa sendirian.”

Di antara sukarelawan Komunitas Fajar Sikka, turut pula Cece Geliting.

Pada 28 Januari, Forum Pemuda Katolik Bersatu melaporkannya ke Polres Sikka atas tudingan menista agama. 

Polres memanggilnya lewat undangan klarifikasi pada awal Februari. Cece merespons undangan itu dengan mendatangi Polres Sikka. 

Lantaran alasan keamanan, Cece memutuskan tinggal sementara di sekretariat Komunitas Fajar Sikka. 

Kasus tersebut membuat Cece kehilangan sejumlah klien yang biasa memercayakan riasan wajah mereka padanya. 

Meski hidup serasa sedang jungkir balik, Cece tetap terlibat dalam pendampingan bagi anak-anak dan perempuan di Nangahale lantaran “mereka lebih menderita dari saya.”

Sementara itu Mayora menyadari tak setiap orang menyepakati pendampingan komunitasnya di Nangahale. 

Bagaimanapun, ia menegaskan bakal “secara konsisten” mendampingi korban penggusuran.

“Kami akan tetap dengan cara kami, bisa membagikan hal baik di Nangahale,” kata Mayora

“Lihatlah lebih dekat,” katanya mengajak orang-orang membuka mata pada kesusahan warga adat di Nangahale

 “Mari berbuat sesuatu agar mereka tak merasa sendirian,” katanya.

Konflik Berkepanjangan dengan Korporasi Gereja

Nangahale, desa di kawasan timur Kabupaten Sikka, adalah lokasi konflik lahan yang belakangan ini memanas antara warga adat Suku Soge Natarmage dan Suku Goban Runut-Tana Ai dengan korporasi Gereja, PT Krisrama.

Konflik terkait lahan seluas 868.730 hektare itu bermula sejak peralihan kepemilikannya dari warga adat oleh perusahaan Belanda pada masa penjajahan.

Lahan itu lalu beralih ke Keuskupan Agung Ende melalui PT. Perkebunan Kelapa Diag untuk masa kontrak selama 25 tahun, hingga 2013. Keuskupan Maumere mulai menguasainya setelah keuskupan itu didirikan pada 2005, yang lalu membentuk PT Krisrama.

Konflik memanas usai warga mengklaimnya kembali pada 2014. Namun di tengah konflik dan pendudukan lahan itu oleh warga, PT Krisrama kembali mendapatkan perpanjangan izin Hak Guna Usaha (HGU) pada 2023.

Pada Januari 2025, korporasi itu melakukan penggusuran, berdalih “pembersihan lahan”, menyebabkan rumah dan tanaman warga rusak.

Berbagai upaya warga belakangan ini direspons PT Krisrama dengan menempuh jalur hukum, di antaranya menyebabkan tujuh warga kini dipenjara 10 bulan.

Sementara belasan warga lainnya kini menghadapi proses hukum setelah dua pastor melapor mereka ke Polda NTT dengan tudingan penyerobotan lahan dan ancaman pembunuhan. 

Editor: Anastasia Ika

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik mendukung kami, Anda bisa memberi kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel WhatsApp dengan klik di sini.

BACA JUGA

TERKINI

BANYAK DIBACA