FLORESA.CO – Kemeriahan perayaan 17 Agustus di kota Ruteng setiap tahunnya selalu meninggalkan cerita tersendiri bagi masyarakat kota Ruteng. Gelaran tersebut dimulai dari peringatan detik-detik Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus, kemudian Pawai Pembangunan dan Pameran Pembangunan.
Pada Pawai Pembangunan Senin, 21 Agustus 2017, setiap pasang mata disuguhi oleh berbagai atraksi yang menyita begitu banyak perhatian. Satu penampilan yang sungguh berbeda dari peserta Pawai Pembangunan lainnya yakni kelompok Perkusi dari SMIP Sadar Wisata Ruteng.
Menariknya kelompok Perkusi ini memainkan begitu banyak ritme musik yang berasal dari berbagai barang bekas rumah tangga yang kemudian disulap menjadi alat musik. Mau tahu tentang cerita Kelompok Perkusi SMIP Sadar Wisata Ruteng ini? Berikut wawancara Floresa.co dengan salah satu guru Seni dan Budaya SMIP Sadar Wisata Ruteng, Fransiskus Genisa, S.Pd di Woang Rabu, 23 Agustus 2017
Bagaimana perasaannya setelah kelompok Perkusi ini tampil di pawai Pembangunan kemarin?
Saya sangat bangga sekali. Akhirnya anak-anak murid saya bisa tampil di hadapan masyarakat kota Ruteng.
Bisa diceritakan bagaimana latar belakang terciptanya kelompok Perkusi ini?
Sebenarnya ide perkusi berawal dari salah satu materi dalam pelajaran seni budaya. Pelajaran tersebut mengenai unsur-unsur musik yang mana terdapat unsur ritme. Di kelas saya mengajarkan cara menghasilkan ritme paling sederhana menggunakan tepukan tangan. Mengenai unsur media, kebetulan media yang paling sederhana yang bisa dijangkau ya, melalui barang-barang bekas. Kemudian juga tahun lalu terdapat perlombaan Perkusi ini antar kelas. Sehingga ketika diminta untuk tampil di pawai pembangunan, kami menampilkan apa yang telah kami tampilkan sebelumnya.
Bagaimana respon anak murid ketika diberikan informasi mengenai permainan Perkusi ini?
Mereka sangat antusias bahkan mereka sangat bersemangat ketika saya mencoba meyakinkan mereka bahwa musik itu tidak selalu datang dari alat-alat mahal tapi tergantung dari media yang ada. Jujur saja waktu latihan kami tidak cukup ideal. Namun saya terbantu karena sebagian besar para pemainnya telah saya kenal sebelumnya. Ada beberapa anak murid yang memiliki feel ritmis bagus. Ketika ada informasi dari pembina Osis untuk tampil di pawai Pembangunan, saya mulai mengumpulkan para murid tersebut untuk berlatih.
Apa saja barang-barang bekas yang digunakan?
Ada ember. Dan ember yang kami gunakan jenis ember untuk cat matex kemudian ember yang biasa digunakan untuk menimba air berukuran kecil, botol bir, botol minuman air Ruteng, jerigen jumbo yang berukuran kecil, seng bekas, piring-piring alumunium dan pemukul atau stik kami gunakan dari kayu.
Darimana saja barang-barang bekas tersebut didapat?
Ini yang menarik karena kami mendapatkannya dari rumah kami sendiri. Ada pula yang mengambilnya dari pinggir jalan seperti botol air mineral Ruteng.
Bagaimana cara menentukan bunyi di setiap alat musik yang telah ditentukan?
Kunci sukses perkusi ialah pemilihan barang yang tepat. Kami menentukannya dari setiap barang yang ada di sekitar kita. Jika semakin banyak barang yang ada tentu warna bunyi semakin banyak dan itu akan semakin menarik. Contohnya bass, ya menggunakan jerigen jumbo, seng kami gunakan untuk menggantikan posisi simbal, ember matex untuk “isian-isian” tertentu ketika pemain belakang mengalami kekosongan untuk memukul. Sumber bunyi juga bergantung dari kayu pemukulnya juga. Jika kayu semakin tebal maka bunyi semakin bagus pula. Pilihan kayu yang tipis maka bunyinya semakin cempreng.
Kemudian bagaimana bapak menciptakan ritme dari berbagai alat musik ini?
Apa yang kami tampilkan kemarin merupakan hasil arrensemen bersama anak-anak. Kalau mau dikatakan, angkatan mereka sangat gemilang terkait perkusi. Jadi saya berikan kesempatan kepada para murid untuk menyampaikan idenya. Mereka pun menyampaikan ide masing-masing. Kemudian saya kolaborasikan ide-ide itu sehingga menghasilkan enam ritme yang telah kami tampilkan kemarin. Kami pun tak lupa memerhatikan kecepatan ritmenya apakah ritmenya cepat atau lambat dengan memerhatikan tema pawai pembangunan maupun jumlah kehadiran para penonton. Sehingga ada berbagai ritme kami hasilkan. Dan ritme itu berasal dari anak murid sendiri.
Bagaimana cara mengelola begitu banyak ritme yang dihasilkan dari begitu banyak barang bekas ini?
Pada penampilan kami kemarin, kami memainkan enam ritme. Masing-masing ritme dikendalikan oleh seorang leader dengan bunyi yang ia mainkan sesuai ide yang juga ia hasilkan. Yang kemudian dikolaborasikan dengan dengan berbagai bunyi dari masing-masing alat. Di penampilan kami kemarin kami juga memainkan lagu Kala Rana ciptaan bapak Felix Edon dan lagu Laskar Pelangi. Beruntungnya karena para pemain Perkusi kemarin merupakan pemain yang telah lama saya kenal sehingga tidak terlalu sulit untuk dilatih.
Apakah ada tantangan selama proses latihan?
Pasti ada, namanya juga kami menciptakan karya. Saya coba sebutkan pertama menyatukan berbagai ide tentang ritme yang ingin dihasilkan. Anak-anak sering berdebat mencari pukulannya masing-masing. Sehingga saya mengambil jalan tengah untuk menyatukan ide yang mereka sampaikan dengan hasil yang terkadang menjadi kejutan bagi mereka. Tugas saya, ya mengatur peralihan dari satu ritme ke ritme yang lain, itu yang susah. Namun, syukur juga kami bisa berikan yang terbaik. Kedua juga tantangan dari lingkungan. Terkadang selama latihan ada beberapa orang yang merasa terganggu apalagi pada saat mencari pukulan yang tepat. Nah ini yang ribut. Ini tantangan bagi kami. Oh iya, satu lagi tantangan yakni ketika anak-anak tampil pada saat pawai, begitu banyak komentar negatif yang mereka dapatkan semisal, ‘ oe ngo timba air nia meu e? (Kalian mau pergi timba air dimana?) dan komentar-komentar lepas lainnya.
Bisa disebutkan apa saja manfaat yang didapatkan oleh anak-anak murid bapak dengan permainan Perkusi ini?
Tentunya pertama mereka bisa disiplin dalam waktu, misalnya jam berapa mereka mulai latihan. Kedua juga mereka bisa belajar menghargai pendapat teman-temannya karena permainan Perkusi ini adalah permainan kelompok. Ketiga juga mereka dapat menahan naluri untuk menonjolkan diri dan terakhir mereka bisa melatih kedewasaan mereka sendiri melalui proses yang kami jalani.
Apa saja tujuan yang ingin disampakan kepada para masyarakat kota Ruteng maupun Manggarai dengan kelompok Perkusi ini?
Tujuan kami sederhana saja, perkusi ini adalah hiburan. Namun dibalik hiburan ini proses yang kami jalani itu yang sangat luar biasa. Kami ingin menunjukan kepada masyarakat bahwa jangan bicarakan kesulitan ketika ingin melakukan sesuatu. Dan paling penting tujuannya ialah menyerah bukan pilihan ketika kita mengalami keterbatasan. Barang-barang bekas yang kami gunakan merupakan usaha kami mengelola keterbatasan dalam mengadakan alat-alat musik. Itu tujuan utama yang ingin kami sampaikan.
Ada harapan yang ingin disampaikan kepada masyarakat Manggarai?
Pertama untuk sekolah-sekolah, kita perlu berlaku adil kepada anak-anak murid. Jangan hanya membiarkan anak-anak lain menjadi penonton. Saya bisa merasakan apa yang anak murid saya rasakan ketika mereka hanya bisa menonton teman-teman mereka tampil. Sehingga saya berharap kita bisa berlaku adil terhadap semua anak murid. Kasian jika anak-anak kita hanya menjadi penonton. Untuk pemerintah, perlu ada pemerataan fasilitas. Jangan cenderung memberikan perhatian kepada sekolah yang sama. Terus kedu, kalau dibidang musik, saya berharap pemerintah mampu melihat potensi yang ada di berbagai sekolah. Berharap juga diadakannya festival musik yang dikemas dengan cara yang berbeda. Dan juga kepada masyarakat umum agar memberikan dukungan kepada anak-anak murid agar mereka mau mengembangkan bakat di luar kelas karena manfaatnya terasa sekali di sekolah khususnya di proses pembelajaran.
Apa ada rencana ke depan?
Kami tidak berhenti saat pawai pembangunan kemarin saja. Banyak rencana yang telah kami pikirkan. Saya akan mengajak anak-anak murid lebih banyak lagi. Kami ingin menciptakan rekor dengan 500 hingga 1000 an anak murid yang memainkan musik dari barang-barang bekas. (Evan Lahur/Floresa)