Kembangkan Pangan Lokal: Warga Flores Timur Meniti Jalan Melepas Ketergantungan pada Beras, Merespons Dampak Perubahan Iklim

Di kampung-kampung di Flores Timur, kelompok perempuan aktif membudidayakan pangan dan benih-benih lokal.

Baca Juga

Floresa.co –  “Musim ini sudah tidak menentu. Air semakin susah. Banyak orang bilang, ini musim lapar,” kata Theresia Nogo Tapun.

Ia segera melanjutkan, “tetapi bagi kami, siapa yang tanam ubi, pisang dan kacang-kacangan, dia tidak akan lapar.”

Warga Watubuku, Desa Wai Ula, Kabupaten Flores Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur [NTT] itu berbicara dengan Floresa, Minggu, 22 Oktober usai mengambil beberapa jenis pangan lokal di kebun yang berjarak 500 meter dari rumahnya.

Theresia merupakan salah satu penggerak pengembangan pangan lokal di Watubuku. Ia aktif memberikan penyuluhan tentang ancaman perubahan iklim yang kian nyata, seperti kekeringan berkepanjangan, juga mengajak sesama warga untuk tidak lagi hanya bergantung pada beras.

Karena itu, selain terlibat dalam aksi merawat alam, perempuan berusia 57 tahun itu,  menginisiasi pengarsipan benih-benih pangan lokal.

Kepada Floresa, ia memperlihatkan beberapa jenis pangan lokal yang ditaruh dalam sebuah bakul di rumahnya. Ia menyebut beberapa nama umbi-umbian seperti ue kajo, ue jawa, ue beleng. Ada juga  kacang-kacangan, seperti ute bue, ute wulung dan ute hura.

“Tanah Flores Timur sebenarnya kaya akan pangan lokal, tetapi semakin kemari, orang enggan tanam dan olah. Bahkan anak-anak jarang sekali makan ubi dan pisang,” katanya.

Theresia Nogo Tapun baru saja mengambil pangan lokal di kebunnya. (Foto: Maria Margaretha Holo/Floresa.co)

Harga Beras Terus Meningkat

Seperti halnya di daerah lainnya di NTT, di Flores Timur beras masih menjadi pangan dominan yang dikonsumsi warga.

Menurut Survei Sosial Ekonomi Nasional 2022 yang dilakukan Badan Pusat Statistik [BPS] masyarakat di NTT mengonsumsi beras 8,68 kilogram per kapita per bulan. Hal ini  menempatkan NTT sebagai provinsi dengan tingkat konsumsi beras paling tinggi di Indonesia.

Data BPS juga menunjukkan produksi beras di NTT pada 2022 sebesar 442.842 ton, sedangkan tingkat konsumsi beras hampir satu juta ton per tahun. 

Dampaknya, NTT bergantung pada beras dari luar wilayah. 

Karena itu, seiring harga beras yang terus naik, ancaman kelaparan menjadi persoalan di depan mata.

Peter Onan, salah satu pedagang di Pasar Boru, Flores Timur mengatakan, bulan lalu harga beras masih pada kisaran Rp12.000 hingga Rp13.000 per kilogram.

Saat ini, katanya, harganya menjadi Rp14.000 hingga Rp16.000 per kilogram.

“Kalau beras seukuran karung 50 kilogram itu kami jual Rp700.000 dari Rp500.000. Sedangkan karung kecil 10 kilogram dijual Rp155.000 dari Rp110.000,” katanya.

Ia mengatakan beras dagangan itu berasal dari luar Pulau Flores. Namun, ia tidak tahu pasti asalnya.

“Mungkin dari Makassar,” katanya kepada Floresa, Senin, 23 Oktober.

“Kami ambil di Pelabuhan Wuring, Maumere. Di Flores Timur, harganya sama,” kata Peter.

Di beberapa kabupaten di Flores, pemerintah melakukan operasi pasar murah guna merespons kenaikan harga beras.

Sebetulnya Tidak Perlu Khawatir

Theresia berkata, sebetulnya warga Flores tidak perlu khawatir dengan situasi saat ini, andai berupaya melepas ketergantungan tinggi pada beras, tidak melupakan pangan lokal.

Ia menjelaskan, sebelum beras mulai masif masuk ke Flores pada 1970-an, warga Flores Timur mengenal beragam pangan lain, seperti ubi, kacang hutan dan sorgum.

Theresia mengenang pengalaman masa kecil, saat ia “jarang sekali makan nasi.”

“Kalau kami lapar, orang tua beri kami ubi dan kacang hutan. Itu makanan pokok kami,” katanya.

Demi mengembangkan pangan lokal itu, dalam beberapa tahun terakhir ia bersama kelompok tani bernama Holo Mori bergerak bersama.

“Holo Mori berarti tanam ubi untuk sambung hidup. Kalau kita harap nasi saja untuk makan, besok lusa kita benar-benar susah,” kata Theresia.

Kelompok ini yang beranggotakan 24 orang menanam ubi kayu yang dijual ke pasar dengan harga yang bervariasi antara Rp10.000 hingga Rp20.000 per kilogram. 

Saat ini, kata Theresia, mereka juga sudah membudidayakan delapan jenis umbi-umbian, sembilan jenis kacang-kacangan dan tujuh jenis jagung.

Ia menjelaskan, mereka juga sudah mengidentifikasi kurang lebih 12 bibit padi lokal.

Semuanya ada di lumbung. Sesekali saya bawa bibit-bibit ini kalau ada kegiatan penyuluhan. Ada semacam edukasi bagi generasi muda sehingga bisa menjaganya, jangan sampai punah,” kata Theresia.

Menjaga Pangan Lokal, Menjaga Alam

Seperti halnya Theresia, upaya serupa juga dilakukan oleh Maria Mone Sore di kampungnya, Hewa, Kecamatan Wulanggitang.

Sejak 2018, perempuan 32 tahun itu gencar melakukan edukasi dan kampanye mengenai perubahan iklim, baik secara langsung maupun lewat foto dan video yang disebarkan melalui media sosial.

Ia mengaku tergerak untuk peduli pada isu lingkungan setelah mengetahui dua dari delapan mata air di desanya mengering.

“Kita perlu merawat alam,” katanya kepada Floresa, Minggu, 22 Oktober.

“Kalau tidak ada air, bagaimana kita bisa hidup dan menanam tanaman. Jadi, harus sejalan. Anak muda harus menjadi motor penggerak bagi masyarakat dalam menjaga lingkungan,” katanya.

Maria Mone Soge (32) aktivis lingkungan hidup yang gencar melakukan edukasi dan kampanye mengenai isu perubahan iklim dan pangan lokal di Hewa, Flores Timur. (Foto: Maria Margaretha Holo/Floresa.co)

Ia mengatakan, gerakannya juga dipicu cerita warga di kampungnya yang selama satu dekade terakhir mengalami penurunan hasil pertanian. Ia menyebut hal itu adalah dampak dari perubahan iklim karena “cuaca panas panas yang berkepanjangan” yang memicu krisis air.

“Dari tahun ke tahun hasil panen semakin turun. Banyak ternak mati karena penyakit,” katanya.

Maria bersama kawan-kawannya melakukan reboisasi secara berkala di daerah-daerah sekitar mata air di desanya. Selain itu, mereka menggarap lahan kosong untuk ditanami aneka pangan lokal, yang diolah menjadi cemilan.

“Kami membuat sereal dan kukis dari sorgum, keripik dari beberapa jenis ubi, pisang, beras dan jagung,” katanya.

Ia menjelaskan, mereka kerap mengedukasi masyarakat agar bisa mempraktikkan sendiri di rumah.

“Saya berharap banyak anak muda yang terlibat dalam gerakan-gerakan kecil seperti ini,” katanya.

Pentingnya Meningkatkan Kesadaran Masyarakat

Keprihatinan terhadap dampak perubahan iklim dan upaya pengembangan pangan lokal turut menjadi perhatian Laurens Useng SVD, Pastor Paroki Kristus Raja Watubuku.

Memperingati Hari Pangan Sedunia tahun ini  dengan tema Water is Life, Water is Food, ia menginisiasi sebuah seminar mengenai ancaman perubahan iklim dan pameran pangan lokal.

Acara digelar di Aula Gereja Kristus Raja, Watubuku, Sabtu-Minggu, 20-21 Oktober.

Berbagai jenis bibit pangan lokal yang diperlihatkan pada sebuah seminar dan pameran memperingati Hari Pangan Sedunia di Aula Gereja Kristus Raja, Watubuku, Sabtu-Minggu, 20-21 Oktober.(Foto: Maria Margaretha Holo/Floresa.co)

Ia mengatakan kepada Floresa, perlu ada gebrakan mengatasi masalah seperti ketersediaan air, sumber pangan dan ketahanan pangan.

“Kita jangan pikir bahwa air yang kita konsumsi sekarang dari mata air itu tetap lestari, kalau kita sendiri tidak jaga hutan di sekitarnya,” kata Laurens.

Ia juga mengatakan, hal yang perlu terus-menerus dikampanyekan adalah melepas ketergantungan pada beras, apalagi beras yang didatangkan dari daerah lain.

“Kita mesti mengubah pola pikir bahwa yang  disebut sudah makan itu ketika sudah makan nasi,” katanya.

Pangan lokal, kata dia, adalah juga sumber karbohidrat dan zat bergizi lainnya, yang sama halnya bahkan lebih bagus jika dibandingkan dengan nasi. Jadi, dengan mengonsumsi pangan lokal, kebutuhan tubuh manusia sudah tercukupi.

“Tugas orang tua dan kita semua membangun pembiasaan dan mengubah pola pikir,” ujarnya.

Maria Mone Soge sedang mengkampanyekan isu perubahan iklim dan pangan lokal pada sebuah seminar memperingati Hari Pangan Sedunia 2023. (Foto: Maria Margaretha Holo/Floresa.co)

Theresia turut menambahkan catatan soal ketergantungan pada beras, termasuk beras bantuan pemerintah.

“Nasi pun harus nasi putih yang dibeli di toko seharga Rp16.000 per kilogram,” katanya.

Soal beras bantuan, kata dia, “kita mesti tahu juga kualitasnya seperti apa, asalnya dari mana.”

“Kita lupa bahwa di sini kita punya banyak bibit padi lokal yang bisa kita tanam.”

Ia mengharapkan ada perhatian dari pemerintah terhadap hal ini. 

Kalau tidak, kata Theresia, “pangan dan benih lokal akan punah dalam beberapa tahun mendatang.”

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kawan-kawan bisa berdonasi dengan cara klik di sini.

Terkini