Floresa.co – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia [Komnas HAM] meminta Jaksa Agung Muda Pengawasan Kejaksaan Republik Indonesia [RI] untuk memberikan keterangan terkait aduan dugaan kesewenangan Kejaksaan Negeri Manggarai dalam penanganan perkara tanah Terminal Kembur di Kabupaten Manggarai Timur.
“Meminta Jaksa Agung Muda Pengawasan Kejaksaan RI untuk memberikan informasi dan keterangan mengenai dasar penangangan perkara oleh Kejaksaan Negeri Manggarai dalam dugaan tindak pidana korupsi pembangunan Terminal Kembur,” demikian salah satu poin permintaan Komnas HAM yang disampaikan melalui surat Nomor: 092/PM.00/K/I/2023.
Dalam surat yang salinannya diperoleh Floresa itu, Komnas HAM juga meminta Jaksa Agung Muda untuk “memberikan keterangan dan informasi proses dan dasar penetapan Gregorius Jeramu—pemilik tanah Terminal Kembur—sebagai terdakwa.”
Surat yang dikeluarkan pada 19 Januari 2023 itu ditandatangani oleh Uli Parulian Sihombing, Komisioner Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM.
Lembaga tersebut menegaskan agar Jaksa Agung Muda menjawab permintaan mereka paling lambat 14 hari setelah surat tersebut diterima.
Surat ini menindaklanjuti pengaduan Sofia Nimul, istri Gregorius Jeramu, warga Kampung Kembur, Kelurahan Satar Peot, Kecamatan Borong, yang keberatan dengan keputusan Kejari Manggarai menetapkan suaminya sebagai tersangka dan kini terdakwa dalam kasus dugaan korupsi terminal angkutan darat tersebut.
Gregorius ditetapkan jadi tersangka bersama Benediktus Aristo Moa, Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan [PPTK] di Dishubkominfo Manggarai Timur pada akhir Oktober tahun lalu.
Bayu Sugiri, Kepala Kejari Manggarai mengatakan Gregorius menjadi tersangka dalam kapasitasnya sebagai pemilik lahan yang tidak mengantongi alas hak berupa sertifikat saat menjualnya kepada pemerintah.
Gregorius, kata dia, hanya menggunakan Surat Pemberitahuan Terhutang Pajak Bumi dan Bangunan [SPT PBB] sebagai alas hak, sementara berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, SPT PBB bukanlah alas hak atau bukti kepemilikan tanah.
Aristo Moa menjadi tersangka karena disebut tidak meneliti status hukum tanah itu sebelum membuat dokumen kesepakatan pembebasan lahan serta menetapkan harganya.
Tanah itu dibeli pemerintah pada tahun 2012 dan 2013 dengan harga Rp 420 juta atau setelah dipotong pajak menjadi Rp 402.245.455.
Tindakan keduanya, kata Bayu, merugikan keuangan negara dengan nilai kerugian total (total loss) atau senilai yang telah dibayarkan kepada Gregorius.
Dalam pengaduannya ke Komnas HAM, Sofi mengatakan bahwa penetapan tersangka Gregorius merupakan bentuk “kesewenangan” Kejari Manggarai dalam penanganan perkara itu.
Ia menyatakan keberatan atas proses yang dialami suaminya karena pihak Kejari Manggarai tidak mengakui kepemilikan turun-temurun atas tanah tersebut berdasarkan adat istiadat yang sebagian besar masih banyak terjadi di Kabupaten Manggarai Timur.
Philipus Jehamat [53], adik Gregorius mengatakan kakaknya itu telah berpuluh-puluh tahun menguasai lahan tersebut.
“Seingat saya, sejak 1982 Bapak Gregorius menggarap tanah itu. Sampai saat dia jual bahkan sampai saat ini, kami sebagai saudara, maupun pihak lain tidak pernah mengklaim tanah tersebut,” katanya kepada Floresa.
Leonardus Santosa, tokoh masyarakat yang juga pemerhati budaya yang menetap di Kembur menguatkan pernyataan Philipus.
Menurutnya, banyak masyarakat Kembur dan sekitarnya yang memproleh hak atas tanahnya dengan menguasainya puluhan tahun.
“Dan [tanah itu] tidak diklaim oleh masyarakat adat maupun pemerintah desa atau kecamatan, juga tidak pernah ada penetapan sebagai tanah negara,” ujarnya.
“Hukum positif itu ada kemudian, tetapi hukum adat, kearifan lokal masyarakat Manggarai itu sudah ada sejak ribuan tahun lalu,” ujarnya.
Terminal Kembur awalnya direncanakan untuk menjadi penghubung bagi angkutan pedesaan dari daerah di wilayah utara Borong, ibukota Manggarai Timur dengan angkutan khusus menuju Borong.
Untuk mengerjakan terminal tersebut, Pemkab Manggarai Timur melalui Dinas Hubkominfo menelan anggaran sebesar Rp 4 miliar, di mana Rp 3,6 miliar adalah untuk pembangunan fisik terminal mulai tahun 2013 sampai 2015.
Jaksa sudah mengendus kasus terminal ini sejak Januari 2021, dengan memeriksa 25 orang saksi, mulai dari mantan Bupati Yoseph Tote hingga beberapa mantan pejabat di Dinas Hubkominfo, seperti Kepala Dinas Jahang Fansialdus dan Kepala Bidang Perhubungan Darat, Gaspar Nanggar.
Kontraktor yang mengerjakan terminal itu juga sempat diperiksa, yakni Direktur CV Kembang Setia, Yohanes John dan staf teknik CV Eka Putra, Adrianus E Go.
Sejauh ini, Kejaksaan baru mengusut masalah pengadaan lahan, sementara terkait pembangunan terminal belum tersentuh.
Pada hari penetapan tersangka Gregorius dan Aristo Moa, Kejaksaan sempat memeriksa kembali sejumlah saksi, termasuk Jahang Fansialdus, yang kini menjadi Sekretaris Daerah Manggarai.
Warga di Manggarai Timur sempat melakukan aksi protes atas penetapan tersangka ini, termasuk dengan melakukan demonstrasi di Kejari Manggarai.
Kelompok pemuda juga melakukan aksi penggalangan dana di tempat-tempat umum untuk membantu akomodasi dari tim pengacara yang membela Gregorius.
Terima Kasih
Silvester Jenabut [38], putra sulung Gregorius menyampaikan terima kasih kepada Komnas HAM yang telah memberi atensi atas kasus yang menimpa ayahnya itu.
“Saat kami membuat pengaduan dan beraudiensi dengan Komnas HAM, banyak juga yang pesimis dengan upaya kami mencari keadilan,” ujarnya.
“Tetapi, usaha kami ternyata tidak sia-sia karena terbukti Komnas HAM memberikan perhatian terhadap kasus ini dengan menyurati Jaksa Agung Muda,” katanya kepada Floresa pada Sabtu malam, 28 Januari.
Ia berharap Komnas HAM terus memantau perkara yang kini sedang disidangkan di Pengadilan Negeri Kupang tersebut hingga selesai. Kasusnya masih dalam tahap pemeriksaan para saksi.
“Hanya kata terima kasih saja yang kami bisa berikan kepada Bapak-Ibu di Komnas HAM,” katanya.
“Kami ini orang kecil dan lemah. Kami tidak punya apa-apa untuk membalas kebaikan kalian. Harapan kami, Bapak-Ibu di Komnas HAM terus memantau perkara ini,” ujarnya.