Floresa.co – Terik matahari menyambut kami ketika dua pekan lalu mendatangi desa itu yang terletak 14 kilometer ke arah selatan dari kota pariwisata premium Labuan Bajo, Kabupaten Mangggarai Barat.
Tiba di kampung itu, di halaman rumah dan pinggir jalan, beberapa warga terlihat sibuk menjemur padi yang baru saja dipanen.
Fabianus Sugianto Odos, Kepala Desa Compang Longgo, yang sudah kami kontak sebelumnya mempersilahkan kami masuk ke sebuah rumah berdinding bambu yang sudah tua.
Di dalamnya sudah ada beberapa warga. Ada yang berdiri, sebagian duduk di lantai semen yang sudah pecah. Beberapa di antaranya dilengkapi peralatan petani seperti parang yang terikat di pinggang.
Setelah berbincang sejenak, Kades Fabi mengajak kami ke tempat tujuan, Bendungan Wae Cebong. Bendungan itu berada di hilir Kali Wae Mese, salah satu dari tiga bendungan yang berada di sepanjang aliran kali itu.
Bendungan yang berada sekitar 400 meter dari kampung warga itu dalam beberapa waktu terakhir menjadi ramai dibicarakan, menyusul peristiwa jebolnya salah satu dinding tanggulnya pada 2020, yang membuat airnya mengering. Selain itu, aliran air dari Kali Wae Mese juga berpindah arah, yang dipicu terbentuknya Daerah Aliran Sungai Baru [DAS].
Semua ini dianggap warga sebagai akibat dari aktivitas penambangan pasir di dekat bendungan itu. Namun, upaya warga memprotes aktivitas tambang itu berhadapan dengan dengan ancaman balik diseret ke ranah hukum oleh pihak penambang.
Difungsikan sejak 1999, bendungan itu dipugar pada 2007, di mana dindingnya dibuat menjadi permanen. Rusaknya bendungan itu membuat 582 hektar sawah di area persawahan Satar Walang yang menghidupi lebih dari dua ribu penduduk desa menjadi terancam.
Bersama warga, kami berjalan menyusuri jalan setapak yang menurun menuju bendungan itu untuk melihatnya secara langsung.
“Jalan setapak ini adalah akses masyarakat untuk menimba air minum dan kebutuhan rumah tangga,” kata Kades Fabi menjelaskan.
Di saluran irigasi yang kami lewati, memang tampak air masih mengalir dengan volume yang sangat kecil. Fabi mengatakan, air itu bersumber dari air hujan yang masih bisa tertampung di bendungan, berhubung sedang musim hujan di wilayah itu.
“Begitu tidak ada hujan, irigasi kembali kering,” katanya diamini warganya.
Ia menjelaskan, saat bendungan itu masih berfungsi normal, mereka bisa memanen tiga kali dalam setahun. Namun, akibat volume air yang terus menurun di bendungan itu, berkurang menjadi dua kali panen dan sekarang hanya satu kali.
“Itu pun pun berharap pada air hujan,” katanya.
Ketika kami tiba di dekat bendungan, Fabi mengarahkan kami ke sisi kiri, di mana terdapat DAS yang sudah kering.
“Dulu aliran air dari kali Wae Mese melewati DAS ini. Sejak tahun 2020 lalu terjadi perubahan daerah aliran, karena terbentuk DAS baru di sebelah kiri,” katanya.
Aktivitas pertambangan galian C mulai beroperasi sejak tahun 2009 di wilayah itu, dengan wilayah galiannya yang terus meluas mendekati bendungan.
Ia mengatakan, melihat dampak buruk bagi bendungan itu akibat aktivitas pertambangan, warga sempat berharap agar izin tambang pasir yang berakhir pada 2018 tidak lagi diperpanjang. Mereka juga sempat berusaha mencegah ketika mesin eksavator yang menambang pasir itu mendekati dinding irigasi. Namun, upaya mereka gagal dan beberapa kali berhadapan dengan polisi yang dihadirkan penambang di lokasi.
Sampai di bendungan, kami bisa melihat tanggul yang jebol, sementara di ujung tembok bendungan banyak sampah potongan batang dan ranting kayu.
Di dalam bendungan, tampak sedikit air berwarna hijau, yang menurut warga adalah genangan air hujan, bukan dari Kali Wae Mese.
Perihal jebolnya tanggul bendungan itu, pihak penambang mengklaim bahwa hal itu dipicu oleh banjir bandang pada tahun 2019.
Namun, Fabi membantahnya. Ia mengatakan, saat banjir bandang pada Maret 2019 itu, bendungan masih berfungsi dan warga masih bisa panen dua kali.
“Jadi, kalau menjadikan bencana banjir bandang sebagai satu-satunya alasan, itu tidak benar,” katanya.
Ia menambahkan, usai bencana banjir itu, “faktanya di lapangan alat-alat yang menggali material pasir mendekati sayap bendungan dan beroperasi di kebun warga.”
“[Itu yang membuat] kebun warga ini menjadi DAS baru,” kata Fabi sambil menunjuk bekas galian pasir di kebun warga yang kini sudah menjadi DAS.
Luas lahan yang sudah menjadi DAS baru itu, kata dia, mencapai lima hektar, milik 17 warga desa.
Video
Tim Floresa.co