Floresa.co – Upaya menyelamatkan Pantai Pede dari upaya privatisasi oleh Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) terus digalakkan oleh kaum muda di Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat.
Kelompok anak muda yang tergabung dalam Bolo Lobo Community dan Nggorang Community secara rutin melakukan kegiatan kampanye publik.
Setiap malam Minggu mereka bermain musik di Kampung Ujung sambil berkampanye, “Save Pede for Natas Labar”. Natas Labar adalah kata Bahasa Manggarai yang berarti “tempat bermain.”
Sementara pada hari Minggu mereka memilih berkumpul di Pantai Pede, dengan bermain musik dan melukis.
Kris Bheda Somerpes, salah satu anggota Bolo Lobo Community mengatakan kepada Floresa.co, Sabtu (29/11/204), substansi gerakan mereka saat ini, tidak sekedar menolak privatisasi, tapi juga menggagas apa yang mesti diisi di ruang publik dan bagaimana memanfaatkannya untuk warga.
Pantai Pede, yang mereka sebut sebagai satu-satunya ruang publik di Labuan Bajo yang tersisah untuk warga setelah sejumlah tempat sudah dibangun hotel-hotel, kini sudah diserahkan kepada investor oleh Gubernur NTT Frans Lebu Raya.
Ketika diwawancari Floresa.co usai ia menghadiri pertemuan dengan tokoh masyarakat asal NTT di Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta, Senin (24/11/2014), ia menegaskan, Pantai Pede adalah milik provinsi. maka pihaknya berhak untuk menyerahkannya kepada investor.
Pernyataan Lebu Raya kala itu membingungkan karena ia dengan tegas mengatakan tidak ada privatisasi di Pantai Pede. Tapi, pada saat yang sama, ia mengatakan di pantai itu, akan dibangun hotel oleh perusahan dari Jakarta.
Kaum muda di Labuan Bajo punya harapan besar agar Lebu Raya memperhatikan kehendak masyarakat yang ia pimpin, bukan disetir oleh kemauannya sendiri menyerahkan wilayah itu untuk kepentingan bisnis pengusaha.
Mereka juga mengingatkan, klaim lebu Raya bahwa Pede adalah aset provinsi sebenarnya bermasalah, jika merujuk pada Berita Acara No P. 519/1.1/IV/1194 tanggal 5 April 1994 tentang penyerahan satu dari tiga bidang aset provinsi NTT ke Pemda Manggarai. Juga, jika merujuk pada UU No 8 Tahun 2003 Tentang Pembentukan Kabupaten Manggarai Barat, maka Pemprov NTT harusnya punya komitmen untuk menyerahkan Pede ke Pemda mabar.
Sulitnya Lebu Raya menyerahkan wilayah itu kepada warga, membuat mereka curiga.
“Tampaknya ada hidden comitment antara Pemprov dengan pihak investor sehingga begitu sulitnya menyerahkannya ke Pemda Mabar,” kata Kris.
Mereka juga mengkritik klaim legalitas Pede sebagai aset provinsi, di mana itu yang dijadikan oleh Lebu sebagai justifikasi terhada kehendaknya menyerahkan Pede kepada investor.
“Legal harus juga menimbang moralitas, yakni keberpihakan pada rakyat banyak. Jika legalitas ditegakkan hanya untuk kepentingan segelintir orang, yakni pihak investor yang selanjutnya mengusir warga lokal, itu jelas-jelas tidak berperikemanusiaan dan amoral”, kata Kris.
Karena itulah, mereka berkomitmen tetap menyuarakan perlawanan.
“Kita menyatukan barisan warga. Kami percaya hanya dengan gerakan rakyat yang dapat membendung keangkuhan Lebu Raya”, kata Kris. (ARL/Floresa)