Kebutuhan Beras Warga Lembata Hampir Seribu Ton Per Bulan, Pangan Lokal Belum Jadi Pilihan

Dominasi beras membuat pangan lokal menjadi seakan eksklusif, hanya dihidangkan saat pesta, bukan untuk konsumsi sehari-hari

Floresa.co – Kabupaten Lembata di Provinsi Nusa Tenggara Timur [NTT] menghabiskan hampir seribu ton beras per bulan, sementara pangan lokal belum menjadi pilihan mayoritas masyarakat di pulau kecil sebelah timur Flores itu.

Data Dinas Koperasi, Perindustrian dan Perdagangan [Koperindag] menunjukkan, total kebutuhan beras per bulan untuk warga Lembata yang terbagi dalam sembilan kecamatan adalah 962.873 kilogram atau 962,873 ton, dengan rata-rata konsumsi per warga yang totalnya  143.391 jiwa adalah 0,227 kilogram per hari.

Jika dikalikan per hari, konsumsi beras setiap warga Lembata adalah 6,81 kilogram sebulan, kata Kepala Dinas Koperindag, Wihelmus Leuweheq.

Jumlah ini memang setara rata-rata konsumsi beras secara nasional dan lebih rendah dari rata-rata konsumsi beras warga NTT yang mencapai 9,11 kilogram per bulan, sesuai Survei Sosial Ekonomi Nasional 2023 oleh Badan Pusat Statistik [BPS].

Namun, dengan Lembata yang tercatat sebagai kabupaten dengan jumlah areal sawah – baik irigasi maupun non irigasi – paling rendah di NTT, yaitu 65 hektare menurut data BPS dan produksi selama setahun 488 ton [2023], berarti pasokannya bergantung pada daerah lain.

Sementara ketergantungan pada beras tinggi, kecenderungan mayoritas masyarakat melirik pangan lokal sebagai pangan utama, menurut pemerintah dan pemerhati isu pangan, cenderung rendah.

Data konsumsi beras per kecamatan di Kabupaten Lembata. (Diolah Floresa dari data Dinas Koperasi, Perindustrian dan Perdagangan)

Mengapa Beras Tetap Jadi Primadona?

Wihelmus Leuweheq berkata kepada Floresa pada 12 Juli, sejauh ini sirkulasi beras yang masuk dan dijual di Lembata memang masih bisa mencukupi kebutuhan warga.

Di sisi lain, kata dia, harga pangan lokal juga relatif mahal. Ia mencontohkan harga beras merah dan jagung titi – dua pangan lokal utama di Lembata.

Harga jagung titi, katanya, Rp20.000 per stoples setara 5 ons, sementara beras merah Rp10.000 per gelas setara 2,5 ons.

Kurangnya minat pada pangan lokal diakui Ben Asan, pegiat dan peneliti pangan lokal di lembaga milik Gereja Katolik, Yayasan Pembangunan Ekonomi Keuskupan Larantuka [Yaspensel] wilayah Lembata.

Bersama Yaspensel, Ben telah terlibat dalam proyek pengembangan sorgum di Desa Wuakerong, Kecamatan Nagawutung, yang berjarak sekitar 20 kilometer ke arah selatan dari Lewoleba, ibu kota kabupaten.

Petani di Desa Wuakerong merupakan dampingan Yaspensel sejak 2016.  Program ini dijalankan di bawah koordinasi Manajer Program, Maria Loretha – yang dikenal sebagai pegiat sorgum -, dan Direktur Yaspensel, Romo Benyamin Daud.

Dibudidayakan di lahan belasan hektare, kata Ben, program ini melibatkan 15 anggota kelompok Tani Ile Nogo Dusun A, Desa Wuakerong. Setiap petani memiliki antara setengah hingga satu hektare lahan sorgum.

“Menandai perayaan syukur panen tahun ini, kami ramai-ramai menanam kembali benih sorgum di salah satu kebun milik Vibronia Peni, Ketua Kelompok Tani Sorgum Ile Nogo,” katanya.

Namun, kata Ben, cerita sukses masyarakat di Desa Wuakerong selama delapan tahun ternyata tidak berimbas pada praktik makan sorgum secara masif di Lembata.

Tidak hanya sorgum, pangan lokal lain seperti ubi, jagung dan pisang juga belum diminati masyarakat sebagai makanan utama.

“Masyarakat Lembata menganggap makan ubi dan pisang tidak membuat kenyang,” katanya.

Akibat paradigma, pola konsumsi, dan kebiasaan demikian, jelas Ben, pangan lokal belum dikonsumsi sehari-hari.

Pangan lokal, katanya, berada di klaster kedua, tidak dianggap sebagai makanan substitutif dan primer. 

“Ketergantungan terhadap beras masih tinggi, meskipun segala energi terkuras untuk urusan mendatangkan beras dari luar,” katanya.

“Masyarakat tetap cari beras meski harganya baru-baru ini berada di atas Rp18.000 per kilogram selama beberapa bulan,” tambah Ben.

Ia juga membeberkan alasan lain soal masyarakat yang lebih doyan memilih beras, yaitu karena praktis, tinggal dimasak lalu dikonsumsi.

Sementara pangan lokal, katanya, pengelolaannya “sedikit lebih ribet” dan makan waktu.

Soal pangan yang dikonsumsi pada acara tertentu, Marni Dias dari Desa Hadakewa, Kecamatan Lebatukan di sebelah timur Lewoleba, juga mengakuinya.

“Kami di sini tidak akan lupa hidangkan pangan lokal saat ada hajatan,” kata Marni saat ditemui di Pantai Hadewa, sembari mengupas kulit ubi untuk digoreng.

Di pantai itu, Marni yang berjualan kuliner juga menjajakan pangan lokal kepada wisatawan. Banyak wisatawan, katanya, menginginkan makan pangan lokal sambil menikmati sunset di pantai itu.

Fredy Wahon, warga yang mengaku sering mengonsumsi pangan lokal menambahkan, salah satu pemicu pangan ini tidak banyak dikonsumsi adalah karena anggapan bahwa ia hanya untuk orang desa.

Ini sudah menjadi pola pikir umum, katanya.

Kalaupun dikonsumsi, kata Fredy, itu hanya dianggap sebagai jajan.

Kepala Dinas Koperasi, Perindustrian, dan Perdagangan Kabupaten Lembata, Wihelmus Leuweheq. (Adrian Naur)

Pangan Lokal Bertahan di Tengah Perubahan Iklim

Diversifikasi pangan menjadi penting di tengah perubahan iklim di Lembata karena musim kemarau lebih lama dari biasanya.

Pascasiklon Seroja pada 2021, cuaca memang kurang menentu, dengan udara panas dan terik matahari lebih mendominasi.

Pantauan Floresa, suhu udara di Lembata selalu berada di kisaran 30 derajat Celcius, kadang lebih tinggi.

Dalam beberapa tahun terakhir, hujan turun terhitung hanya dalam rentang Desember hingga Maret, sementara April hingga Juni relatif tidak menentu. Puncak musim kemarau pada Juli-Oktober. 

Hal ini sejalan dengan laporan kajian Koalisi Pangan Baik terkait perubahan iklim di Kabupaten Lembata. Laporan di bawah program Voice for Just Climate Action itu menemukan sejak 2023 sebagian besar wilayah di Kabupaten Lembata memiliki curah hujan tergolong menengah, yakni 51-150 millimeter.

Ben Asal dari Yapensel berkata, menghadapi musim kekeringan berkepanjangan saat ini, pilihan untuk mengonsumsi pangan lokal adalah langkah yang tepat. 

Tepat, kata dia, karena pangan lokal seperti sorgum bisa bertahan sepanjang tahun, termasuk pada musim kering.

Bagaimana Memasyarakatkan Pangan Lokal?

Bagi Fredy Wahon, salah satu caranya adalah dengan edukasi yang lebih luas.

“Ubah pola pikir terlebih dahulu,” katanya, misalnya soal persepsi tentang makan yang tidak lagi sebatas dengan nasi.

Hal ini, menurutnya, mesti digalakkan oleh pemerintah.

“Pemerintah adalah penggerak utama konsumsi pangan lokal, tidak bisa hanya imbau masyarakat,” katanya.

Wihelmus Leuweheq dari Dinas Koperindag sepakat soal pentingnya perubahan paradigma yang harus “bisa mulai dari sekarang.”

Ia mengaku sejauh ini pemerintah belum memiliki program khusus untuk mendorong warga mengonsumsi pangan lokal.

Ia berencana akan menggiatkan sosialisasi tentang hal ini lewat seminar yang melibatkan sejumlah pihak, termasuk Yaspensel.

Marni Dias dari Desa Hadakewa juga berharap pangan lokal tetap dilestarikan.

Tidak hanya dalam rangka diversifikasi pangan, kata dia, pelestarian pangan lokal juga wujud penghargaan terhadap alam Lembata dan leluhur lewo tana, kampung halaman dalam budaya Lamaholot.

Editor: Ryan Dagur

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini.

BACA JUGA

BANYAK DIBACA