Tak Punya Waktu Rembuk, Kerabat Korban Penganiayaan di Manggarai Barat ‘Terpaksa’ Terima Penyelesaian Kasus secara Kekeluargaan

Undangan mediasi dari Polsek Lembor disampaikan pada hari yang sama dengan jadwal pemanggilan ke kepolisian.

Floresa.co – Keluarga korban penganiayaan yang menimpa anak dan ibu di Manggarai Barat ‘terpaksa’ menerima tawaran penyelesaian perkara secara kekeluargaan.

Langkah ditempuh setelah keluarga korban mendapat undangan mediasi mendadak dari Kepolisian Sektor [Polsek] Lembor.

Penganiayaan dilakukan RG terhadap TN, 21 tahun dan WS, sang ibu yang berusia 49 tahun pada 4 September. Korban maupun terduga pelaku merupakan warga Desa Wae Kanta, Lembor, Manggarai Barat.

RG berasal dari Kampung Nara yang bersebelahan dengan Leba, dusun hunian TN  dan WS.

Akibat penganiayaan itu, wajah TN dan WS mengalami memar dan lebam.

Panggilan Mendadak

Undangan disampaikan Polsek melalui Servasius Narto, Kepala Desa Wae Kanta, Kecamatan Lembor pada 18 Desember.

Pada hari yang sama, Servasius menelepon ke ponsel FS, memintanya segera mendatangi Polsek guna membahas kelanjutan penanganan kasus penganiayaan terhadap kerabatnya.

Panggilan telepon itu diterima oleh istri FS. 

Awalnya, “saya mengangkat panggilan itu karena mengira mungkin kami menerima bantuan sosial dari desa,” katanya.

Mengetahui panggilan berasal dari Polsek, ia lalu meminta anaknya menjemput FS yang sedang berladang.

FS dan FJ–juga kerabat korban–lalu menelepon TN. “Pikir kami, mungkin undangan itu sudah dikirimkan ke TN. Tetapi, waktu itu, TN tidak mengangkat telepon,” kata FS.

FS mengatakan ia juga menelpon VS, kerabat korban lainnya yang sejak awal turut mengawal penanganan perkara ini. VS, katanya, bersedia memenuhi undangan itu dan bersepakat untuk bertemu di Polsek.

Mereka tak sempat berdiskusi lebih lanjut lantaran “kami semua tengah berladang. Maka kami buru-buru pergi ke Polsek.”

Tak lama sesampai di Polsek, TN ternyata datang, setelah “menerima panggilan telepon dengan agenda serupa dari Servasius.”

Selang beberapa menit, RG, terduga pelaku penganiayaan juga tiba di Polsek.

Tak Semua Diakui

FS mengatakan dalam pertemuan itu, hanya ia bersama FJ dan TN yang diperkenankan masuk sebuah ruangan. VS menunggu di luar karena “ruangan yang terlalu sempit.”

Dalam ruangan, Kapolsek Lembor, Yostan Lobang menjelaskan mekanisme penanganan perkara menurut peraturan yang berlaku, “dimulai dengan mediasi tanpa unsur paksaan.”

Masing-masing pihak, baik terduga pelaku maupun korban, kata Yostan seperti diceritakan kembali oleh FS, “dapat menerima atau menolak mediasi.”

Menurut FJ, terduga pelaku menganiaya TN tanpa alasan yang jelas.

Pada 4 September pagi itu TN, seorang sopir angkot jurusan Leba-Lembor sedang bersiap-siap mengantar penumpang menuju Pasar Lembor ketika RG mendekati angkotnya. 

Kepada TN, RG meminta panenannya turut diangkut ke pasar. TN menolak lantaran “bagasinya penuh.”

Tak terima mendapat penolakan, “RG terus memaksa TN mengangkut sayurnya.”

Menurut keterangan WS, terduga pelaku lalu menaikkan sayurnya ke bagasi angkot. Ia juga sempat meminta tali kepada TN untuk mengikat sayurnya. 

TN mengatakan tali habis lantaran “dipakai mengikat semua bawaan penumpang.”

Menerima jawaban itu, RG tiba-tiba mencekik TN hingga lehernya terluka.

Meski merasa sakit, TN tetap melajukan angkot ke rumah SN, kerabatnya. Selain hendak mengangkut bawaan SN ke pasar, di sana ia juga menumpang untuk menangis lantaran tak tahan dengan sakit pada lehernya.

Di depan Yostan, RG mengaku telah menganiaya TN. Namun, ia mengklaim “penganiayaan terjadi karena TN memakinya.”

Dalam suatu rekaman suara antara seseorang dan RG yang diterima Floresa pada Jumat, 15 Desember, ia menyatakan “kalau ia tidak maki, saya tak mungkin pukul.”

Kepada Floresa pada 16 Desember, WS–ibu dari TN–mengonfirmasi putranya “memang sempat melontarkan kata-kata makian.” Tetapi umpatannya bukan ditujukan ke RG.

“Anak saya mengumpat sebagai reaksi spontan akan rasa sakit sehabis dicekik RG,” katanya.

Umpatan itupun, kata WS, “tak terlontar di depan RG.”

Meski tak menampik telah menganiaya TN, tetapi RG membantah dugaan dirinya melakukan tindakan serupa terhadap WS. 

Padahal, menurut FS, kejadian itu disaksikan SN, kerabat sekaligus pemilik rumah kejadian pemukulan.

“Saya tidak pukul ibunya. SN juga tidak ada di tempat kejadian,” kata FS meniru ucapan RG dalam pertemuan di Polsek Lembor.

Sementara SN tak hadir dalam pertemuan lantaran “diintimidasi oleh keluarga.”

“Bicara Keluarga”

Absennya SN sebagai saksi membuat kerabat korban “mau tak mau menerima permintaan maaf RG” sekaligus kompensasi sebesar Rp500.000.

Uang setengah juta rupiah itu untuk biaya pengobatan dan perawatan korban, yang dalam adat Manggarai dikenal sebagai wunis peheng.

Keluarga korban sebetulnya “tak sepakat dengan nominalnya.” Apalagi, dalam upaya mediasi pada awal Desember, keluarga telah meminta RG membayar denda Rp20 juta. 

“Kita ini bicara keluarga. Selain minta maaf, ada wunis peheng,” kata RG seperti diucapkan kembali oleh FS.

Pada Kamis, 21 Desember Floresa meminta keterangan Yostan Lobang, Kapolsek Lembor terkait penyelesaian kasus tersebut melalui pesan WhatsApp.

Ia hanya mengatakan “mereka sudah damai” tanpa menjabarkan proses penyelesaian perkaranya.

Berlarut-larut

Kasus tersebut telah dilaporkan sejak tiga bulan lalu. Sejak saat itu, keluarga korban telah tiga kali mendatangi Polsek Lembor untuk mencari titik terang terkait kasus itu. 

Kunjungan terbaru mereka adalah pada Sabtu, 9 Desember. Waktu itu, Polsek berjanji akan memanggil RG pada Senin, 11 Desember untuk dimintai keterangan.

Floresa menghubungi Yostan pada Selasa, 12 Desember untuk meminta informasi terkait pemanggilan RG. Kepada Floresa, Yostan mengatakan RG “sudah diinterogasi”.

Ia tidak menjabarkan hasil interogasi.

Floresa juga sempat meneruskan usulan VS kepada Yostan agar “menerbitkan surat undangan secara resmi” kepada mereka dan RG. Sebab, kata VS, pada 9 Desember, Polsek tidak mengeluarkan undangan secara resmi kepada keluarga korban dan terduga pelaku.

“Sabtu lalu [9 Desember], tidak ada penyampaian secara resmi bahwa korban harus hadir di kantor,” demikian pesan VS yang diteruskan Floresa kepada Yostan.

Pesan itu tidak ditanggapi Yostan. Ia hanya membacanya.

Pada Kamis, 14 Desember, FJ menghubungi Floresa dan mengatakan “belum ada panggilan untuk kami” oleh Polsek.

Terhadap informasi itu, pada Jumat, 15 Desember, Floresa kembali menghubungi Yostan. Ia mengklaim kantornya sudah berkomunikasi dengan keluarga korban terkait undangan ke Polsek.

“Kemarin mereka sudah komunikasi dengan Kepala Unit untuk hadir di Polsek,” ungkapnya.

Dalam rekaman pada 15 Desember, RG turut merespons kinerja lamban kepolisian. 

“Polisi juga banyak pertimbangan sehingga terkesan berbelit-belit,” katanya, “mereka harus memastikan apakah ini termasuk pidana ringan atau pidana berat.”

Gondok dengan Pemberitaan

Dalam rekaman suara pada 15 Desember, RG mengaku tak terima dengan pemberitaan Floresa pada 10 Desember lantaran “tak melakukan konfirmasi ke saya.”

Ia juga mengaku “tidak puas” dan menilai “berita itu sangat meresahkan dia karena tidak berimbang” karena “berpihak kepada korban tanpa meminta konfirmasinya sebagai pelaku.”

Ia meminta Floresa mengoreksi isi berita itu dan “mencari fakta yang benar seturut versinya.” 

Ia juga mengaku akan “membawa Floresa ke ranah hukum karena mencemarkan nama baik saya.”

“Saya sedang konsultasi dengan para pengacara tentang bagaimana baiknya,” katanya. 

Melalui pesan WhatsApp pada dua hari kemudian, Floresa berupaya menghubungi RG untuk meminta waktu wawancara. Namun, ia tidak merespons.

 

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini.

TERKINI

BANYAK DIBACA

BACA JUGA