Mahasiswa sebagai Cendekiawan dan Bayang-Bayang Pengkhianatan

Bagaimana seharusnya mahasiswa mengambil sikap di hadapan kekuasaan? Sejarah mencatat bahwa sejumlah mantan mahasiswa yang sebelumnya getol menentang kekuasaan justru berkhianat secara intelektual.

Oleh: FRUMENS ARWAN, mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara-Jakarta.

Tidak bisa dipungkiri bahwa mahasiswa memiliki andil yang besar di dalam perubahan sosial dan politik suatu negara. Dalam sejarah dunia, mereka merupakan kekuatan besar di balik penggulingan Juan Peron di Argentina tahun 1955, jatuhnya Ayup Khan di Pakistan tahun 1969 dan Perez Jimenes di Venezuela tahun 1958.

Di Indonesia, mahasiswa merupakan kekuatan penting di balik penggulingan Soekarno di tahun 1969 dan pelengseran Soeharto di tahun 1998. Juga maraknya berbagai aksi protes mahasiswa di tanah air belakangan ini merupakan tanda munculnya kembali mahasiswa sebagai kelompok yang selalu menyuarakan aspirasi rakyat.

Akan tetapi, kekuasaan telah menjadi suatu bahaya besar di masa depan yang secara potensial mengancam integritas dan kreativitasnya sebagai cendekiawan. Sejarah mencatat bahwa sejumlah mantan mahasiswa yang sebelumnya getol menentang kekuasaan justru―meminjam istilah Benda―berkhianat secara intelektual setelah terbuka jalannya menuju kekuasaan.

Mahasiswa sebagai Cendekiawan

Keberadaan mahasiswa sebagai cendekiawan sudah bisa dilacak dari penggunaan istilah inteligensia di Rusia pada tahun 1860-an yang merujuk kepada sikap menentang terhadap kekuasaan yang ditunjukan oleh lapisan kaum terpelajar pada waktu itu. Raymond Aron mencatat bahwa pada tahun 1860-an istilah inteligensia merujuk pada minoritas kecil orang Rusia terpelajar yang sebagian besar berasal dari kaum bangsawan dan memperoleh pengetahuan serta budaya dari Barat. Mereka kemudian memadukan pengetahuan yang mereka miliki dengan semangat ilmiah baru dan ide-ide liberal untuk mendorong mereka ke arah revolusi (Aron, 1957: 208).

Edward Shils dalam artikelnya “Kaum Cendekiawan dalam Perkembangan Politik Negara-negara Baru” menyoroti pentingnya peranan mahasiswa dalam periode awal terbentuknya negara-negara bekas jajahan. Menurut Shils, di negara-negara jajahan, pergerakan mahasiswa telah dimulai sejak 1920-an, meskipun jauh sebelum itu sudah muncul berbagai ide dan gerakan kebangsaan di kalangan mereka. Makin lama, pergolakan kaum mahasiswa ini semakin mengarah kepada gerakan politik yang menjadikan mahasiswa sebagai pusat pergerakan kemerdekaan yang berpusat di sekolah-sekolah menengah, perguruan tinggi, dan universitas, baik di dalam maupun di luar negeri (dalam Mahasin & Natsir,1983: 249-251).

Di Indonesia keberadaan dan peran mahasiswa sebagai kaum cendekiawan sudah ada sejak diberlakukannya Politik Etis oleh pemerintah kolonial Belanda pada akhir abad ke-19 atau awal abad ke-20. Menurut Daniel Dhakidae (2003: 49) apa yang disebut “kaum pergerakan” atau “kaum terdidik” pada awal kemunculan pergerakan nasional kurang lebih merujuk pada apa yang dalam pengertian modern disebut sebagai kaum intelektual. Mereka inilah yang pada mulanya menyadari kondisinya sebagai bangsa yang terjajah dan perlunya mendirikan sebuah negara-bangsa yang merdeka. Merekalah yang memainkan peranan penting dalam pembentukan dan keberlangsungan negara Indonesia pada awal kemerdekaan.

Akan tetapi, rupanya tidak semudah itu menggolongkan mahasiswa sebagai kaum cendekiawan karena dalam banyak hal mereka memiliki kekhasan tersendiri. Menurut G. S. Jones (seperti dikutip Budiman, 1980: 75) mahasiswa berbeda dari cendekiawan yang mempunyai kedudukan sosial tertentu dalam soal bahwa situasi mereka bersifat sementara dan tujuan mereka bersifat tidak pasti. Dengan demikian, kalau mahasiswa hendak digolongkan sebagai kelompok masyarakat, harus juga diperhatikan asal usul, situasi dan arah sosial mereka. Jika hal ini diabaikan, perhatiannya hanya ditujukan kepada salah satu dari ketiga unsur tersebut.

Tentu saja dengan demikian timbul kesulitan untuk menentukan termasuk ke dalam kelas manakah mereka di dalam struktur sosial yang ada. Untuk menjawab soal ini, penting untuk melihat peran mahasiswa sebagai kelompok cendekiawan. Menurut Arief Budiman (1980: 75), mahasiswa berbeda dari kaum cendekiawan pada umumnya karena mereka menggabungkan kritik dan aksi-aksi massa. Artinya, mereka bertindak bukan hanya sebagai resi, yang bertugas mengutarakan kebenaran dan aspirasi rakyat serta mengkritisi kekuasaan, tetapi juga terlibat dalam aksi-aksi sosial, seperti demonstrasi, unjuk rasa, pemogokan dan aktivitas lain yang menentang kekuasaan demi menciptakan perubahan sosial dan politik di dalam masyarakat.

Bayang-Bayang Pengkhianatan

Sekarang soal yang perlu dilihat adalah mengenai posisi mahasiswa sebagai cendekiawan di hadapan kekuasaan. Perlu dicatat bahwa pada dasarnya bertemunya mahasiswa dengan kekuasaan masih bersifat potensial karena mereka baru akan berhadapan dengan kekuasaan setelah ‘jubah’ mahasiswa itu mereka tinggalkan. Namun, toh suatu waktu mereka akan berhadapan dengan kekuasaan.

Sejarah mencatat bahwa kebanyakan dari mahasiswa, terutama yang semasa berkuliah melibatkan diri dalam aksi-aksi massa yang menentang kekuasaan, justru “berkhianat” sebagai intelektual ketika jalan menuju kekuasaan terbuka lebar untuknya.

Sebagai contoh, banyak dari aktivis mahasiswa ‘66 dan anggota KASI (Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia) menjadi anggota DPR-GR. Juga pada masa Orde Baru, misalnya, pemerintah banyak merekrut kaum terpelajar ke dalam sistem kekuasaannya. Situasi ini mirip dengan apa yang dikritik oleh Julien Benda di Prancis pada awal abad ke-20. Dalam Kaus Dreyfus (L’Affaire Dreyfus), misalnya, kaum intelektual Prancis dianggap melacurkan ilmu pengetahuannya demi posisi dan kemenangan politik. Mereka dianggap telah berkhianat terhadap tanggung jawab moralnya sebagai kaum intelektual dengan lebih mementingkan nilai-nilai praktis daripada nilai-nilai pengetahuannya. Maka, lahirlah bukunya yang terkenal, La Trahison des Clercs (Pengkhianatan Kaum Intelektual) yang diterbitkan pada tahun 1927 (Lih. Masruri, 2005: 134).

Untuk mengantisipasi potensi adanya pengkhianatan intelektual semacam ini di kalangan mahasiswa, penting kiranya untuk membahas posisi mahasiswa cendekiawan di hadapan kekuasaan. Di hadapan kekuasaan nantinya, mahasiswa berada pada sebuah dilema. Tegangannya berada pada wilayah bahwa apakah dalam mewujudkan gagasan mereka mengenai masa depan negara, mereka harus berkompromi dengan struktur politik yang ada ataukah mereka harus bekerja di luar kekuasaan. Di satu sisi, untuk mewujudkan ide-idenya, mereka harus memasukkan basis kekuatan mereka ke dalam struktur politik yang ada. Di sisi lain, posisi semacam ini bisa mengaburkan visi mereka dan mengancam integritas dan kreativitas mereka sebagai akademisi.

Pada posisi pertama, beberapa akademisi berpendapat bahwa kaum intelektual sudah selayaknya berada di luar kekuasaan sebagai benteng akal sehat yang kritis. Soedjatmoko, misalnya, dalam tulisannya “Peranan Intelektual di Negara Sedang Berkembang” menyatakan bahwa demi mewujudkan “ide-ide yang jernih mengenai masa depan negaranya, tujuan-tujuan yang harus dikejar, dan cara agar tujuan itu harus dicapai,” seorang intelektual tidak boleh terpikat pada kekuasaan. Menurut Soedjatmoko, pilihan ini mempunyai resiko yang besar karena mereka akan berhadapan dengan berbagai kompromi politik yang bisa jadi akan memojokkan mereka dan gagasan-gagasan yang mereka perjuangkan (Soedjatmoko, 1984: 235-236).

Pada posisi kedua, sebagian ahli mengatakan bahwa intelektual mau tidak mau harus terlibat langsung di dalam lingkaran kekuasaan. Dalam hal ini, kekuasaan menjadi suatu instrumen penting agar gagasan-gagasan yang berada di kepala seorang intelektual menjadi kenyataan. Maka, seorang intelektual tidak bisa terhindar dari kompromi-kompromi dengan kekuasaan agar ia bisa menancapkan basis kekuatannya di dalam struktur politik yang ada (Soedjatmoko, 1984: 235).

Lantas, posisi apa yang seharunya diambil oleh mahasiswa?

Bagi saya, sebagai cendekiawan mahasiswa harus berada di luar kekuasaan karena dua alasan berikut. Pertama, seorang mahasiswa cendekiawan yang menghamba pada kekuasaan akan kehilangan kebebasannya sebagai manusia. Artinya, ketika ia masuk ke dalam sebuah sistem (baca: kekuasaan) ia hanya punya satu pilihan: menjadi juru bicara kekuasaan itu. Akibatnya, ia tidak bisa menghadirkan pikiran lain di dalam sistem itu karena wacana yang boleh berkembang di dalam sistem tersebut telah ditetapkan terlebih dahulu oleh si penguasa.

Menghadirkan wacana alternatif di luar dari aturan itu dengan sendirinya mengeluarkan seseorang dari sistem yang ada. Persis di situlah ia kehilangan kebebasannya karena ketika ia seharusnya bisa memutuskan untuk berkata “a” atau berkata “bukan a”, sistem mengharuskannya untuk hanya berkata “a. Hal ini berlaku juga ketika seorang mahasiswa hidup dalam sebuah kampus atau universitas di mana rektor atau sistem kampus menentukan wacana yang diperbolehkan ada di dalamnya.

Kedua, dalam kaitannya dengan hal pertama di atas, wilayah kekuasaan yang dimasuki mahasiswa akan mengaburkan visi mereka dan mengancam integritas serta kreativitas mereka sebagai akademisi. Ketika mahasiswa menjadi bagian dari kekuasaan, mereka tidak bisa menantang kekuasaan itu dan mencegahnya dari deviasi karena persis mereka hanya menjadi corong dan juru bicara kekuasaan tersebut.

Kehadiran mahasiswa sebagai cendekiawan sangat dibutuhkan sekarang di tengah krisis ekonomi dan politik yang ada. Dalam hal ini tugas mahasiswa adalah untuk mengkritisi kekuasaan dan melakukan berbagai aksi massa yang mendorong perubahan penting dalam bidang sosial dan politik negara. Dalam menjalankan tugas ini, mereka diharuskan untuk tidak melacurkan pengetahuan yang mereka miliki demi kepentingan diri mereka sendiri.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini.

spot_img
spot_img

Artikel Terkini