Sr Eusthochia di Maumere, Biarawati yang Abdikan Diri Melawan Kekerasan Terhadap Perempuan

Sr Eusthocia SSpS
Sr Eusthocia SSpS

Sharing dari Desti Murdijana, dikutip dari www.komnasperempuan.or.id

Adalah sebuah kehormatan sekaligus kebahagiaan bagi saya ketika akhirnya bisa menghadiri Pesta Emas Sr. Estochia SSpS. Sejak tahun lalu, saya sudah sangat khawatir tidak bisa menghadirinya mengingat kesibukan di Komnas Perempuan yang selalu padat. Namun ketika, Suster Estochia mengatakan pesta akan diselenggarakan pada musim libur sekolah, ada sedikit kelegaan karena berarti saya bisa mengaturnya bersamaan dengan jadwal  libur pulang kampung. Pesta Emas, seperti layaknya  pesta emas perkawinan  yang telah melalui masa 50 tahun, adalah pencapaian sangat penting dalam kehidupan seseorang. Dan untuk seorang Suster Estochia, setengah dari waktu hidupnya sebagai biarawati telah didedikasikan penuh untuk para perempuan korban dan mereka yang teraniaya. Karena itu, saya ingin hadir di sampingnya ketika Suster merayakan pencapaian itu.

Perjalanan menuju Hokeng – Flores Timur – tempat Misa dan Perayaan dilaksanakan- adalah perjalanan menelusuri jejak masa lalu bagi saya dan suami. Bukan kami sebagai pasangan, tetapi sebagai individu. Suami saya menghabiskan masa remajanya di Seminari San Dominggo Hokeng dan saya untuk pertama kalinya memfasilitasi training Gender dan HAM bagi para suster muda dan calon suster di Biara SSpS Hokeng di awal tahun 2000. Saya yang muslim mengajar para suster adalah pengalaman yang luar biasa bagi saya, yang lebih luar biasa lagi training itu tidak hanya sekali dan tidak hanya di satu biara. Suster Esto-lah inisiatornya, bersama dengannya saya menyusun materi training dan kami bersama memfasilitasi proses. Menurut Suster Esto, para suster harus memiliki pemahaman yang baik tentang gender dan HAM. Keluar masuk biara menjadi hal yang biasa bagi saya, karena selama kurun waktu 2001 – 2002 tidak lebih dari 10 kali pelatihan kami lakukan.

Dalam pelatihan itu pula, saya mulai memahami makna “panggilan” bagi  seseorang biarawan dan biarawati. Yang menarik adalah bagaimana Suster Esto mengajak para suster muda bekerja seturut dengan apa yang sudah digariskan oleh kongregasinya, tetapi juga menumbuhkan kepedulian pada masalah masyarakat khususnya perempuan dimana mereka bekerja. Selain itu, Suster juga menegaskan untuk tidak menjadi pelaku pelanggaran HAM. Menurutnya para suster-suster ini pada suatu masa akan menjadi ‘pembesar’ di lingkungan biara, kongregasi dan masyarakat, kekuasaan bisa melenakan mereka melakukan penindasan pada yang lain.

Perkenalan saya dengan Sr Estochia di mulai di tahun 1999, kala itu saya mendapat tugas dari kantor lembaga untuk  mengadakan semacam pemetaan untuk melihat kelompok masyarakat apa saja yang bekerja untuk isu perempuan di Maumere. Di suatu sore, para aktivis perempuan dari berbagai kalangan di Maumere berkumpul, salah satunya adalah Suster Esto. Saya masih ingat, suster datang dengan sandal jepit dan selembar kertas serta pensil naik angkutan kota (bemo). Kesan saya, suster satu ini cuek banget …suaranya yang lantang, hampir mendominasi diskusi kami sore itu, bukan karena dia ingin selalu bicara, tetapi pengalamannya baik dengan korban maupun pengungsi misalnya membuat dia bisa bercerita banyak. Waktu itu Suster Esto, baru saja kembali mengantarkan bantuan untuk pengungsi di Timor Timur, dan dengan segala daya upayanya dia berhasil melalui hadangan para milisi untuk bisa bertemu dengan para pengungsi (Catatan: di pertengahan 1999, Presiden Habibie memutuskan untuk diadakannya referendum bagi masyarakat Timor Timur. Kelompok pro integrasi diantaranya para milisi mencoba untuk menumbangkan  gerakan pro kemerdekaan dengan segala cara dan bentuk kekerasan, banyak rumah yang dibakar dan dihancurkan sehingga banyak yang harus mengungsi). Pertemuan itu diakhiri dengan ajakan suster untuk datang dan menginap di biaranya, saya sempat bertanya “Boleh ya  suster, orang luar ikut tinggal di biara?”, Suster Esto menjawab dengan enteng, “Biara saya terbuka untuk para pekerja kemanusiaan dan korban”…..

Bekerja untuk mendukung para pengungsi Timor Timur inilah yang rupanya mempertautkan saya dengan Suster Esto lebih jauh. Ketika hasil referendum membawa rakyat Timor Timur mendapatkan kemerdekaannya, kekerasan dan konflik berlanjut semakin parah. Puluhan ribu orang mengungsi ke Timor Barat, di antaranya adalah para pekerja HAM dan keluarganya. Mereka inilah yang menjadi incaran para milisi. Kantor saya waktu itu – Yayasan Pikul- menyiapkan program evakuasi khusus untuk menyelamatkan para aktivis. Sebagian di evakuasi ke Jakarta dan sebagian harus di kirim ke tempat yang cukup aman. Kemudian saya menghubungi Suster Esto untuk mengirim sebagian pengungsi yang terdiri dari para aktivis HAM ini ke Maumere. Rupanya, Suster Esto dan teman-teman Tim Relawan untuk Kemanusiaan Flores (TRUK-F) juga sudah bersiap. Pengalaman yang tidak terlupakan adalah setelah saya mengantar 100 orang untuk berangkat ke Maumere melalui pelabuhan Ferry Bolok Kupang, suster menelpon dan mengatakan bahwa sudah ada milisi di hotel dimana 100 pengungsi akan tinggal selama di Maumere. Jantung rasanya copot, dan hingga esok harinya saya tidak tidur karena sangat khawatir dengan keselamatan para pengungsi. Rupanya para milisi bisa diusir oleh polisi dari hotel atas desakan para pastor dan suster, tapi beberapa minggu berikutnya mereka masih datang melakukan teror.

Sejak itulah, Suster Esto mulai banyak dilibatkan dalam kegiatan jaringan perempuan di NTT yang waktu itu tergabung dalam Jaringan Kesehatan Perempuan Indonesia Timur (JKPIT). Dukungan Suster Esto untuk para koban semakin sistematis melalui Divisi Perempuan TRUK-F, hingga beberapa tahun yang lalu mereka bisa mendirikan sebuah shelter (rumah aman) bagi perempuan korban kekerasan terhadap perempuan.

Dalam mengadvokasi kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan, Suster Esto tidak mengenal lelah dan takut. Suaranya yang lantang menyuarakan fakta dan kebenaran dilakukannya dengan sangat konsisten sehingga tidak mudah dibantah dan dipatahkan. Polisi, jaksa, hakim dan bahkan bupati tidak sedikit yang mendapatkan kata-kata pedas dari suster karena mereka bekerja tidak profesional. Statusnya sebagai biarawati senior dimainkan dengan baik untuk mempengaruhi para pengambil kebijakan, demi membela para korban. Untuk kerja kerasnya ini, Suster Esto pernah mendapatkan penghargaan dari Pemerintah Propinsi NTT.

Di usianya yang sudah tidak muda lagi, sebagai sahabat saya sering khawatir dengan kondisi kesehatannya. Di hari perayaan yang dihadiri oleh keluarga, sahabat dan para korban, Suster Esto kelihatan sangat bersemangat walaupun jalannya harus dibantu karena osteoporosis yang mulai menggerogoti tubuhnya. Tapi berbicara tentang korban tidak berhenti dia lakukan, diantara acara yang padat pada perayaan tersebut, Suster Esto masih sempat mengunjungi saya di penginapan untuk mengabarkan dan mengajak diskusi sejumlah siswa SMP yang menjadi korban kekerasan seksual oleh salah seorang gurunya. Saya hanya bisa berdoa, agar Suster Estochia tetap diberikan kesehatan sehingga terus bisa berkarya, karena baginya itulah panggilan yang sesungguh-sungguhnya.

Hokeng, 2 Juli 2014

 

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini.

BACA JUGA

BANYAK DIBACA