Gelar Festival, Cara Kaum Muda Lembata Lestarikan Alat Musik dan Tari Tradisi

Upaya mereka tak difasilitasi Pemda, yang menurut panitia “hanya janji-janji mulut”

Floresa.co – Kaum muda di Pulau Lembata berkolaborasi melestarikan alat musik dan tari tradisi lewat sebuah festival budaya yang digelar baru-baru ini.

Lembata Maestro Festival yang digelar di Pantai Wulen Luo, Kecamatan Nubatukan diinisiasi Komunitas Langit Jingga Film.

Emanuel Hasan Lamaking, ketua komunitas yang berbasis di Lewoleba, ibu kota Kabupaten Lembata itu berkata, penyelenggaraan festival “untuk menjaga kearifan budaya agar tidak punah.”

Tatong, alat musik tradisi yang dipentaskan dalam festival itu merupakan warisan budaya warga Kedang.

Edang Tatong Lia Namang, sanggar musik berbasis di Leuwayan mementaskan tatong selama penyelenggaraan festival tiga hari berturut-turut pada 23-25 Agustus.

Selain tatong, festival turut diwarnai pementasan sejumlah tari tradisi Lamaholot, yang berhubungan dengan kehidupan warga Lembata, seperti penangkapan paus.

Emanuel Hasan Lamaking, yang dikenal dengan sapaan Elmo menyebut keduanya – tatong dan tari tradisi – adalah “entitas budaya Lembata yang mesti dijaga dan diwariskan.”

Acara itu juga turut memutar film dokumenter, pameran fotografi dan melukis mural oleh komunitas Timore Art Graffiti [TAG] asal Kupang.

Sebelum akhirnya warisan budaya ini dipentaskan, jelas Elmo, komunitasnya melakukan riset dan pengumpulan arsip dari Maret hingga Juni, guna “mencari jejak pengetahuan tari tradisi dan alat musik tatong”.

Tatong dalam Kehidupan Warga Kedang

Serupa halnya keturunan berakar budaya Lamaholot – yang kebanyakan tinggal di Flores Timur, Alor, Solor dan sejumlah wilayah lain di Lembata – warga Kedang melestarikan warisan leluhur lewat upacara adat seiring kelahiran, awal musim panen, masa menuai hingga kematian.

Dalam setiap upacara adat, warga Kedang turut memuliakan tiga penjaga kehidupan yang dihayati semenjak zaman leluhur: Matahari [lojo], bulan [ula] dan bintang [uno dan lia].

Keturunan Kedang menyebut pemuliaan itu sebagai namang reiq te hamang nedung reqte hedung atau menyanyi dan menari bagi penjaga kehidupan.

Pelbagai alat musik berbahan dasar alam turut mengiringi nyanyian dan tarian dalam upacara adat di Kedang. Salah satunya adalah tatong.

Tatong diperkenalkan oleh mendiang maestro Frans Paya Apelabi, yang secara berkelanjutan mewariskan alat musik petik itu ke keturunan Lembata, khususnya yang berakar budaya Kedang.

Frans berpulang pada Maret tahun lalu di Leuwayan, suatu desa di pesisir Kedang. 

Untuk membuat tatong, mula-mula bambu itu dicungkil sedemikian rupa pada beberapa bagiannya hingga menjadi empat dawai. Agar tak bergeser, keempat dawai itu lalu diganjal dengan tempurung kemiri. 

Bunyi tatong membentuk irama perpaduan tiga jenis gong dan gendang. Dalam bahasa Kedang, gong kecil disebut kengke, gong sedang lekaq dan gong besar gasaq.

Tari Tradisi Perempuan Adat dan Nelayan

Tari tradisional Lamaholot yang dipentaskan dalam festival ini dirancang oleh maestro Yosep T. Waleng.

Beberapa di antaranya adalah Tari Ina Tana Ekan, Tari Padji Demong, Tari Baleo, dan Tari Nayubaya.

“Dua tari pertama mengangkat keteguhan dan kegigihan perempuan Lamaholot, dua terakhir mengisahkan para penakluk laut di desa nelayan Lamalera dan kekerabatan warga Ile Ape,” jelas Elmo.

Keteguhan dan kegigihan perempuan adat Lamaholot yang dijelaskan Elmo dalam Tari Ina Tana Ekan berhubungan dengan merawat tanah kelahiran. 

Tana Ekan mengimbuh Lera Wulan Tana Ekan yang diyakini sebagai penjaga kehidupan komunitas Lamaholot. 

Lera berarti Matahari dan wulan untuk bulan. Tana Ekan berarti tanah kelahiran.

Sementara Tari Baleo mengisahkan kegigihan nelayan perempuan Lamalera, desa di selatan Lembata yang langsung terhubung dengan Laut Sawu. 

Nelayan Lamalera akan berseru-seru “baleo! baleo!” ketika melihat paus mendekati perairan di dekat desa mereka. 

Itulah saat para nelayan bergegas menaiki peledang, perahu tradisional mereka untuk menangkap si mamalia laut.

Tarian penyambut awal musim tanam di Ile Ape, Lembata. Sebagian besar warga Ile Ape berakar budaya Lamaholot. (Anastasia Ika)

Pentingnya Pelestarian Tradisi

Festival ini turut menghadirkan Ivan Nestorman, pemusik neo tradisi asal Kabupaten Manggarai.

Ivan tampil pada acara puncak 25 Agustus dengan menyanyikan sejumlah lagu, seperti  Sengai, Lui E, Levo Lamalera, Komodo Sunshet, Mata Leso, dan Mogi.

Ivan memadukan musik kontemporer dan alat musik tradisional mengiringi lagu-lagu tersebut.

Ini bukan kali pertama Ivan bersentuhan dengan upaya pelestarian warisan tradisi Lembata.

Beberapa tahun silam, ia bekerja sama dengan Bona Beding, seorang juru tikam paus atau lamafa asal Lamalera dalam pembuatan album musik “Return to Lamalera.”

Perhatian pada Lamalera juga mendorong Ivan berkolaborasi dengan sejumlah musisi berbasis Jakarta, termasuk Trie Utami, yang menghasilkan lagu berjudul “Levo Lamalera.”

Menurut Ivan, “anak-anak muda Lembata perlu diperkenalkan lagu dari pelbagai genre,” untuk “membantu mereka melestarikan tradisi setempat sesuai perkembangan zaman.”

Ivan pun mengapresiasi festival ini dan “butuh konsistensi untuk mengadakan event yang sama di tahun-tahun berikutnya.”

Sementara pegiat budaya Abdul Gafur R. Sarabiti, mengatakan festival ini “memungkinkan terbangunnya kesadaran identitas dan pelestarian pada tari tradisi dan alat musik tatong.”

Mengkolaborasikan tari tradisi dan tatong di atas panggung festival, katanya, “adalah upaya menstimulasi agar alat musik tradisional tatong menjadi perhatian seniman dan musisi lokal maupun nasional.”

Tak Difasilitasi Pemda

Menurut Gafur, penyelenggaraan festival ini seharusnya didukung dan diapresiasi oleh semua pihak, terutama pemerintah daerah.

Namun, harapan Gafur berseberangan dengaan pengalaman penyelenggara festival.

Penjabat Bupati Lembata, Paskalis Ola Tapobali “awalnya berjanji untuk memfasilitasi kegiatan ini,” kata Elmo.

Sejumlah fasilitas yang dijanjikan pada pertemuan pada 26 Juli, katanya, termasuk tenda dan kendaraan bagi para penampil seni.

Hingga pembukaan festival pada 23 Agustus, “ternyata tak satu pun janji yang terealisasi.”

Ia menambahkan, panitia penyelenggara harus menyewa sebuah mobil berbiaya Rp1 juta, membantu keberangkatan mereka dari Kedang menuju Nubatukan yang terpaut sekitar 52 kilometer.

“Kami tak minta uang,” kata Elmo, “hanya mohon difasilitasi.”

Alih-alih difasilitasi, “panitia justru dikenai retribusi sebesar Rp500 ribu per hari.” 

Acara berlangsung selama tiga hari. Artinya panitia mesti membayar keseluruhan retribusi Rp1,5 juta.

Sementara warga yang menghadiri festival itu dikenai tiket masuk pantai sebesar Rp2.000 per orang, yang uangnya diterima petugas dari pemerintah daerah selaku pengelola Pantai Wulen Luo.

“Kami berusaha bersama-sama menjaga kelestarian kearifan lokal,” kata Elmo, “tetapi pemerintah tak memedulikan kami dengan hanya janji-janji mulut.”

Meski demikian, katanya, mereka akan tetap bergerak demi menjaga agar warisan budaya Lembata tidak punah.

Usai Lembata Maestro Festival, katanya, Langit Jingga Film akan menyelenggarakan kegiatan pengarsipan foto dan video yang mengangkat “kehidupan lampau masyarakat Lembata dan ketahanan pangan lokal.”

Editor: Anastasia Ika

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini.

TERKINI

BANYAK DIBACA

BACA JUGA