Dari Desa, Kelurahan, Hingga Jadi Aset Pemda: Warga Cari Kejelasan Alih Status dan Pemanfaatan Tanah di Manggarai Timur

Warga Kelurahan Mandosawu berharap mendapat penjelasan terkait status tanah yang yang sebelumnya dikenal sebagai kebun desa, namun kini berubah jadi tanah milik Pemerintah Kabupaten Manggarai Timur.

Baca Juga

Floresa.co – Sekitar dua tahun silam, plang berdiri di sebuah lahan di Nancang, kampung yang secara administratif tercakup dalam Kelurahan Mandosawu, Kecamatan Lamba Leda Selatan, Kabupaten Manggarai Timur.

Berbunyi “Tanah milik Pemerintah Kabupaten Manggarai Timur. Dilarang memakai dan/atau memanfaatkan aset tanah ini tanpa izin dari Pemerintah Kabupaten Manggarai Timur”, keberadaan plang itu membuat warga yang tahu-menahu muasalnya kaget.

Sebelumnya, warga setempat mengenal lahan tersebut sebagai “kebun desa” yang lalu beralih fungsi menjadi “tanah kelurahan,” bersamaan dengan perubahan status Mandosawu dari desa ke kelurahan.

Fidelis Jerabu, Tua Gendang, yang menangani urusan di rumah adat Mano, mengaku kaget saat melihat plang itu “tiba-tiba sudah ada di sana.”

“Kami hanya menunggu mau digunakan untuk apa tanah itu,” katanya.

Menurut beberapa warga yang berbicara dengan Floresa, Dinas Perikanan Manggarai Timur pernah mengukur lahan itu untuk dijadikan sebagai tambak. Namun, tidak ada tindak lanjut setelahnya.

Sama seperti Fidelis, Wihelmus Sin Jungke, 60 tahun, warga lainnya mempertanyakan alasan pemasangan plang itu.

“Apakah [tetua adat] pernah menyerahkan tanah itu ke Pemda setelah adanya peralihan dari desa ke kelurahan?” katanya.

“Inilah yang kita perlu tanya ke tetua adat,” katanya.

Menurutnya, kejelasan proses peralihan status tanah seharusnya disampaikan kepada warga, termasuk sejak perubahan desa menjadi kelurahan. 

Desa dan kelurahan memiliki perbedaan regulasi mengenai tanah. Desa mempunyai kewenangan mengatur rumah tangganya sendiri, termasuk mengelola tanah desa, demi menambah Pendapatan Asli Desa.

Yang terjadi di Mandosawau, kata dia, warga tidak pernah mendapat penjelasan soal peralihan tanah itu.

“Perlu ada sosialisasi berkaitan aset-aset itu supaya tak muncul ‘bola liar’ di tengah masyarakat,” katanya.

Pemasangan plang itu dilakukan bersamaan dengan penempatan papan nama di Kantor Kecamatan Lamba Leda Selatan.” Nomenklatur “Lamba Leda Selatan” merupakan hasil perubahan dari “Poco Ranaka”. Perubahan diajukan Pemkab Manggarai Timur pada 2019, sebelum disetujui Kementerian Dalam Negeri dua tahun berikutnya.

Mandosawu merupakan salah satu dari tiga kelurahan yang berada di Kecamatan Lamba Leda Selatan. Wilayahnya mencakup beberapa kampung, yakni Mano, Nancang, Wejang Raci, Benteng Dima, Weri Waso, Alang Tango Lawa dan Muntung Ata.

Sejumlah warga Mano yang berbicara kepada Floresa menceritakan, dahulu tanah tersebut merupakan milik Anton Sau, yang menjabat sebagai Kepala Desa Mandosawu pada 1970-an. 

Tidak seperti sekarang di mana kepala desa dipilih secara langsung, saat itu berlaku sistem penunjukan langsung.

Tak ada yang mengetahui tahun pasti Anton menyerahkan tanah itu kepada desa.

Namun, menurut warga yang ditemui Floresa, ia menghibahkan lahan itu supaya desa memiliki tanah sendiri.

Marsel Palus, 59 tahun, mantan pegawai yang mulai bekerja di kantor Kelurahan Mandosawu pada 2003 menyatakan tanah tersebut disertifikasi ketika Kelurahan Mandosawu dipimpin Anton Dehot pada 2020-2022.

Sertifikasi tanah “bertujuan untuk mengamankan aset-aset yang ada,” katanya.

Dalam proses sertifikasi, jelas Marsel, “terjadi koordinasi antarpihak” yang melibatkan pegawai Kelurahan Mandosawu, tetua adat Gendang Mano, pemilik tanah di sekitar tanah desa, anak mendiang Anton Sau dan Dinas Pertanahan.

“Mereka ikut menandatangani surat pernyataan sertifikasi tanah,” kata Marsel yang sudah pensiun tahun ini.

Ia membenarkan pengakuan warga bahwa tanah itu sempat dipersiapkan menjadi tambak ikan.

Tanah itu, jelasnya, juga pernah direncanakan menjadi  lokasi pembangunan kantor Kelurahan Mandosawu karena di kantor lama saat ini akan dibangun terminal.

Sablon Pakar, Tua Teno, yang menangani urusan tanah ulayat di Mano mengaku terlibat dalam penandatanganan surat pernyataan sertifikasi tanah itu di rumah Anton Dehot.

Floresa berupaya menelusuri berkas tanah itu di Kelurahan Mandosawu pada Senin, 9 Oktober. Terdapat lima pegawai di kantor itu. Salah seorang di antaranya mengaku “tidak punya pengetahuan yang memadai tentang tanah desa.”

Saat kembali mengunjungi kantor Kelurahan Mandosawu pada Kamis, 12 Oktober, seorang pegawai mengatakan tidak mengetahui keberadaan berkas-berkas tanah tersebut. 

Tidak ada yang tahu pasti tentang luas tanah itu. Beberapa warga memperkirakan luasnya antara separuh hingga satu hektar.

Saat masih berstatus tanah desa, kata Wens Son, warga Wejang Raci, pemerintah masih memberikan kesempatan kepada warga untuk menggarap lahan itu dengan sistem bagi hasil. 

Dulu, Wens bercerita, “kita akan menemukan tanaman cengkih dan kopi jika berjalan lebih jauh dalam areal tersebut.”

Sekarang kata dia, tidak sebatang kopi pun tumbuh lantaran “ditebang oleh orang tak dikenal.”

Wihelmus menambahkan, cengkih “selama ini dipetik pegawai Kelurahan Mandosawu,” katanya.

Sayangnya, kata dia, hasil penjualannya “tak pernah diinformasikan ke warga.”

Ia berharap ada keterbukaan informasi soal penjualan cengkih dan mengusulkan hasilnya dimanfaatkan untuk menyumpang keluarga miskin dan penyadang disabilitas.

Ece Pantur, pegawai Kelurahan Mandosawu mengakui bahwa kelurahan yang memetiknya.

Namun, ia mengatakan, hasilnya tidak signifikan karena buah cengkih tidak lagi selebat dulu.

“Tak sampai ratusan kilogram. Paling antara 20-25 kilogram. Hasilnya bagi dua lagi dengan yang petik,” kata Ece.

Bonifasius Gunung, pengacara yang kerap menangani kasus pertanahan mengatakan, perihal  asal muasal tanah itu, jika memang dihibahkan oleh Anton Sau maka statusnya menjadi “tanah negara yang dikuasai oleh pemerintah desa.”

Dengan perubahan status Mandosawu dari desa ke kelurahan, status kepemilikannya otomatis berubah dari milik desa ke milik kelurahan.

Mengingat pemerintah kabupaten adalah instansi yang membawahi kelurahan, kata Bonifasius, maka lazimnya aset bergerak dan tak bergerak milik kelurahan tercatat menjadi milik pemerintah daerah.

Ia menjelaskan, jika proses hibah lahan itu dahulu sudah dilengkapi surat-surat resmi, maka seharusnya tidak ada persoalan.

Kalaupun ada masalah pada tahap hibah ke pemerintah, katanya kepada Floresa, “yang berhak untuk mempersoalkan adalah ahli waris si pemilik asal tanah itu.”

Warga lain, kata dia, hanya boleh mempersoalkan tanah itu ketika pemanfaatannya tidak sesuai dengan tujuan saat dihibahkan kepada pemerintah.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kawan-kawan bisa berdonasi dengan cara klik di sini.

Terkini