Netralitas Aparatur Sipil Negara dan Dilema Politik Pilkada

Oleh: ALFRED TUNAME

Pada prinsipnya, aparatur sipil negara (ASN) harus netral dalam politik Pilkada. Netralitas yang dimaksud adalah tidak terlibat dalam aktivitas politik untuk mengkampanyekan paket-paket tertentu.

Merkea tidak diperbolehkan untuk melakukan orasi, menyanyi dan meneriakan yel-yel di atas panggung kampanye demi kemenangan pasangan calon dalam Pilkada.

Netralitas sangat penting untuk tetap menjaga kewibawaan lembaga atau instansi pemerintahan. Tanpa netralias aparat sipil negara, politik Pilkada menjadi ajang rente jabatan.

Regulasi dan undang-undang Pilkada telah mengatur dan melarang setiap aparatur sipil negara terlibat dalam kampanye, di antaranya UU No. 8 Tahun 2015 Tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peratutan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota, Surat Edaran Mendagri No.270/4211/SJ tanggal 4 Agustus 2015, Surat Edaran Nomor B/2355/M.PANRB/07/2015, dan PERBAWASLU No. 10 Tahun 2015.

Dalam konteks pengawasan penyelenggaraan Pilkada Serentak tahun 2015, Bawaslu RI juga melakukan koordinasi dengan sejumlah kementerian yang melahirkan Nota Kesepahaman (MoU).

MoU itu ditandatangi oleh Menteri Penyelenggaraan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Yuddy Chrisnandi, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, Ketua Komisi Aparatur Negara (KASN) Sofian Effendi, Kepala BKN Bima Haria Wibisana dan Ketua Bawaslu RI Muhammad.

Tujuannya agar segenap aparatur sipil negara bersikap dan bertindak netral, profesional dan melayani kepentingan publik secara lebih baik, tanpa membedakan latar belakang politik warga negara.

Semua regulasi dan produk hukum merupakan usaha terbaik dan maksimal demi Pilkada yang semakin demokratis dan beradab.

Semua aturan dan regulasi tersebut mengikat setiap aparatur sipil negara untuk tidak “berpolitik praktis” dalam Pilkada.

Mereka yang “berpolitik praktis” dalam Pilkada akan mendapat sanksi. Sanksi dapat berupa penundaan promosi, penundaan tunjangan kerja, penundaan kenaikan gaji dan bahkan pemberhentian secara terhormat maupun tidak terhormat.

Pada tingkat kabupaten/kota, Panita Pengawas Pemilu (Panwas) Kabupaten adalah lembaga independen yang bertanggung jawab dan selalu siap menindaklajuti setiap laporan dugaan keterlibatan aparatur sipil  dalam kampanye Pilkada.

Laporan-laporan tersebut akan ditindaklanjuti secara tegas serta berkoordinasi dengan kepolisian dan kejaksaan. Tujuannya adalah agar penyelenggaraan Pilkada semakin menjadi proses politik lokal yang demokratis.

Dilema Politik                                                           

Politik adalah tiwikarma (istilah Goenawan Mohammad), ketika manusia bergulat untuk mengubah keadaan untuk sebuah dunia yang lebih baik.

Pilkada adalah sebuah “titik nol” dimana orang mulai berpikir dan kembali menentukan arah kehidupan bersama yang lebih baik. Berpartisipasi dalam politik adalah jantung demokrasi politik untuk kehidupan bersama yang lebih adil.

Setiap warga negara memiliki hak yang sama dalam berpolitik. Itulah demokrasi politik. Tetapi, warga negara yang berstatus sebagai aparatur sipil negara “cara” berpolitiknya sudah diatur.

Dalam politik Pilkada, aparatur sipil negara hanya diperkenankan untuk memilih, sebab mereka adalah warga negara yang memiliki hak pilih. Hak pilih itulah yang mereka gunakan dalam demokrasi lokal.

Akan tetapi, demokrasi lokal selalu menimbulkan dilema politik bagi seorang aparatur sipil negara.

Dilema itu tentu berkaitan dengan rotasi dan mutasi jabatan aparatur sipil tersebut. Pada tingkat lokal, rotasi dan mutasi jabatan seorang pegawai negeri sipil berkolerasi positif dengan pemimpin politik lokal tersebut.

Korelasi tersebut ditakar menurut kedekatan hubungan keluarga (consanguinity), dukungan politik “informal” dan daerah asal.

Semua korelasi tersebut bersinggungan dengan pola kerja birokrasi yang masih berwatak aristokratik, bukan merit system.

Birokrasi yang berwatak aristokratif seringkali melanggengkan kekuasaan yang berbasis kekayaan, keluarga (familism), posisi kelas sosial dan suku atau klan. Di sinilah jebakan dan dilema pegawai negeri sipil dalam Pilakada.

Seandainya pola kerja birokrasi beralaskan meritokrasi, maka seorang pegawai negeri tidak perlu mencari muka dengan “berpolitik praktis” dalam Pilkada.

Sebab dalam sistem meritokrasi, rotasi dan mutasi selalu didasarkan pada kemampuan, kepakaran (expertise), pendidikan dan pengalaman, sebagai tambahannya.

Dengan begitu, seorang pegawai negeri lebih berkonsentrasi dan berfokus pada pekerjaan dan fungsi jabatan.

Dalam sistem meritokrasi ini, politik (pilkada) adalah nomor dua, tetapi pelayanan kepada masyarakat dan pengabdian kepada tugas-tugas negara adalah yang utama.

Meritokrasi merupakan sistem yang paling rasional untuk membangun suatu sistem birokrasi modern.

Sosiolog Max Weber menulis bahwa karakteristik birokrasi modern harus merupakan instrumental rasional untuk mencapai tujuan.

Ketika birokrasi menjadi instrumen rasional, maka perangkat kerja birokrasi akan berkerja maksimal berdasarkan fungsi dan jabatan. Rotasi dan mutasi jabatan pun akan diukur berdasarkan capaian-capaian dan profesionalitas kerja.

Manakala aparatur sipil negara bekerja secara profesional dengan tingkat pengabdian yang ultimum, maka urusan politik pun menjadi catatan kaki. Keterlibatan apartur sipil dalam Pilkada tidak akan mungkin terjadi.

Mereka akan bersikap sangat netral dan tidak akan pernah terlibat dalam kampanye-kampanye politik Pilkada.

Tetapi, kenyataanya, pola kerja birokrasi kita masih feodal dan sangat berwatak aristokratif. Tidak heran jika kita sering menyaksikan para aparatur sipil terlibat dalam kegiatan politik praktis.

Nyaris semua tingkatan dan jabatan bekerja keras untuk mendapatkan muka di hadapan pemimpin politik. Kepentingan tentu saja kenaikan jabatan dan atau mempertahankan jabatan.

Di situlah rente politik terjadi dalam Pilkada. Aparatur sipil mencoba mencari peruntungan jabatan dan kekuasaan dalam proses politik Pilkada tersebut.

Di sini, para pemburu rente politik tersebut sebenarnya adalah politician in uniform.

Sejatinya mereka adalah politisi yang tersamar dalam seragam aparatur sipil negara.

Para “politisi berseragam” itu terlibat dalam Pilkada karena mereka merasa diri adalah vote getters  bagi pasangan calon Pilkada.

Mereka mengunakan ke-tokoh-an dan kepopuleran mereka sebagai modal sosial untuk mempengaruhi dan meraup dukungan politik. Inilah narsisme politik para politician in uniform.

Sebaliknya, masyarakat sangat risih dan antipati pada narsisme politik itu. Masyarakat politik kini justeru sudah sadar dan paham politik.

Dalam sanubarinya, mereka sudah memiliki pilihannya masing-masing. Mereka sudah punya jagoannya masing-masing yang akan mereka pilih pada tanggal 09 Desember 2015 nanti.

Keterlibatan aparatur sipil dalam kampanye-kampanye politik justru akan mereduksi simpati selain kepada  ke-tokoh-an politisi tersebut, juga melambungkan risiko politis bagi kandidat itu sendiri.

Oleh karena itu, setiap aparatur sipil seharusnya lebih berkonsentrasi pada pelayanan publik sesuai fungsi dan jabatannya.

Publik pun berharap kepada pemimpin yang akan datang untuk mengetatkan sistem meritokrasi dalam pemerintahan, sehingga, kebijakan dan pelayanan publik pun akan lebih baik sekaligus melenyapkan para pemburu rente jabatan dalam politik.

Akhirnya, marilah kita menjadi warga negara yang baik dengan mendukung proses politik Pilkada yang demokratis dan tidak anarkis.

Penulis tinggal di Ruteng, Kabupaten Manggarai-Flores, meminati isu-isu sosial dan politik.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini.

spot_img
spot_img

Artikel Terkini