Floresa.co – Pelabuhan Multipurpose Wae Kelambu, Labuan Bajo, lengang pada 14 Mei siang
Tak seperti biasanya, mobil-mobil ekspedisi dari dan ke Surabaya memadati jalan di sepanjang pelabuhan yang diresmikan mantan Presiden Joko Widodo pada 14 Oktober 2021 itu.
Saat hari itu Floresa mendatangi pelabuhan yang terletak di sisi utara Labuan Bajo tersebut, tak ada satupun kapal yang bersandar.
Dua hari berselang, Floresa kembali mendatangi pelabuhan itu, yang berjarak sekitar 8 kilometer dari Bandar Udara Komodo.
Tampak dua truk melintas di area pelabuhan. Seorang petugas keamanan di pos masuk pelabuhan memberitahu bahwa hari itu terdapat kapal yang bersandar.
“Kapal yang sandar hanya kapal kargo,” katanya, sementara kapal RoRo (Roll-on/Roll-off) belum beroperasi.
Kapal RoRo yang berukuran besar dirancang khusus untuk mengangkut kendaraan beroda, seperti mobil, truk dan bus.
Siska, warga kampung Menjerite, yang menjaga warung sekitar 300 meter dari pintu gerbang pelabuhan berkata, biasanya suasana ramai karena banyak mobil ekspedisi.
Bahkan, katanya, ada yang tiga hari melakukan bongkar muat.
Namun, keriuhan aktivitas di pelabuhan itu hilang sejak KM Dharma Rucitra 7 menabrak dermaga di pelabuhan itu pada 6 Mei saat hendak bersandar.
Sejak saat itu, kapal barang dan penumpang tidak lagi beroperasi. Siska pun terkena imbas. Warungnya menjadi sepi.
“Beruntungnya ada pekerja proyek jalan yang selalu membeli di sini. Lumayan masih ada pemasukan. Meski tidak membeli makan, mereka beli rokok dan kopi,” kata Siska yang menjalankan usahanya sejak Juli 2022.
Ia berkata, pendapatannya pun turun drastis.
“Sepi sekarang, hanya Rp500.000 per hari,” setengah dari biasanya satu jur saat kondisi ramai.
Eduardus Nggoro, pemilik jasa titip (jastip) Poetra Mandiri Indonesia Trans yang melayani jasa pengiriman barang dari Surabaya ke Labuan Bajo berkata, ia juga terkena dampak.
Pengiriman barang dari Surabaya, kata dia, terpaksa melalui Pelabuhan Ende di Kabupaten Ende, yang berjarak sekitar 400 kilometer dari Pelabuhan Wae Kelambu.
Jarak yang jauh, kata Edu, saat ditemui di kantornya di Labuan Bajo, arus distribusi barang menjadi lambat.
“Kalau kapal ikut Labuan Bajo barang tiga kali masuk seminggu, sekarang hanya satu kali,” katanya sambil menunjukan barang-barang yang baru tiba pada 15 Mei.
Ia khawatir, keterlambatan itu menurunkan kepercayaan pelanggannya.
Tak hanya distribusi barang menjadi lambat, Edu berkata, biaya pengiriman pun menjadi mahal karena timnya harus mengambil barang di Ende.
Edu pun berharap aktivitas pengiriman barang melalui Pelabuhan Multipurpose Wae Kelambu pulih kembali.
“Mudah-mudahan (kerusakan dermaga) segera diperbaiki,” ujarnya.
Sementara itu, Ladislaus Jeharun, warga Labuan Bajo menuntut transparansi dan pertanggungjawaban terkait kerusakan dermaga itu.
“Sampai saat ini belum ada penjelasan dari kapal dan Pelindo terkait penyebab utama kerusakan itu,” kata Ladis kepada Floresa pada 14 Mei.
Ia juga menyoroti pentingnya standar keselamatan tinggi dalam pengelolaan dermaga.
“Bayangkan jika saat kejadian ada warga, penumpang atau pekerja di sekitar lokasi. Risiko nyawa menjadi taruhannya,” tambahnya.
Ia berkata, masyarakat dan seluruh pengguna transportasi laut berhak atas jaminan keselamatan dan keadilan.
“Apakah harus menunggu korban jiwa baru bisa serius menindak?” ujarnya.
Ia juga mendesak Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) untuk melakukan investigasi menyeluruh terhadap kerusakan itu.
“Apakah benar karena kelalaian kapten, karena kapalnya yang mengalami kerusakan, atau karena memang konstruksi dermaga yang tidak benar,” katanya.
Ladis juga meminta Pelindo, sebagai operator Pelabuhan Wae Kelambu dan juga dan operator kapal KM Dharma Rucitra 7 menyampaikan klarifikasi resmi atas insiden itu.
Respons Kantor Syahbandar
Floresa berusaha melihat langsung kerusakan dermaga tersebut pada 14 Mei.
Namun, petugas jaga yang terdiri atas seorang TNI Angkatan Laut dan security tidak mengizinkan masuk.
“Kalau mau wawancara, mau foto-foto silahkan koordinasi dengan kepala KSOP,” kata anggota TNI AL yang berjaga, merujuk Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan Kelas III Labuan Bajo.
Sementara itu, General Manager Pelindo Regional III Labuan Bajo Yunanta Erwahyudi enggan memberikan penjelasan soal kerusakan dermaga itu.
Ia meminta untuk menghubungi Kantor KSOP Kelas III Labuan Bajo.
“Semua informasi melalui KSOP,” katanya kepada Floresa.
Pelabuhan di Labuan Bajo, termasuk pelabuhan Wae Kelambu, kata dia, berada di bawah pengawasan KSOP.
“Kalau tahu lebih detail, dermaganya dipakai atau enggak, ke KSOP saja,” ujarnya.
Sementara itu Kepala Sie Keselamatan Berlayar, Penjagaan, dan Patroli KSOP Kelas III Labuan Bajo, Maxianus Mooy, berkata, pihaknya tidak melakukan pembiaran terhadap kerusakan tersebut.
Dermaga itu, kata dia, diperbaiki dalam waktu dekat.
“Lagi persiapan anggaran dari mereka yang menabrak (Dharma Rucitra 7),” kata Max yang dihubungi Floresa pada 15 Mei.
Ia menjelaskan, Pelindo telah mendatangkan tenaga ahli untuk melakukan pemeriksaan dan menghitung biaya yang diperlukan untuk perbaikan.
Ia juga mengingatkan masyarakat untuk tetap bijak dalam menanggapi situasi ini dan tidak serta-merta menghakimi pihak kapal.
“Jangan kita mudah menghakimi dan pada akhirnya kapal angkat kaki, karena takut risiko tidak mau melayani,” katanya.
Kapal itu, katanya, masih dibutuhkan melayani kepentingan masyarakat Manggarai Barat dan kabupaten sekitar.
Kendati berbeda dengan pengakuan warga sekitar dan kondisi pelabuhan yang sepi, Max mengklaim, “ada terus kapal yang sandar di sana.”
Editor: Petrus Dabu