Konservasi Mata Air, Dialog Libatkan Tokoh Adat dan Pemuda; Cara Paroki Tentang di Keuskupan Ruteng Perkuat Kepedulian Umat terhadap Lingkungan

Umat diajak untuk tidak hanya mengambil dari harta benda bumi apa yang mereka butuhkan untuk bertahan hidup, tetapi juga memiliki kewajiban untuk melindungi bumi

Floresa.co – Paroki St Fransiskus Assisi Tentang di Keuskupan Ruteng melakukan sejumlah agenda sebagai bagian dari upaya menyebarkan spirit peduli lingkungan kepada umat Katolik, termasuk konservasi di mata air dan dialog yang melibatkan para tetua kampung.

Bertepatan dengan Hari Bumi pada 22 April, paroki yang ditangani Ordo Fransiskan itu menggelar rangkaian kegiatan di Stasi Sirimese, Desa Golo Poleng, Kecamatan Ndoso dengan tema Planet versus Plastik.

Didukung oleh JPIC-OFM Indonesia dan Yayasan KEHATI, paroki mengemas tiga mata acara – konservasi lima mata air, dialog dan Perayaan Ekaristi ekologis.

Hadir dalam kegiatan tersebut warga dari Desa Golo Poleng, umat Katolik Stasi Sirimese, fungsionaris adat Gendang Rahong Sirimese, kaum muda – Orang Muda Katolik [OMK] Paroki Tentang dan Komunitas Pemuda Penjaga Penyelamat Kampung [PPK], dan dari Sekolah Dasar Katolik Sirimese.

Pada sesi konservasi mata air, seluruh peserta disebarkan secara berkelompok ke lima titik mata air –  Wae Lipang, Wae Like, Wae Bak, Wae Barong dan Wae Sosor –  untuk membudidayakan sekitar 600 anakan bambu yang disediakan Yayasan KEHATI.

Selain bambu, warga juga membudidayakan sejumlah enau di tanah milik stasi serta tanaman hias di Gua Maria Stasi Sirimese. 

Setelahnya, seluruh peserta kembali berkumpul di Rumah Gendang Rahong Sirimese untuk makan siang.

Pada pukul 17.00 Wita, berlokasi di Goa Maria dan Kapela Stasi Sirimese, dilanjutkan dengan dialog.

Acara itu menghadirkan Tua Gendang Rahong Sirimese, Thomas Jerubu yang membawakan materi Wae Bate Teku agu Uma Bate Duat [Mata Air dan Kebun]; Kepala Desa Golo Poleng, Siprianus Mandut dengan materi Undang-Undang Desa Tentang Perlindungan Hutan dan Mata Air.

Perwakilan OMK Stasi Sirimese, Marianus Jemada memaparkan materi Ekowisata Berbasis Budaya, sementara Yustinus Jampu, anggota PPPK terkait Peran Kaum Muda dalam Pelestarian Hutan dan Mata Air.

Pastor Paroki Tentang, Andreas Wilbrodus Bisa, OFM mengulas materi tentang Planet vs Plastik serta Tanggung Jawab Kristiani dalam Menjaga Bumi Rumah Bersama.

Thomas Jerubu menyatakan ikhtiar untuk melibatkan segenap warga kampung dalam menghidupkan kembali kearifan lokal yang mendukung upaya menjaga lingkungan.

Ia menyoroti kearifan lokal yang menaruh hormat pada hutan dan mata air melalui gerakan menanam dan menyulam bumi dalam ritual-ritual adat. 

Sementara Siprianus Mandut menegaskan komitmen memberlakukan undang-undang desa dan atau peraturan desa untuk menjaga dan mengamankan lokasi-lokasi mata air yang sudah dikonservasi. 

Yustinus Jampu mengajak generasi muda untuk lebih kreatif dan tanpa ragu-ragu berada di garda terdepan dalam kegiatan pelestarian dan perlindungan hutan dan mata air. 

“Selain itu, gerakan untuk memerangi sampah mesti menjadi musuh bersama sehingga  alam yang indah dan baik yang kita wariskan dari leluhur tetap terpelihara dari generasi ke generasi,” katanya. 

Marianus Jemada dalam presentasinya menyerukan perlu dan mendesaknya mengambil langkah konkret untuk meningkatkan perekonomian masyarakat pengrajin sopi dan gula merah – yang mayoritas dikerjakan warga di wilayah itu – untuk menanam, merawat dan melestarikan enau dan pohon-pohon lokal..

Hal itu, kata dia, menjadi penting untuk menjamin penciptaan ekonomi kreatif secara berkelanjutan.

Selain itu, kata Marianus, demi menjadikan Desa Golo Poleng dan Stasi Sirimese “sebagai salah satu dari tujuan destinasi wisata yang dipenuhi dengan citarasa budaya dan kearifan lokal yang estetis, ekonomis dan ekologis.”

Sementara Andreas dalam paparannya mengingatkan semua peserta tentang ancaman plastik yang sama mengkhawatirkannya dengan perubahan iklim. 

Merujuk pada presentasi yang diluncurkan oleh Earthday.org, ia berkata saat terurai menjadi mikroplastik, plastik akan melepaskan bahan kimia beracun ke dalam sumber makanan dan air, lalu menyebar melalui udara yang dihirup manusia. 

Di sisi lain, kata dia, produksi plastik kini telah meningkat hingga lebih dari 380 juta ton per tahun. 

“Lebih banyak plastik yang diproduksi dalam sepuluh tahun terakhir dibandingkan selama seluruh abad ke-20,” katanya.

Ia menekankan empat strategi mencapai pengurangan 60 persen plastik pada 2040, merujuk pada Earthday.org.

Pertama, jelas Andreas, meningkatkan kesadaran masyarakat luas tentang kerusakan yang dipicu plastik terhadap kesehatan manusia, hewan, dan seluruh keanekaragaman hayati. 

Langkah kedua menghapuskan semua plastik sekali pakai pada 2030 dan mencapai komitmen penghapusan bertahap ini dalam Perjanjian Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang polusi plastik pada 2024. 

“Ketiga, menuntut kebijakan untuk mengakhiri fast fashion dan banyaknya jumlah plastik yang diproduksi dan digunakan. Keempat, berinvestasi pada teknologi dan material inovatif untuk membangun dunia bebas plastik,” tambahnya.

Pastor Paroki St. Fransiskus Assisi Tentang, Andreas Wilibrodus Bisa, OFM (kedua dari kanan) bersama para pemuda umatnya. (Paroki St. Fransiskus Assisi Tentang)

Ia juga merespons solusi-solusi konkret yang sudah ditawarkan oleh keempat pembicara lain dengan menargetkan agar pohon-pohon yang telah dibudidaya di sumber-sumber air perlu dijaga, dikontrol, dimonitoring secara berkala sehingga hasilnya dapat dipanen pada waktunya. 

Paroki, kata dia, akan terus membangun kerja sama berjejaring dengan para pihak, baik pemerintah, pemuka adat maupun lembaga swadaya masyarakat dalam pengadaan anakan pohon untuk kegiatan konservasi lanjutan di tempat-tempat yang belum terjangkau, termasuk ruas jalan rawan longsor yang terbentang dari Sirimese sampai Tentang.

Acara hari itu diakhiri dengan Perayaan Ekaristi Ekologis.

Andreas menyebut perayaan itu sebagai ungkapan syukur kepada Allah Pencipta “yang telah menciptakan segala sesuatu baik adanya untuk kita manusia, serentak menuntut dari pihak kita manusia untuk menjaga dan memelihara bumi.”

Ia menyitir pesan yang diserukan oleh Paus Fransiskus dalam ensiklik Laudato si Art 6-7, bahwa “Setiap komunitas dapat mengambil dari harta benda bumi apa yang mereka butuhkan untuk bertahan hidup, tetapi juga memiliki kewajiban untuk melindungi bumi dan menjamin keberlangsungan kesuburannya untuk generasi-generasi mendatang.”

Editor: Ryan Dagur

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini.

TERKINI

BANYAK DIBACA

BACA JUGA