Pulau-pulau di Sekitar Labuan Bajo: Siapa yang Punya?

Pulau Punggu, salah satu pulau yang pernah dijual secara terbuka lewat situs www.skyproperty.com dengan harga di atas $11 juta atau Rp 134, 5 milliar.

Floresa.co – Status kepemilikan 264 pulau di sekitar Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat (Mabar), Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT)  sudah seharusnya diketahui publik.

Saat ini, 13 dari pulau-pulau itu sudah berpenghuni, 9 dimiliki pemerintahan daerah dan sisanya tidak berpenghuni.

Beberapa pulau sudah dikelola orang asing, namun sampai sekarang belum jelas, apakah statusnya dikontrak atau dibeli.

Ketika pada tahun 2001, pulau Bidadari dikuasai oleh pengusaha asal Inggris, Ernest Lewandowski, ramai-ramai orang protes. Ibarat anjing menggonggong kafilah berlalu, Ernest tetap menguasai pulau tersebut.

Kini bukan hanya Ernest. Beberapa pulau sudah berada dalam kendali orang  asing.

Sebut saja, pulau Kanawa yang dikelola investor Italia bernama Stefano Plaza pada 2010 dan Pulau Sebayur dikelola warga Italia bernama Ed sejak 2009.

Merujuk kepada hukum di Indonesia, kepemilikan pulau oleh pihak asing seharusnya tidak diperbolehkan.

Undang-Undang No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) menegaskan bahwa hanya warga Indonesia yang mempunyai hak milik atas tanah di Indonesia.

Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, Ferry Mursyidan Baldan menggarisbawahi ketentuan tersebut.

Pada awal Maret 2015, usai sebuah seminar nasional di Bandung, ia mengatakan, “sama sekali (WNA) tidak boleh menguasai sejengkal tanah di Indonesia”.

Namun, di lapangan faktanya bisa terbalik seratus delapan puluh derajat. Pasal-pasal bolehlah sangat tajam di atas kertas, tapi dalam kenyataan bisa sangat tumpul.

Buktinya, penjualan pulau dan tanah di Labuan Bajo terang-terangan terpampang di laman digital.

Beberapa di antaranya terdapat di www.komodoproperty.comwww.realestateflores.com, www.labuanbajo.com dan www.floreslandforsale.com

Biasanya, bahasa iklan yang ditawarkan adalah “menjual view”. 

Salah satu contohnya adalah penjualan pulau Punggu yang sangat menghebohkan pada awal Februari 2015. 

Dalam situs www.skyproperty.com, pulau tersebut dijual seharga di atas $11 juta atau Rp 134, 5 milliar. Nama orang yang tercantum di situ adalah orang Bali, I Gede Sanat Kumara.

BACA: Lewat Internet, Pulau Punggu di Mabar Dijual Rp 135 Miliar

Sudah tentu, ada banyak pertanyaan muncul berhadapan dengan kenyataan tersebut: Apakah semua transaksi itu tanpa sepengetahuan pemerintah? Mengapa pulau-pulau itu dijual? Bagaimana sikap pemerintah?

Telikung Hukum

Bagi sebagian besar orang, fenomena demikian rasanya aneh bin ajaib. Tidak demikian bagi para investor. Selalu ada cara untuk menelikung dari tuntutan hukum sekeras apapun itu.

Berdasarkan laporan tim riset Sunspirit  for Justice and Peace di Labuan Bajo, ada beberapa modus operandi dari orang asing untuk berinvestasi di Labuan Bajo dan menguasai sumber daya yang ada di pulau-pulau tersebut.

Pertama, investor dapat saja memakai paspor orang lokal atau orang asing yang sudah berwarga negara Indonesia dalam mendirikan perusahaan.

Kedua, melalui cara kepemilikan lewat badan usaha yang berbadan hukum Indonesia. Lalu karena ditopang oleh modal asing, perusahaan berbadan hukum Indonesia itu akan membeli tanah sebanyak mungkin.

Ketiga, melalui kepemilikan bersama (joint venture) antara orang Indonesia dan orang asing. Ini hanya berlaku dalam transaksi berskala kecil.

Sebetulnya, ada dasar hukum bagi orang asing untuk tinggal di Indonesia. Dalam UUPA pasal 41 ayat 1 dinyatakan, orang asing mempunyai hak pakai terhadap tanah atau hunian. Lamanya bisa mencapai 25 tahun dan dapat diperpanjang.

Persis di situlah juga kesulitannya. Dengan kata lain, ada celah yang bisa dimainkan lagi oleh para investor. Bagi para investor, keelokan pulau-pulau di Labuan terlampau mengugah selera bisnis. Amat disayangkan kalau hanya dikontrak begitu saja.

Oleh karena itu, modus operandi seperti yang disebutkan di atas akhirnya menjadi skenario andalan. Dan kemungkinan lain, melalui kontrak jangka panjang dan diperpanjang terus-menerus. Inilah yang kemudian melahirkan proses pemilikkan secara perlahan atau halus.

Lalu apakah semua itu berlangsung tanpa sepengetahuan pemerintah?

Absennya Pemerintah

Praktisnya, pemerintah dinilai absen dalam perkara pulau-pulau di Labuan Bajo. Hanya jawaban-jawaban normatif yang selalu kita dengar dari pihak pemerintah.

Misalnya, pengecekkan lebih lanjut yang berujung pada menguap begitu saja isu-isu tersebut.

Kenyataan itu juga dapat diukur dari soal transparansi. Sampai sejauh ini transparansi atas pulau-pulau tersebut masih sangat minim. Sebagian besar masyarakat tidak mengetahui keadaan pulau-pulau tersebut. Padahal kita sangat ingin mengetahui, sampai kapan semua pulau-pulau dikontrak dan berapa penghasilan dari itu semua untuk pundi-pundi daerah.

Selain itu, agak sulit dipungkiri bahwa pemerintah tidak mengetahui sama sekali semua transaksi tersebut. Sebab, yang tampak kepada publik adalah proses pembiaran sehingga para calo dengan leluasa bergerilya menjual pulau-pulau tersebut.

BACA JUGA: Menanti Konflik di Labuan Bajo

Selama semuanya masih menjadi teka-teki bagi masyarakat, masihkah ada harapan bahwa pulau-pulau lain bakal tak dicaplok satu per satu oleh orang asing?

(Artikel ini ditulis Gregorius Afioma, salah satu redaktur Floresa.co yang sedang mengadakan penelitian di Manggarai Raya, dalam kerja sama dengan Sunspirit for Justice and Peace)

spot_img

Artikel Terkini