Memajukan Jam Sekolah: Solusi atau Masalah Baru untuk Pendidikan di NTT?

Masih banyak masalah serius bagi pendidikan di NTT yang membutuhkan perhatian maksimal dari pemerintah

Oleh: Elisabeth Irma Novianti Davidi

Kebijakan perubahan jam sekolah menjadi lebih awal yang mulai diterapkan di Kupang, ibukota Provinsi NTT ramai dibicarakan selama sepekan terakhir. Sudah 10 sekolah yang menerapkan kebijakan tersebut sejak 27 Februari 2023. Awalnya jam sekolah ditetapkan pukul 05.00, namun kemudian dimundurkan ke pukul 05.30.

Menurut pemerintah, kebijakan ini dijalankan dalam rangka restorasi pendidikan di NTT melalui peningkatan kedisiplinan peserta didik. Program ini juga diharapkan meningkatkan kualitas sumber daya manusia NTT agar bisa bersaing untuk mengakses universitas-universitas ternama, baik di tingkat nasional maupun global.

Kendati demikian, banyak kecaman yang muncul terhadap kebijakan ini. Sebagian besar menyoroti dampak buruknya terhadap kesehatan fisik serta mental peserta didik. 

Selain sependapat dengan kritik-kritik tersebut, dalam konteks yang lebih luas, saya melihat kebijakan ini justru tidak menjawab tantangan riil pendidikan di NTT saat ini. Karena itu, melalui tulisan ini, selain mempertegas kembali dampak buruk kebijakan ini bagi peserta didik, saya membeberkan sejumlah persoalan pokok pendidikan di NTT yang semestinya mendapat perhatian serius pemerintah dan pihak terkait lainnya.

Dampak Buruk Bagi Peserta Didik

Salah satu dampak utama dari jam sekolah yang terlalu pagi adalah kurangnya waktu tidur bagi peserta didik, yang berpengaruh terhadap kesehatan mereka. Sebuah studi yang dilakukan oleh National Sleep Foundation menunjukkan bahwa remaja membutuhkan waktu tidur antara 8-10 jam per malam untuk menjaga kesehatan fisik dan mental mereka (National Sleep Foundation, 2020). 

Kurangnya waktu tidur berdampak buruk pada kesehatan peserta didik, seperti kepala pusing dan lelah, menurunnya sistem kekebalan tubuh, gangguan kesehatan mental seperti kecemasan dan depresi serta menurunnya kinerja akademik dan daya ingat (Medicover Hospitals, 2021).

Terhadap pendapat yang menyatakan bahwa memulai sekolah pada subuh dapat meningkatkan kinerja akademik peserta didik karena memberikan mereka lebih banyak waktu untuk belajar dan mempersiapkan diri, sebetulnya secara ilmiah juga telah dipatahkan oleh banyak studi.  Studi yang dilakukan oleh Wolfson dan Carskadon (2015) misalnya menunjukkan bahwa siswa yang memiliki waktu tidur yang lebih sedikit cenderung memiliki kinerja akademik yang lebih buruk.  Sebaliknya, yang waktu tidurnya cukup, prestasi akademiknya meningkat, demikian juga prestasi olah raga. Penelitian ini mempertegas korelasi antara  kesehatan tidur dan kecukupan tidur dengan  kualitas manusia. 

Studi lain yang dilakukan oleh Centers for Disease Control and Prevention (2015) juga menghasilkan temuan serupa, bahwa siswa yang terbiasa bangun terlalu pagi memiliki kinerja akademik yang lebih buruk, dibandingkan dengan yang tidur cukup.

Masalah Pendidikan di NTT

Berangkat dari beberapa poin di atas, daripada melahirkan kebijakan yang kontroversial dan tidak didasari kajian ilmiah, pemerintah semestinya fokus pada masalah-masalah pendidikan yang hingga saat ini belum mendapat perhatian secara serius. Saya mencatat beberapa hal berikut sebagai masalah utama, yang terpaut erat satu sama lain.

Pertama, tingkat pendidikan di NTT masih tergolong rendah. Menurut data Badan Pusat Statistik [BPS] tahun 2020, meskipun angka partisipasi sekolah di NTT terbilang tinggi, yakni 95,19% untuk jenjang SD, 89,67% untuk jenjang SMP, dan 69,11% untuk jenjang SMA, namun hanya sekitar 37,76% penduduk NTT yang berusia di atas 15 tahun yang memiliki tingkat pendidikan setara dengan SMA atau yang lebih tinggi. Sementara itu, sekitar 30,64% penduduk NTT berusia di atas 15 tahun memiliki tingkat pendidikan rendah, yaitu Sekolah Dasar atau belum pernah sekolah. Angka ini menunjukkan tren bahwa banyak warga NTT yang tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi, sekaligus tingginya angka putus sekolah.

Kedua, kualitas dan jaminan kesejahteraan untuk pendidik. Dari segi rasio murid per guru, NTT sebetulnya sudah memenuhi standar yang ditetapkan pemerintah, kecuali untuk SD. Berdasarkan Pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru, standar ideal rasio murid-guru adalah 20:1 untuk SD, 20:1 untuk SMP, 20:1 untuk SMA, dan 15:1 untuk SMK. Di NTT, menurut data Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi [Kemdikbud Ristek] tahun 2021, rasio murid per guru pada jenjang SD adalah 25:1, sedangkan pada jenjang SMP dan SMA masing-masing adalah 18:1 dan 13:1. Itu berarti SMP dan SMA sudah memadai, kecuali untuk SD yang masih kekurangan guru. 

Persoalan yang lebih krusial untuk guru sebetulnya adalah pada kompetensi yang masih rendah. Hal ini juga tentu terkait erat dengan lemahnya jaminan kesejahteraan. Seperti yang disinggung oleh Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), ribuan guru honorer di NTT diberi upah jauh di bawah UMK/UMP, berkisar antara Rp 200 ribu-Rp 750 ribu per bulan.

Ketiga, kurangnya sarana dan prasarana yang juga berdampak pada mutu sekolah. Berdasarkan data Kemendikbud Ristek tahun 2021, terdapat sekitar 3.886 sekolah di NTT yang masih kekurangan sarana dan prasarana. Masih terdapat 47.832 kelas di sekolah yang berada dalam kondisi rusak; 66 persen SD belum dan berakreditasi C; 61 persen SMP belum dan berakreditasi C; 56 persen SMK belum dan berakreditasi C. 

Faktor-faktor di atas kemudian berdampak buruk pada rendahnya kualitas pendidikan. Ketika Ujian Nasional masih diterapkan, data dari Kemendikbud Ristek tahun 2021 menunjukkan hanya 4,69% siswa di NTT yang mencapai skor unggul.

Rapor pendidikan tahun 2022 yang dikeluarkan Kemendikbud Ristek juga mencatat kemampuan literasi dan numerasi di NTT pada jenjang SMA masih rendah. Untuk dua jenis kemampuan itu, kurang dari 50 persen peserta didik yang mencapai batas kompetensi minimum. Hal itu didapat dari asesmen terhadap 869 SMA, 33.433 siswa, 773 kepala satuan pendidik, dan 20.214 guru. 

Di samping itu, Indeks Pembangunan Manusia [IPM], yang salah satunya mengukur kualitas pendidikan, selalu menempatkan NTT pada posisi buncit. Pada tahun 2022, merujuk pada data Badan Pusat Statistik, NTT lagi-lagi berada di urutan 32 dari 34 provinsi. Dengan IPM 65,90, NTT hanya mengungguli Papua dan Papua Barat. Ini masih jauh di bawah rata-rata nasional, 71,81. Kondisi ini tidak berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya.

Solusi

Merujuk pada data-data di atas, menjadi jelas apa yang sebetulnya perlu menjadi fokus pemerintah.

Pertama, meningkatkan akses pendidikan. Pemerintah dapat meningkatkan akses pendidikan dengan membangun lebih banyak sekolah di daerah terpencil dan meningkatkan infrastruktur yang dapat mendukung akses masyarakat terhadap pendidikan, seperti jalan dan sarana transportasi. Selain itu, pemerintah juga dapat memberikan beasiswa kepada siswa yang kesulitan untuk membiayai pendidikan mereka.

Kedua, meningkatkan kualitas dan  menjamin kesejahteraan tenaga pendidik. Peningkatan kualitas tenaga pendidik dapat dilakukan dengan cara memberikan pelatihan dan program pengembangan profesional secara berkala. Tunjangan berupa insentif kepada guru yang mengajar di daerah terpencil juga perlu diperhatikan agar mereka menjadi lebih termotivasi bekerja.

Ketiga, meningkatkan sarana dan prasarana pendidikan. Fasilitas di ruangan kelas, perpustakaan, laboratorium pembelajaran perlu mendapat perhatian untuk mendukung proses belajar siswa. Perhatian ini terutama diberikan kepada sekolah-sekolah di pedesaan yang selama ini tidak memiliki fasilitas pendidikan yang memadai, seperti sekolah-sekolah di kota.

Tentu saja, berbagai upaya di atas mesti dibarengi juga dengan perhatian serius pada peningkatan ekonomi masyarakat dan perhatian pada sektor lainnya, seperti kesehatan. NTT, misalnya, masih tercatat sebagai provinsi dengan prevalensi stunting tertinggi, sebesar 37,8 persen (Kemenkes, 2021). Di samping itu, pemerintah dapat meningkatkan dukungan terhadap keluarga dengan memberikan sosialisasi dan edukasi mengenai pentingnya pendidikan.

Pemerintah tidak bisa berjalan sendiri untuk mengatasi sejumlah tantangan ini. Karena itu, diperlukan upaya kolaborasi dengan berbagai pihak, siapapun itu, demi merumuskan kebijakan-kebijakan yang lebih jelas, terarah dan terukur. Memutuskan sebuah kebijakan secara sepihak, tanpa didasari kajian dan tanpa mendengar aspirasi dari pihak lain, tidak akan berdampak signifikan, selain hanya menimbulkan kehebohan.

Elisabeth Irma Novianti Davidi adalah dosen Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar Universitas Katolik St Paulus Ruteng

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di bawah ini.