Floresa.co – Sikry Elmadem Subu melewati lebih dari 100 hari di atas Longbow No. 7, kapal penangkap ikan berbendera Vanuatu, negara kepulauan di bagian selatan Samudra Pasifik.
Di atas kapal yang sisinya mulai berkarat termakan usia itu, ia bekerja sebagai penangkap ikan.
Sikry berpulang pada hari terakhir tahun lalu di kapal itu yang sedang melaut di perairan yurisdiksi Fiji.
Ia dilaporkan meninggal akibat edema disertai gastroenteritis.
Edema merupakan kondisi medis saat cairan ekstra terkumpul dalam ruang antara sel-sel dalam tubuh, menyebabkan pembengkakan jaringan. Gastroenteritis mengacu pada muntah dan diare akibat peradangan pada sistem pencernaan.
Jenazah Sikry baru dipulangkan ke kampung halamannya di Desa Sahraen, Kecamatan Amarasi Selatan, Kupang pada 18 Maret, dua setengah bulan sesudah berpulang.
Deputi Pengelolaan Pengetahuan di Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan [KIARA], Fikerman Saragih mempertanyakan pemicu kematian Sikry karena edema dan gastroenteritis.
“Betulkah Sikry berpulang karena murni dua penyakit itu?” katanya kepada Floresa pada 5 April.
“Saya berharap ia sebelumnya tak menghadapi pelanggaran hak asasi manusia yang berujung pada hilangnya nyawa.”
Surat keterangan kematian yang diterbitkan Kedutaan Besar RI di Suva, ibu kota Fiji menyebutkan Sikry mulai mengeluh sakit pada 29 Desember.
Mula-mula ia mual, lalu “diberi obat mag dan antibiotik oleh kapten kapal,” kata Direktur Perkapalan dan Kepelautan Kementerian Perhubungan, Hartanto seperti disitir dari Detik.com.
“Mengapa ia sampai jatuh sakit? Pemerintah harus menelusuri itu,” kata Fikerman.
Kondisi Kerja yang Buruk
Keraguan Fikerman terhadap pemicu kematian Sikry merujuk pada sejumlah kondisi buruk yang kerap dialami awak kapal perikanan [AKP] migran.
Kondisi buruk yang disebutkannya termasuk jam kerja tak kenal waktu, jenis pekerjaan yang tak terfokus, pemberian makanan basi, ketiadaan air bersih, ruang tidur yang tak manusiawi serta kekerasan verbal, fisik dan mental.
Ketiga jenis kekerasan terhadap AKP migran di atas kapal “acapkali dipicu kendala bahasa,” kata Fikerman.
Lantaran tak memahami arahan kapten kapal yang berbahasa non-Indonesia, AKP migran seringkali keliru mengerjakan sesuatu, kapten lalu memarahi mereka.
Sementara AKP migran, yang sudah kelelahan bekerja, “kerap tersulut emosinya yang berujung pada perkelahian, atau kekerasan satu arah.”
Karena keliru bekerja pula, “AKP migran sering dihukum dengan ditempatkan di ruang-ruang yang jauh lebih tak manusiawi, misalnya tempat penyimpanan ikan.”
Pernyataan Fikerman selaras dengan temuan dalam laporan Forced Labour at Sea: The Case of Indonesia Migrant Fishers [Kerja Paksa di Laut: Kasus Nelayan Migran Indonesia] yang dirilis Greenpeace Asia Tenggara dan Serikat Buruh Migran Indonesia pada 2021.
Laporan itu mengungkap praktik kerja paksa terhadap AKP migran di atas kapal-kapal perikanan asing, seperti penahanan upah [87%], lingkungan kerja dan hidup yang penuh kekerasan [82%], penipuan [80%] dan penyalahgunaan kerentanan [67%].
Laporan tersebut juga mencatat peningkatan jumlah pengaduan sebanyak 62 kasus kerja paksa yang dilaporkan antara Mei 2019 hingga Juni 2020, naik dari 34 kasus pada Desember 2018 hingga Juli 2019.
Kewenangan yang Kusut
Di sisi lain, Fikerman juga menyoroti koordinasi antarlembaga pemerintah dalam penanganan kasus AKP migran.
Ia misalnya menyinggung pemulangan jenazah Sikry yang “sangat lama.”
“Setelah melalui proses yang panjang, jenazah akhirnya tiba di Bandara Soekarno-Hatta pada 18 Maret, kemudian diterbangkan ke kampung halamannya,” kata Hartanto pada 19 Maret.
“Di mana masalahnya?” kata Fikerman, hal yang juga jadi pertanyaan Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Wahana Lingkungan Hidup Indonesia [WALHI], Parid Ridwanuddin.
“Beberapa kali kejadian [meninggalnya AKP migran] begitu. Pemerintah sering responsif pada tahap awal penanganan kejadiannya. Sesudah itu lamban,” kata Parid kepada Floresa pada 5 April.
Menurutnya, kelambanan proses pemulangan jenazah AKP migran dipicu “kewenangan antarkementerian dan lembaga yang masih saja kusut.”
Ia mencontohkan kasus pada 2020, ketika kapten kapal berbendera China melarung tiga jenazah AKP migran asal Indonesia.
Saat itu Kementerian Luar Negeri segera memanggil Duta Besar China di Jakarta.
“Tapi setelah itu, apa? Kementerian atau lembaga apa yang mesti urus proses selanjutnya? Bingung semua,” kata Parid.
Pemerintah, katanya mengingatkan, mesti segera membenahi kewenangan antarkementerian dan lembaga sehingga “AKP migran dan keluarga mereka kian terlindungi.”
Ia menggarisbawahi soal keluarga AKP migran lantaran “selama ini pemerintah belum melindungi keluarga mereka lewat undang-undang.”
Sementara Koordinator Departemen Kemaritiman Serikat Buruh Migran Indonesia, Dios Lumban Gaol memberi catatan soal ketiadaan data pasti terkait jumlah AKP migran, baik asal NTT maupun skala nasional.
“Ketiadaan data turut memperumit perlindungan bagi AKP migran,” kata Dios, yang senada dengan catatan Parid, “data tersebut akan membantu pemerintah mendesain perlindungan terbaik dan seutuhnya bagi AKP migran.”
Perampasan Ruang Laut
Sementara di laut lepas para AKP migran menghadapi kondisi kerja yang buruk, di wilayah pesisir di dalam negeri, termasuk di NTT, para nelayan juga menghadapi masalah pelik.
Pulau-pulau di NTT terhubung dengan Laut Sawu yang berada di antara tiga pulau besar–Flores, Timor dan Sumba–dan Laut Flores di utara.
Beberapa pulau kecil–seperti Solor, Adonara dan Lembata–dipisahkan selat-selat yang merupakan bagian dari jalur perlintasan Alur Laut Kepulauan Indonesia III.
Parid menyoroti masalah nelayan NTT yang “kini semakin tergusur akibat pembangunan.”
Ia mengacu pada penelitiannya pada 2019 di Desa Gorontalo, Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat ketika pemerintah menetapkan Taman Nasional Komodo dan sekitarnya sebagai salah satu kawasan strategis pariwisata nasional.
“Bahkan pada tahun pertama penetapannya pun, nelayan di Kampung Gorontalo telah kehilangan banyak hal,” kata Parid.
Kehilangan itu, katanya, termasuk pemindahan dermaga sandar perahu yang memicu penurunan pendapatan.
“Dermaga sandar perahu mereka sudah berubah fungsi jadi lokasi wisata. Bukannya pelaku bisnis wisata, justru nelayan setempat yang mesti mengalah, mencari tempat sandar lebih jauh,” katanya.
Tempat sandar yang kian jauh dari wilayah tangkap ikan membuat bahan bakar kian boros.
Kalaupun ingin memaksimalkan bahan bakar, “belum tentu ikannya sebanyak di wilayah tangkap yang bertahun-tahun mereka kenal.”
Parid mencatat sejumlah nelayan Desa Gorontalo berganti mata pencaharian, mengantar turis berkeliling perairan sekitar Labuan Bajo.
Tak setiap hari ada turis yang butuh diantar dengan kapal milik nelayan, yang kebanyakan lebih memilih kapal-kapal wisata milik korporasi. Akibatnya, tak setiap hari ada pemasukan.
Kepada Parid, nelayan yang berpindah mata pencaharian mengaku pendapatan mereka menurun 50 persen per bulan.
“Apakah kini penurunannya semakin parah? Saya berharap bisa kembali ke sana dan menemukan jawabannya,” kata Parid yang belum kembali lagi ke Desa Gorontalo sejak pandemi Covid-19.
Jumlah nelayan di Manggarai Barat sebanyak 4.795 jiwa per Desember 2023, menurut catatan terakhir yang diterbitkan Data Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri.
Bila pembangunan pariwisata terus menganjur ke laut, “kita akan terancam kehilangan nelayan akibat kekeliruan kebijakan pemerintah di Manggarai Barat,” kata Parid.
Fikerman maupun Parid sepakat perampasan ruang laut [ocean grabbing] telah mendesak nelayan ke “pilihan-pilihan yang terkadang keliru dan membahayakan demi bisa bertahan hidup.”
Salah satunya, kata mereka, menggunakan bahan peledak ketika menangkap ikan.
Januari lalu tiga nelayan asal Pulau Rote, NTT ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus penggunaan bahan peledak di laut.
Mereka dijerat dengan Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 tentang Senjata Api dan Bahan Peledak juncto Pasal 53 dan Pasal 55 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dengan ancaman vonis penjara maksimal 20 tahun.
Penasihat Senior Indonesia Ocean Justice Initiative, Harimuddin menyesalkan penggunaan bahan peledak oleh ketiga nelayan yang “selain merusak ekosistem laut, “juga dapat membahayakan keselamatan mereka.”
Namun, katanya kepada Floresa, “yang lebih mendesak untuk ditangani pemerintah adalah mengusut tuntas jaringan penyuplai bahan peledaknya.”
“Pemerintah harus maksimal mendeteksi dan menindak tegas penyuplai,” kata Harimuddin yang juga kuasa hukum warga adat di beberapa pulau kecil di Indonesia.
Fikerman mengatakan “sejumlah suku yang menggantungkan penghidupan dari laut di NTT menggunakan bahan peledak lantaran ruang mata pencaharian mereka kian tergusur.”
“Apakah pemerintah masih mau hanya menyalahkan dan menghukum nelayan kecil?,” kata Fikerman sembari menambahkan, “tindak pula penyuplai bahan peledaknya dan pelaku ocean grabbing.”
Desakan Meratifikasi Konvensi ILO 188
Merespons ketidakadilan yang masih dialami nelayan kecil dan AKP migran Indonesia, kolaborasi antarorganisasi masyarakat sipil yang menamai diri “Tim 9” menggelar aksi damai di tiga kota pada 3 April.
Aksi damai menjelang Hari Nelayan Nasional 6 April itu terselenggara di Jakarta, Banda Aceh, Provinsi Aceh dan Bitung, Provinsi Sulawesi Utara.
Di Banda Aceh dan Bitung, aksi damai dilakukan di depan kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah setempat.
Dalam aksi itu, Tim 9 mendesak Presiden Joko Widodo segera meratifikasi Konvensi Organisasi Buruh Internasional [ILO] 188 atau C-188 tentang Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan. Konvensi tersebut secara khusus mengatur standar pelindungan bagi para pekerja di sektor perikanan.
Di Indonesia, “awak kapal perikanan domestik dan migran tak dilindungi dengan jaminan sosial. Mereka juga bekerja tanpa aturan standar upah minimum. Semua diperparah dengan sistem bagi hasil yang tidak adil,” kata koordinator Tim 9, Syofyan.
Sementara Fikerman, salah satu anggota Tim 9, menyoroti banyaknya masalah krusial yang dialami nelayan di Indonesia, walau jargon “negara maritim” kerap dikumandangkan oleh negara.
Ia menyoroti tidak adanya jaminan perlindungan atas wilayah penangkapan nelayan kecil dan tradisional sehingga memicu kompetisi antara nelayan kecil dengan nelayan besar dan/atau industri.
Selain itu adalah minimnya pengakuan identitas perempuan nelayan. Padahal, kata dia, pengakuan tersebut dibutuhkan untuk memperkuat perlindungan terhadap mereka.
Fikerman juga menyebut saat ini kebijakan pemerintah berorientasi pada jaminan dan kepastian hukum untuk investasi.
Pemerintah, katanya, tidak menerapkan orientasi serupa guna melindungi dan merawat keberlanjutan ekologi di wilayah pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil.
Laporan ini dikerjakan Joe Tkikhau di Pulau Timor, Herry Kabut di Pulau Flores dan Anastasia Ika
Editor: Ryan Dagur