Yogyakarta, Floresa.co – Isu paling menggemparkan pasca disahkannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa adalah alokasi dana perimbangan pusat untuk desa.
Dana ini dihitung berdasarkan jumlah desa dan dialokasikan dengan memperhatikan jumlah penduduk, angka kemiskinan, luas wilayah dan tingkat kesulitan geografis dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan pemerataan pembangunan desa.
Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) telah mempublikasikan rincian alokasi Dana Desa pada APBN-P 2015.
Menurut data itu, terdapat 5 provinsi penerima dana desa terbesar, yaitu Jawa Tengah sebesar Rp 2,23 triliun, Jawa Timur Rp 2,21 triliun, Aceh Rp 1,71 triliun, Jawa Barat Rp 1,59 triliun dan Sumatera Utara Rp 1,46 triliun.
Kelompok Studi Tentang Desa (KESA), sebuah komunitas akademik yang dibentuk mahasiswa di Yogyakarta dan fokus mengkaji isu-isu terkait desa menilai, terjadi ketimpangan dalam alokasi dana itu.
Risky Hadur, Ketua KESA mengatakan, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang kemudian dipertegas dengan data mengenai rincian anggaran ini, ia memandang, terdapat celah pada undang- undang ini yang kemudian memunculkan sebuah tafsiran bahwa indikator pengelompokan provinsi hanya terkait jumlah penduduk, angka kemiskinan, luas wilayah dan tingkat kesulitan geografis sebagai pertimbangan jumlah dana.
Menurut dia, hal itu belumlah relevan, sebab konsep pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa memiliki segudang permasalahan yang menawarkan beragam alternatif pendekatan dan menjadi isu krusial dalam memandirikan desa.
“Variabel tingkat pembangunan dan tingkat pemberdayaan masyarakat memiliki pemetaan lebih luas dari sekedar keempat indikator itu,” katanya, Selasa (21/4/2015).
Risky menambahkan, “beberapa indikator seperti Indeks Pembangunan Manusia (IPM), pertumbuhan pembangunan, pertumbuhan ekonomi juga merupakan masalah sosial yang menjadi isu strategis pembangunan desa.”
Mengambil contoh kasus Provinsi NTT, misalnya dalam daftar IPM, provinsi ini masih menempati urutan 31 dari 33 propinsi (BPS Nasional 2007-2011). Di tingkat pendidikan, NTT pun masih jauh berada di urutan juru kunci di level nasional. Dari segi pembangunan, NTT pun masih tertinggal jauh dari ke 3 propinsi di pulau Jawa, seperti Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat yang nota bene berada dalam daftar 5 propinsi penerima dana desa terbesar.
“Saya melihat, pemerintah masih memandang tingkat kebutuhan daerah hanya pada aspek kuantitas, bukan kualitas,” kata Risky.
Ia menjelaskan, indikator yang menjadi pedoman dalam penentuan alokasi dana perimbangan kepada desa tidak mencerminkan prinsip proporsionalitas.
“Pengalokasian dana yang belum sepenuhnya merata ini seharusnya menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah,” kata mahasiswa Jurusan Ilmu Pemerintahan STPMD APMD” ini.
“Pemerintah perlu menetapkan sebuah standar yang lebih substantif dalam menentukan besaran anggaran yang dialokasikan untuk setiap daerah,” tambahnya. (Evan Lahur/ARL/Floresa)