Floresa.co – Majelis hakim Pengadilan Tinggi Kupang memvonis satu tahun penjara terhadap tiga orang pengurus proyek di Kabupaten Lembata setelah terbukti melakukan korupsi yang menyebabkan kerugian keuangan negara lebih dari Rp2 miliar.
Ketiga terdakwa adalah Aloysius Panang, Pejabat Pembuat Komitmen [PPK], Yohanes Madar, Konsultan Pengawas, serta Lely Yumina Lay, Kuasa Direktur CV Lembata Jaya.
Ketiganya dinyatakan bersalah karena melakukan korupsi dalam proyek peningkatan jalan di Lerahinga, Banitobo, dan Lamalela, Kecamatan Lebatukan pada 2022 dengan pagu anggaran Rp5.691.906.362 yang bersumber dari dana Pemulihan Ekonomi Nasional.
Pengerjaan proyek dinilai bermasalah hingga menimbulkan kerugian negara Rp2.591.974.000,00, berdasarkan hasil perhitungan akuntan profesional dari Politeknik Negeri Kupang.
Dalam salinan putusan yang diakses Floresa, majelis hakim menyatakan ketiganya “terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama sebagaimana dalam dakwaan subsider.”
Dalam putusan yang dibacakan pada 11 Februari, ketiganya divonis satu tahun penjara dan denda Rp50 juta, subsider pidana kurungan satu bulan.
Putusan ini lebih rendah dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum [JPU] enam tahun penjara serta denda Rp100 juta.
Majelis hakim juga menjatuhkan pidana tambahan kepada terdakwa untuk membayar uang pengganti sebesar Rp462.197.650.
Nilai itu diperhitungkan dari total Rp1 miliar yang telah dititipkan kepada penyidik melalui Rekening Penerimaan Lainnya Kejaksaan Negeri Lembata. Sementara itu, sisa uang titipan tersebut akan dikembalikan kepada terdakwa
Dikutip dari korantimor.com, majelis hakim, I Nyoman Agus Hermawan berkata, perbuatan ketiganya “mengakibatkan kerugian keuangan negara dan tidak mendukung program pemberantasan korupsi.”
Keputusan ini, kata dia, sekaligus memerintahkan pengembalian barang bukti yang tidak terkait langsung dengan perbuatan terdakwa.
“[Putusan] menetapkan masa tahanan yang telah dijalani untuk dikurangkan dari hukuman,” katanya.
Apa Kata Kuasa Hukum?
Kristoforus Puan Wawin, kuasa hukum Lely Yumina Lay, berkata, sikap kooperatif serta pengembalian uang negara menjadi faktor yang meringankan hukuman kliennya.
Namun dalam pendekatan hukum, kata dia, kasus yang melibatkan kliennya itu seharusnya masuk ke dalam ranah kasus perdata, bukan pidana, dengan merujuk Undang-Undang [UU] Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi.
UU ini, katanya, menyebutkan “jika pekerjaan dimulai dengan kontrak, maka perselisihan berkaitan jasa konstruksi diselesaikan melalui teguran administratif.”
“Pendekatan hukum yang dipakai untuk mendakwa klien kami malah tidak proporsional,” katanya kepada Floresa pada 12 Januari.
Kristo juga mempersoalkan hasil uji laboratorium yang menjadi dasar perhitungan kerugian negara oleh ahli JPU.
Ia mengklaim hasil uji laboratorium pembanding yang dilakukan oleh ahli pihaknya menunjukkan “kerugiannya tidak seperti yang didakwakan JPU.”
Ia berkata hasil laboratorium yang didakwakan JPU untuk menghitung kerugian negara justru “dinyatakan tidak sah oleh majelis hakim.”
Kekeliruan ini, menurut Kristo, berkaitan dengan perhitungan 15 persen keuntungan atau sebesar Rp462,19 juta dari pagu anggaran yang seharusnya menjadi milik kliennya.
“Jika hasil laboratorium itu tidak sah, kenapa masih ada penghitungan kerugian negara? Kan aneh jadinya,” kata Kristo.
“Malah keuntungan 15 persen dari nilai pagu untuk penyedia atau kontraktor itu dijadikan kerugian negara,” tambahnya.
Ia mengatakan jika hasil uji lab tidak diakui, maka kerugian negara tidak ada lagi dan “menurut kami putusan hakim berdasarkan dalil JPU ini lemah sekali.”
Ia berkata, selain cacat prosedur, majelis hakim juga tidak memasukkan UU Jasa Konstruksi dalam pertimbangan putusan.
Padahal, kata dia, UU ini dapat “dijadikan acuan dalam perkara dan dasar hukum utama dalam penyelesaian sengketa pada sektor konstruksi karena merupakan lex specialis.”
Lex specialis adalah asas hukum yang menyatakan bahwa aturan hukum yang lebih khusus akan berlaku daripada aturan hukum yang lebih umum.
“Jika terjadi cacat atau kerusakan pekerjaan, sanksinya bersifat perdata, bukan pidana,” kata Kristo.
“Ini dibahas dan disampaikan oleh ahli kami di muka sidang, tetapi hakim justru mengabaikannya dengan menggunakan dasar yang tidak utuh dalam memutuskan perkara,” katanya.
Kristo berkata dalam beberapa hari ke depan pihaknya akan mengajukan banding terhadap putusan majelis hakim.
Dikutip dari Infokini.net, JPU juga akan mengajukan banding terhadap putusan majelis hakim.
Floresa meminta tanggapan Eko Triadi Da Praku Purba, seorang JPU terkait putusan hakim dan rencana banding tersebut melalui WhatsApp pada 12 Februari.
Namun, ia tak merespons kendati pesan itu bercentang dua, tanda telah sampai ke penerimanya.
Editor: Herry Kabut