FLORESA.CO – Ibrahim Agustinus Medah membuat keputusan politik yang berani. Setelah empat dekade lebih menjadi kader partai Golkar dan bahkan menjadi ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) tingkat provinsi NTT, ia pun menyatakan mengundurkan diri dari partai berlambang beringin itu.
Medah secara resmi mengumumkan pengunduran dirinya itu pada Jumat 25 Agustus 2017. Dan, ia pun menyatakan bergabung dengan partai Hanura, sebuah partai yang baru ikut pemilu tahun 2009. Hanura berdiri secara resmi pada 14 November 2006 dan merupakan salah satu partai pecahan Golkar.
Keputusan politik Medah hijrah ke Hanura tidak terlepas dari pertarungan di internal Golkar menuju pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur NTT tahun 2018.
Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Golkar dikabarkan sudah memutuskan akan mengusung Melki Laka Lena sebagai calon yang akan diusung oleh Golkar pada perhelatan pilkada NTT tahun 2018. Melki adalah kader muda Golkar yang kini menjadi pengurus DPP Golkar.
Medah mengatakan mestinya dialah yang diusung DPP pada pilgub NTT 2018. Tidak hanya karena ia adalah ketua DPD. Tetapi Medah mengklaim ada komitmen dari Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Golkar untuk mengusung dia pada pilgub NTT tahun 2018. Komitmen itu tidak cuma secara lisan, tetapi menurut Medah ada dalam bentuk tertulis.
“Isi pernyataan antara lain menyatakan saya akan meletakan jabatan jika kalah dalam pilgub. Nah sekarang DPP sudah putuskan calon lain maka saya memilih meletakan jabatan dan hengkang dari Golkar,” katanya seperti dikutip dari Metrotvnews.com.
Medah bukanlah pendatang baru di Golkar NTT. Pria kelahiran Bilba, Rote Ndao 8 Juni 1947 itu, sudah bergabung dengan Golkar sejak 1975 dimana dia menjadi ketua Golkar Kecamatan Rote Ndao.
Saat itu, Medah adalah seorang birokrat atau Pegawai Negeri Sipil (PNS). Sudah menjadi rahasia umum, birokrasi adalah mesin politik Golkar di era Orde Baru. Sebelum menjadi ketua Golkar Rote Ndao, Medah menjabat sebagai wakil camat Rote Ndao pada 1972 dan kemudian menjadi camat Rote Ndao pada 1973 dan camat Lobalain tahun 1976.
Karirnya di pemerintahaan terus menanjak. Tahun 1978, Medah menjabat sebagai Kepala Seksi Pemerintahan Kabupaten Kupang kemudian juga menjadi kepala kantor Sosial Politik Kabupaten Kupang.
Bersamaan dengan menanjaknya karir di birokrasi, karir politiknya juga kian cemerlang. Tahun 1990, ia didaulat menjadi Ketua Golkar Kabupaten Kupang. Seperti disinggung sebelumnya, antara Golkar dan birokrasi Orde Baru memang tidak terpisahkan.
Pria dengan panggilan Iban ini kemudian menjadi anggota DPRD kabupaten Kupang pada periode 1992-1997, sekaligus terpilih sebagai Ketua DPRD. Setelah berkarir di legislatif, Iban kembali menjadi bagian dari pemerintahan dengan menjadi staf ahli Gubernur NTT pada tahun 1997.
Setahun kemudian, tahun 1998, Iban menjadi kepala Biro Organisasi Kantor Gubernur NTT. Dan tahun 1999 sempat menjadi Sekretaris DPRD NTT.
Meski Orde Baru tumbang, Golkar yang merupakan mesin politik utamanya, mampu beradaptasi dengan perubahan sosial politik Indodnesia yang memasuki era reformasi.
Ibrahim Medah yang merupakan bagian dari kekuatan Golkar masa lalu juga mampu menyesuaikan diri dengan perubahan politik yang terjadi. Ia bahkan terpilih sebagai Bupati Kupang periode 1999 hingga 2004. Dan, kemudian terpilih kembali pada periode 2004-2009.
Bersamaan dengan itu, tahun 2004, Iban juga terpilih sebagai Ketua DPD Golkar NTT. Setelah dua periode menjadi Bupati Kupang, Iban kemudian kembali menjadi anggota legislatif yaitu anggota DPRD NTT dan terpilih sebagai ketua DPRD NTT periode 2009-2014.
Setelah lama bermain di ranah politik lokal, pada pemilihan legislatif 2014, Medah mencoba tantangan baru dengan menjadi calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari NTT. Hasilnya ia melenggang ke Senayan dengan perolehan 382.122 suara.
Berkali-kali Gagal Jadi Gubernur
Pemilihan gubernur secara langsung di Indonesia dimulai sejak tahun 2005. Dan di NTT sendiri digelar pertama kali pada tahun 2008. Pada pilgub 2008 itu, dari tiga calon gubernur yang bertarung, satu diantaranya adalah Ibrahim Agustinus Medah yang diusung oleh Golkar. Saat itu, Golkar tak repot-repot mencari koalisi karena di DPRD Golkar memiliki 21 kursi. Karena itu, Medah pun berpasangan dengan Paulus Moa yang juga kader Golkar.
Kemudian, pada pilgub 2013, nama Ibrahim Agustinus Medah kembali ada. Kali ini, ia kembali berpasangan dengan rekan separtainya yaitu Melki Laka Lena yang kini menjadi seterunya. Golkar kembali tak pusing-pusing membangun koalisi, karena dari 55 anggota DPRD NTT 2009-2014, Golkar memiliki 11 kursi atau 20%. Pas untuk mengusung satu pasangan calon.
Dari dua kali perhelatan pilgub NTT, Medah selalu keok. Tapi, ia selalu menjadi kompetitor yang sangat diperhitungkan. Maklum, karir politiknya yang panjang terutama di daratan Timor membuat ia memiliki basis massa yang banyak. Tak hanya itu, Golkar sebagai meskin politiknya memang cukup kuat di NTT.
Pada pilgub NTT 2008, pasangan Ibrahim Medah-Paulus Moa berada pada posisi runner up. Perolehan suara mereka sebanyak 711.116 suara. Terpaut tak terlalu signifikan dengan pemenang yaitu pasangan Frans Lebu Raya-Esthon Foeny yang memperoleh suara 772.032 suara.
Pada peilgub 2013, dari lima pasangan calon, pasangan Medah-Melki, berada pada posisi ketiga. Perolehan suara mereka terpaut tipis dengan runner up yaitu pasangan pasangan Esthon Foenay-Paul Talo. Pasangan Medah-Melki memperoleh 514.173 suara sedangkan Esthon-Talo memperoleh 515.836 suara.
Jelang pilgub NTT 2018,nama Ibrahim Medah kembali muncul sebagai bakal calon dari sekian banyak nama yang muncul. Namun, berbeda dengan pilgub 2008 dan 2013 dimana Golkar bisa mengusung calon sendiri tanpa harus berkoalisi, pilgub 2018 ini cukup berat bagi Golkar.
Meski jumlah kursinya tetap yang terbanyak di DPRD NTT yaitu 11 kursi, tetapi Golkar kali ini harus berkoalisi. Karena, syarat untuk mencalonkan satu pasangan calon pada pilgub NTT 2018 adalah minimal memiliki 13 kursi dari total 65 kursi di DPRD NTT. Kondisi inilah yang menimbulkan terjadinya friksi di internal Golkar NTT. Mereka mesti berkoalisi dengan partai lain untuk menggenapi syarat pencalonan. Dan partai lain, sudah barang tentu menyodorkan kadernya untuk disandingkan bersama kader Golkar.
Dan rupanya, Melki Laka Lena-lah yang ditetapkan DPP Golkar untuk menjadi calon yang diusung partai itu pada pilgub NTT 2018, bukan Medah yang sudah hampir 42 tahun membangun Golkar NTT.
Lalu, apakah dengan bergabung dengan Hanura, Medah akan tetap lolos masuk dalam bursa calon gubernur atau wakil gubernur NTT tahun 2018? Tentu tidak mudah bagi Medah. Karena Hanura sendiri punya kader yang sudah menyatakan akan maju dalam pilgub NTT tahun 2018 yaitu Andre Garu.
Sama seperti Medah, Andre adalah anggota DPD asal NTT periode 2014-2019. Andre juga adalah pengurus DPP Partai Hanura. Karena itu, tidak mudah juga bagi Medah untuk diusung oleh Hanura. Jumlah kursi Hanura sendiri di DPRD NTT hanya 5 kursi. Artinya, harus berkoalisi. Bukan tidak mungkin partai lain yang berkoalisi menawarkan kader sendiri. Lantas inikah akhir perjalanan politik Medah di kancah politik NTT? Nanti kita lihat saja. (PT/Floresa)