Ada Laporan Penggunaan Bahan Peledak di Perairan Lembor Selatan, Beresiko bagi Keselamatan Nelayan dan Ekosistem Laut Sawu

Pada bulan ini, sebuah kelompok konservasi di Lembor Selatan melaporkan dugaan penggunaan bahan peledak oleh nelayan. Otoritas terkait sedang melakukan pengusutan

Baca Juga

Floresa.co – Peneliti isu kelautan dan perikanan menyebut penangkapan ikan dengan bahan peledak dapat memicu dampak berlapis yang membahayakan nelayan dan ekosistem laut, merespons kasus dugaan penggunaan bahan berbahaya tersebut oleh para nelayan di wilayah perairan Manggarai Barat baru-baru ini.

Penggunaan bahan peledak, kata Mohamad Abdi Suhufan, koordinator nasional Destructive Fishing Watch  “akan berdampak pada kerusakan ekologi, sosial dan ekonomi.”

Kerusakan ekologi, katanya kepada Floresa pada Selasa, 21 November, “dapat dilihat dari kerusakan karang yang merupakan rumah, tempat bertelur, memijah dan bermain ikan.”

Ketika ekosistem laut rusak, kata dia, populasi ikan menurun yang berdampak pada pelemahan hasil tangkapan nelayan kecil sehingga pendapatan mereka pun menurun.

Abdi mengatakan sebaiknya perlu ada edukasi dan kampanye agar nelayan bisa menggunakan alat tangkap yang ramah lingkungan seperti pancing, meski ia tak lebih jauh menjabarkan bentuknya.

Abdi menanggapi temuan Komunitas Pegiat Konservasi Penyu di Desa Naga Bere, Kecamatan Lembor Selatan, pesisir selatan Flores, baru-baru ini tentang dugaan penggunaan peledak oleh nelayan untuk menangkap ikan.

Awalnya, menurut Fadil Mubaraq, Ketua Ikatan Pemuda Peduli Konservasi [IPPK] dan Pengelola Beo Lejong Penyu, mereka mendapat laporan dari warga Kampung Nanga Tanga yang mendengar bunyi ledakan dari arah laut pada Kamis, 16 November pukul 13.00.

“Mereka mendengar [ledakan] dari arah Tanjung Kerita Mese,” katanya kepada Floresa, Senin, 20 November.

Wilayah sekitar Tanjung Kerita Mese, kata dia, merupakan salah satu zona Inti Kawasan Konservasi Perairan Nasional Laut Sawu atau yang lebih dikenal dengan Taman Nasional Perairan [TPN] Laut Sawu. 

“Setelah menerima laporan tersebut, kami menggunakan teropong untuk memantau,” katanya.

“Dalam pantauan kami,” kata Fadil, “terlihat ada dua buah perahu yang berada di sekitar lokasi ledakan.”

Meski tidak mengetahui secara pasti, Fadil menduga “nelayan yang menggunakan alat penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan ini berasal dari luar wilayah Lembor Selatan.”

Ia menjelaskan, ini merupakan kejadian kedua pada tahun ini, setelah sebelumnya pada Februari.

Fadil mengatakan telah melaporkan kasus ini ke Balai Kawasan Konservasi Perairan Nasional [BKKPN] Kupang, wilayah kerja Manggarai di Lembor dan pihak berwenang lainnya, meski “hingga kini kami belum menerima laporan lanjutan.”

Pihak berwenang lain yang ia maksud termasuk Polisi Air dan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut yang selalu terlibat dalam setiap kegiatan monitoring oleh BKKPN.

Imam Fauzi, Kepala BKKPN Kupang mengatakan telah menerima laporan kasus ini dari Zakki Ardiansyah, Koordinator TNP Laut Sawu. 

Menurut Imam, TNP Laut Sawu telah menindaklanjutinya dan telah berkoordinasi dengan Polisi Air, Tentara Nasional Angkatan Laut dan Pengawas Sumber Daya Kelautan dan Perikanan [PSDKP].

PSDKP, bagian dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, katanya kepada Floresa Selasa, 21 November, “tugasnya menangani kasus-kasus seperti bom ikan.”

Sementara Zakki Ardiansyah menyebut sudah meneruskan laporan itu kepada tim penegak hukum.

Ia mengaku informasi yang mereka peroleh memang sangat minim, karena hanya merujuk pada suara ledakan yang didengar warga.

“Karena minimnya informasi dari Nanga Bere, kami mencari informasi dari nelayan Desa Nangalili yang kemungkinan melewati daerah tersebut,” katanya kepada Floresa.

“Sampai saat ini, belum ada informasi tambahan yang kami terima,” katanya

Senanda dengan pengakuan Fadil, menurut Zakki, ini merupakan laporan kedua penggunaan bahan peledak di lokasi yang sama pada tahun ini, setelah laporan sebelumnya pada Februari.

Sementara hasil identifikasi dan koordinasi dengan Polisi Air pada Februari, kata dia, kasus destructive fishing pernah terjadi pada 2021.

Kala itu, kata dia, Polisi Air dari Polda NTT berhasil menangkap satu armada pengeboman dari Kabupaten Bima, Provinsi Nusa Tenggara Barat [NTB].

“Informasi dari mereka, jalur operasinya dimulai dari Pulau Sabu-Raijua, Selatan Sumba, naik ke Flores Selatan dan pulang ke NTB dengan cara melewati Selat Sumba, menghindari petugas yang terkonsentrasi di Labuan Bajo,” katanya.

Ia menjelaskan, lokasi yang diduga merupakan tempat pengeboman memang sangat jauh dari perkampungan warga dan terletak di balik Tanjung Kerita Mese.

“Daerah tersebut menjadi sasaran karena pada musim barat, nelayan dari pesisir selatan tidak banyak beraktivitas sehingga memperbesar peluang pelaku destructive fishing,” kata Zakki. 

Sementara itu, Dwi Santoso Wibowo, Kepala Stasiun PSDKP Kupang berjanji segera menindaklanjuti kasus ini.

“Kita lakukan patroli. Bila tertangkap, saya proses hukum,” kata Dwi kepada Floresa, Selasa, 21 November.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kawan-kawan bisa berdonasi dengan cara klik di sini.

Terkini