Lokakarya Anti-SLAPP di NTT Perkuat Posisi Warga dan Aktivis Lingkungan yang Kian Rentan Dikriminalisasi

Setiap orang berhak atas pemenuhan hak lingkungan, termasuk mengadukan kasus kerusakan dan pencemaran, kata panitia

Floresa.co – Ancaman kriminalisasi terhadap warga dan aktivis lingkungan menjadi perhatian jejaring masyarakat adat, jurnalis, aktivis dan kelompok pengacara di Provinsi Nusa Tenggara Timur [NTT], sebagaimana tampak dalam lokakarya terkait ketentuan Anti-SLAPP [Strategic Lawsuit Against Public Participation] di Kupang baru-baru ini.

Lokakarya tersebut, yang berlangsung pada 9-10 Desember di Hotel Sahid T-more Kupang, ibu kota Provinsi NTT, diinisiasi Indonesian Centre for Environmental Law [ICEL], organisasi yang berfokus pada advokasi keadilan lingkungan dan Wahana Lingkungan Hidup [Walhi] NTT.

Anti-SLAPP adalah ketentuan yang secara umum mengatur setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.

Selain terkait ketentuan Anti-SLAPP, kegiatan tersebut juga membahas penerapan Peraturan Mahkamah Agung atau Perma Nomor 1 tahun 2023 yang mengatur pedoman mengadili perkara terkait isu lingkungan hidup.

Gres Gracelia, Ketua Panitia kegiatan berkata lokakarya tersebut diadakan dalam rangka mendorong pemenuhan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.

Lokakarya tersebut, kata Grace, “ditujukan kepada para pembela hak atas perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang telah dijamin dalam Pasal 65 Undang-undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup [UUPPLH] Nomor 32 tahun 2009.”

“Undang-undang tersebut mengatur bahwa setiap orang berhak atas akses partisipasi dalam pemenuhan hak atas lingkungan hidup, mengajukan usul serta keberatan terkait kegiatan yang berdampak pada lingkungan hidup, juga mengadukan pencemaran dan perusakan lingkungan,” katanya.

Minimnya Partisipasi Publik dalam Perlindungan Lingkungan 

Adam, peneliti dari ICEL berkata latar belakang lokakarya tersebut adalah “fakta bahwa partisipasi publik dalam konteks perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup masih cukup mengenaskan.”

Karena itu, kata dia, pihaknya merasa perlu membahas dan mensosialisasikan ketentuan Anti-SLAPP untuk meningkatkan kesadaran dan partisipasi kelompok masyarakat, aktivis, jurnalis dan pengacara.

“Kami melihat masyarakat yang memperjuangkan lingkungan hidup justru kerap digugat secara perdata maupun dilaporkan secara pidana,” katanya.

Ketentuan Anti-SLAPP, katanya, merupakan ketentuan hukum “yang memberikan kekebalan terhadap setiap orang yang memperjuangkan lingkungan hidup”

Ia menjelaskan, ketentuan tersebut berlawanan dengan SLAPP, yaitu “penggunaan proses hukum untuk membungkam partisipasi publik.” 

“SLAPP dilakukan utamanya bukan untuk memenangkan perkara di pengadilan, tetapi untuk mengintimidasi, menghukum, dan membalas tindakan partisipasi tertentu, sekaligus sebagai upaya untuk menghentikan partisipasi tertentu dan mencegah adanya partisipasi serupa di masa depan,” katanya.

Ia juga mengatakan mekanisme Anti-SLAPP di Indonesia sudah mengalami banyak perkembangan, yang berawal dari Pasal 66 UUPPLH Nomor 32 tahun 2009 yang menyatakan bahwa setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat digugat secara perdata maupun dituntut secara pidana.

Selanjutnya, kata dia, melalui Pedoman Jaksa Nomor 8 Tahun 2022 tentang Penanganan Perkara Tindak Pidana di Bidang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2023 tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 10 Tahun 2024 tentang Perlindungan Hukum Terhadap Orang yang Memperjuangkan Hak Atas Lingkungan Hidup yang Baik dan Sehat.

“Partisipasi publik dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan bisa menjadi lebih kuat dengan adanya pejuang-pejuang yang sudah memahami hak mereka dan bahwa mereka juga dilindungi secara hukum dalam setiap aksi perjuangannya,” kata Adam. 

Namun, kata dia, hal tersebut perlu didukung oleh transparansi tata kelola pemerintahan yang memungkinkan adanya akses informasi terbuka oleh masyarakat.

“Bagaimana masyarakat bisa berpartisipasi dengan maksimal, jika informasi dan pengetahuan itu tidak tersedia?”, katanya.

Selain Anti-SLAPP, ia menjelaskan lokakarya tersebut juga membahas “gugatan lingkungan hidup dan pembuktian ilmiah, dengan harapan dapat mendorong perjuangan masyarakat ke depan,” 

Adam juga berharap lokakarya tersebut “dapat membuat aktivis di NTT menjadi lebih berani dan lebih kuat dalam berjuang.”

Hak Pembela Lingkungan Harus Dibela

Yuvensius Nonga, Deputi Walhi NTT berkata “krisis lingkungan dan krisis iklim yang terjadi di NTT merupakan pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia, khususnya hak atas lingkungan hidup yang sehat.”

Sementara itu, Viktor Manbait, Ketua Aliansi Pengacara Keadilan Ekologis [ARAKE] NTT yang menjadi salah satu peserta lokakarya menyatakan masalah lingkungan di NTT belakangan ini diperparah oleh “pembangunan yang lebih mengutamakan kepentingan investasi besar daripada perlindungan lingkungan dan hak asasi manusia.”

Hal itu, kata dia, menyebabkan “maraknya kriminalisasi terhadap masyarakat yang berjuang mempertahankan ruang hidup mereka, seperti dalam kasus-kasus terkait illegal logging, pertambangan, dan proyek geothermal.”

Ario Jempau, peserta lainnya dari ARAKE NTT mengatakan sejauh ini terdapat 32 kasus kriminalisasi terkait upaya warga menentang proyek-proyek yang merusak lingkungan di wilayah Timor, Sumba dan Flores.

Karena itu, Ario berharap “kriminalisasi terhadap pejuang lingkungan di NTT harus dihentikan dan hak-hak mereka harus dihormati sebagai bagian dari hak asasi manusia.”

Editor: Anno Susabun

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini.

BACA JUGA

BANYAK DIBACA