Empat Tahun Berlalu, Proyek Lapen di Lamba Leda Utara, Manggarai Timur Mangkrak, Warga Tuntut Tanggung Jawab Pemerintah Desa dan Kontraktor

Warga mengaku tidak tahu berapa anggaran untuk proyek itu karena pemerintah desa tidak memajang papan informasi

Baca Juga

Floresa.co – Warga di Kecamatan Lamba Leda Utara, Kabupaten Manggarai Timur menuntut tanggung jawab pemerintah desa dan kontraktor karena proyek lapen yang mulai dikerjakan empat tahun lalu mangkrak.

Tuntutan itu disampaikan warga Kampung Wae Lawas, Desa Golo Mangung setelah proyek lapen di Wae Paci, kampung tetangga mereka, tak kunjung dilanjutkan.

Hardianus Purnama, seorang warga Kampung Wae Lawas yang berbicara kepada Floresa pada 24 Juni mengatakan proyek lapen itu mulai dikerjakan pada 2020 dengan dana yang bersumber dari sisa lebih pembiayaan anggaran tahun sebelumnya.

Ia mengaku tidak tahu jumlah dana dan kontraktor yang mengerjakan proyek itu karena “tidak ada papan informasi.”

Ia juga mengaku pernah meminta Rencana Anggaran Biaya proyek itu kepada anggota Badan Permusyawaratan Desa [BPD].

Namun, kata dia, anggota BPD itu enggan memberitahunya.

Ia berkata proyek itu bervolume satu kilometer, tetapi “yang baru dikerjakan hanya sekitar 400 meter.” 

Pengerjaan lapen itu belum mencapai Wae Emas, sungai selebar delapan meter yang menghubungkan Kampung Wae Paci dan Wae Lawas, katanya.

Sementara itu jalan yang berstruktur telford di kampungnya bervolume satu kilometer dan sekitar 600 meter masih berstruktur tanah. 

“Kepala desa pernah bilang proyek itu belum bisa dilanjutkan karena sebagian besar dana desa dialokasikan untuk penanganan Covid-19,” katanya.

Hardianus mengatakan pada 24 Juni beberapa warga mendatangi Kepala Desa Golo Mangung, Engelbertus Anam di kantornya untuk menanyakan kejelasan proyek lapen itu.

Warga, kata dia, resah karena selama ini pemerintah desa “menutup mata” terhadap pembangunan di wilayahnya.

Ia berkata pemerintah desa, “sama sekali tidak ada usaha” untuk melanjutkan proyek lapen itu.

Alih-alih menjelaskan alasan di balik mangkraknya proyek itu, Engelbertus hanya mengaku “sudah dua kali dipanggil kejaksaan.” 

“Kepala desa berkata bahwa kalau nanti dipanggil untuk ketiga kalinya, dia langsung dipenjara. Kepala desa juga berkata bahwa semua uang pembangunan lapen itu sudah dikasih ke kontraktor,” katanya.

Hardianus juga mengkritisi pengakuan Engelbertus dengan mengatakan “kalau uang proyek itu sudah diberikan ke kontraktor, “mengapa dia [kepala desa] yang dipanggil kejaksaan?”

Ia menduga pengakuan itu hanya merupakan bentuk pembelaan diri Engelbertus karena “seharusnya dia langsung mengundurkan diri dan digantikan penjabat sementara.” 

Ia berkata dalam pertemuan itu, Engelbertus mengklaim kontraktor akan melanjutkan pengerjaan itu dan mengirimkan alat berat ke lokasi pada 26 Juni.

Engelbertus, kata dia, juga berjanji menggelar rapat pada 28 Juni bersama warga dengan menghadirkan BPD dan kontraktor.

Ia mengatakan Engelbertus enggan menyebut nama perusahaan atau badan usaha yang mengerjakan proyek itu.

Engelbertus hanya menyebut kontraktor tersebut tinggal di Reo, Kecamatan Reok, Kabupaten Manggarai.  

“Kepala desa juga sempat menelepon dan mengancam kontraktor di hadapan kami supaya harus hadir hari Jumat. Kontraktor berjanji akan akan menghadiri rapat itu,” ungkapnya. 

Hardianus mengatakan warga meminta supaya Engelbertus membuat surat pernyataan terkait “kapan pembangunan jalan itu dilanjutkan supaya menjadi jaminan bagi kami.” 

Tetapi, kata dia, Engelbertus mengatakan “tidak perlu dibuat surat karena dia sudah mendapat panggilan dari kejaksaan.” 

Hardianus yang kembali berbicara kepada Floresa pada 28 Juni mengatakan rapat dengan kontraktor batal dan “hari ini kami menggelar bakti sosial untuk membersihkan jalan.”

Ia juga berkata kontraktor juga belum mengirim alat berat ke lokasi proyek.

Warga Kampung Wae Lawas, Desa Golo Mangung, Kecamatan Lamba Leda Utara menemui kepala desa, Engelbertus Anam pada 24 Juni. Mereka mempertanyakan alasan di balik mangkraknya proyek lapen di Kampung Wae Paci. (Dokumentasi Hardianus Purnama)

Jalan sebagai Kebutuhan Mendesak 

Hardianus mengatakan peningkatan jalan merupakan kebutuhan paling mendesak bagi warga di kampungnya,

Sebagian besar warga di kampungnya, berprofesi sebagai petani dengan hasil panen utamanya adalah kemiri dan jambu mete yang biasanya dijual ke Reo.

Ia berkata jika hendak ke Reo yang berjarak sekitar 30 kilometer, warga biasanya berjalan kaki sampai di Wae Paci, lalu menumpang mobil dengan ongkos pergi pulang sebesar Rp50 ribu.

“Kalau Sungai Wae Emas meluap, terpaksa kami lewat jembatan gantung yang terbuat dari bambu,” katanya.

Hardianus bercerita pada 13 Februari, anggota Kelompok Panitia Pemungutan Suara terpaksa berjalan kaki sambil menyeberangi Wae Emas demi mengantar logistik pemilu ke kampungnya. 

“Di sungai itu memang ada jembatan, tapi kondisinya sudah rusak parah dan warga takut melintasinya,” katanya.

Ia menjelaskan, desanya masih sangat terisolasi.

Jalan penghubung Wae Paci dan Wae Lawas sebagian ruasnya sudah diaspal, sebagiannya masih berstruktur telford.

Kondisinya yang sudah rusak, kata dia, membuat kendaraan hanya bisa melintas saat musim kemarau atau ketika Sungai Wae Emas tidak meluap.

“Kalau hujan, jalan akan digenangi air,” katanya.

Hardianus juga bercerita, dua tahun lalu sejumlah warga di kampungnya terpaksa berjalan kaki sambil menggotong tiang listrik ke kampungnya. Mereka berjalan sejauh dua kilometer dengan menyeberangi sungai Wae Emas.

“Motor dan mobil hanya bisa masuk ke kampung kami pada musim kemarau. Sementara pada musim hujan kendaraan sama sekali tidak bisa lewat,” katanya.

Hardianus berkata merespons situasi itu, pada 27 Mei dan 21 Juni warga di kampungnya bergotong royong membangun jembatan di Wae Emas dan menyingkirkan sebuah pohon yang tumbang dari badan jalan agar kendaraan kembali bisa masuk dan melintas di kampung.

Floresa meminta tanggapan Engelbertus Anam melalui WhatsApp pada 27 Juni. Namun, ia tak meresponsnya, kendati pesan itu bercentang dua.

Sehari kemudian, Engelbertus juga tidak mengangkat panggilan suara Floresa.

Herry Kabut dan Mikael Jonaldi berkolaborasi mengerjakan laporan ini

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kawan-kawan bisa berdonasi dengan cara klik di sini.

Terkini

spot_img