Floresa.co – Lembaga pemantau dan riset tentang korupsi, Indonesia Corruption Watch [ICW] berkolaborasi dengan musisi lokal di NTT dalam kampanye melawan korupsi.
Berlangsung di Auditorium Universitas Nusa Cendana Kupang pada 14 Desember, kampanye itu dibarengi dengan konser musik dan peluncuran album “Menenun Suara Timur,” yang berisi lagu-lagu terkait tema antikorupsi.
Selain ICW, konser Art Collaboration [Art-Collabs] bertajuk “Frekuensi Perangkap Tikus – Menenun Suara Timur” itu juga diinisiasi oleh United States Agency for International Development [USAID], sebuah lembaga pembangunan internasional Amerika Serikat.
Acara tersebut merupakan salah bagian dari rangkaian kegiatan memperingati Hari Antikorupsi Sedunia [Hakordia] yang berlangsung pada 9-15 Desember, selain roadshow ke komunitas dan media warga untuk memperkenalkan album “Menenun Suara Timur.”
Kegiatan tersebut melibatkan 48 organisasi kemahasiswaan dan komunitas di Kota Kupang, yang juga berperan aktif dalam gerakan antikorupsi.
Selain itu, hadir juga perwakilan kelompok masyarakat adat dari Poco Leok di Kabupaten Manggarai, Maumere di Kabupaten Sikka, Kupang, Nagekeo, serta Forum Guru NTT.
Tamimah Ashilah, staf Divisi Kampanye Publik ICW berkata, tujuan utama konser tersebut adalah “mengkampanyekan peringatan Hari Antikorupsi Internasional sekaligus mendiseminasikan hasil kegiatan kampanye pencegahan korupsi.”
Untuk mendorong keterlibatan berbagai pihak, kata dia, ICW juga menggandeng pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah [UMKM] untuk mempromosikan pangan lokal serta oleh-oleh khas NTT.
“Langkah ini dimaksudkan untuk menguatkan peran pelaku usaha dalam menjalankan usaha secara baik dan berdaya guna,” katanya kepada Floresa pada 14 Desember.
Pantauan Floresa, perwakilan komunitas yang ikut dalam kegiatan tersebut memperkenalkan dan menunjukkan hasil karya dan idenya di stan masing-masing kepada para pengunjung.
Salah satunya adalah stan milik Koalisi Kelompok Orang Muda untuk Perubahan Iklim [Koalisi KOPI].
Yurgen Nubatonis, Koordinator Program Koalisi KOPI di wilayah NTT berkata, pihaknya terlibat dalam kegiatan tersebut karena “isu antikorupsi tidak terlepas dari dan terhubung dengan sumber daya alam.”
Kendati tak memerinci, ia menyebut penambangan timah sebagai salah satu contoh kasus korupsi yang “paling dekat dengan sumber daya alam.”
Ketika hutan dibuka untuk aktivitas penambangan, kata dia, maka akan berdampak pada ekosistem makro di wilayah sekitarnya.
Ia berkata, dalam konteks isu antikorupsi, publik terutama anak muda dapat ikut bersuara mengkampanyekan isu perubahan iklim.
Dalam konser tersebut, Koalisi KOPI memamerkan dan memperlihatkan foto-foto serta film-film dokumenter kampanye isu perubahan iklim di 12 titik yang tersebar di NTT, khususnya di Kota Kupang.
“Ada foto dan film dari teman-teman yang beraktivitas di Kupang dalam melakukan transplantasi terumbu karang. Kemudian, ada yang mengembangkan pangan lokal di Larantuka, Kabupaten Flores Timur,” katanya.
Koalisi KOPI juga menyajikan permainan menyusun puzzle untuk memantik perhatian pengunjung agar berpartisipasi pada kampanye tersebut.
“Gambar-gambar yang terbentuk dari puzzle, menceritakan tentang aktivitas orang muda dalam kampanye isu perubahan iklim, pangan lokal dan perjuangan masyarakat adat melindungi hutan di NTT,” katanya.
Musik sebagai Alat Perlawanan
Tamimah Ashilah berkata, konser tersebut dilaksanakan dengan mengusung kolaborasi dengan seniman, khususnya musisi lokal di NTT untuk membuat lagu-lagu antikorupsi.
“Kami percaya pendidikan dan kampanye anti korupsi bisa dilakukan dengan banyak metode,” termasuk melalui musik dan pembuatan film dokumenter.
Hal itu, kata dia, bertujuan agar “nilai-nilai antikorupsi bisa sampai ke masyarakat dengan mudah.”
Sigit Wijaya, Koordinator Divisi Penggalangan Dukungan Publik ICW berkata, pada 2022 pihaknya sukses menggunakan media komik dalam kegiatan Art Collaboration untuk “mengkampanyekan nilai-nilai integritas kepada anak muda.”
Dengan menggandeng seniman melalui kolaborasi musik pada tahun ini, “kami ingin melanjutkan keberhasilan itu.”
“Musik sebagai sarana strategis untuk menyebarluaskan pesan antikorupsi,” katanya.
Sigit berkata, ICW mengundang tiga kelompok musik lokal di antaranya Marapu dari Sumba, Leisplang dari Maumere, dan Hip Hop Lembata Foundation [HLF] dari Lembata untuk terlibat dalam proyek tersebut.
Para musisi, kata dia, telah menjalani proses residensi yang meliputi lokakarya, observasi, dan kolaborasi dengan komunitas warga di empat lokasi berbeda yakni Poco Leok, Nagekeo, Maumere, dan Kupang.
Proses tersebut menghasilkan sebuah album bertajuk “Menenun Suara Timur” yang diluncurkan bertepatan dengan Hakordia.
Dalam konser tersebut, tiga kelompok musisi lokal itu berkesempatan membawakan lagu-lagu karya mereka.
Marapu, band yang bergenre reggae membawakan lagu berjudul “Tanah” yang juga masuk dalam album “Menenun Suara Timur.”
Vokalis Marapu, Feryanto Pekabanda berkata, lagu itu terinspirasi dari perjuangan masyarakat adat Poco Leok dalam “mempertahankan kampung mereka yang akan tergusur proyek geotermal.”
Saat hendak membawakan lagu tersebut di atas panggung, ia mengaku telah turun langsung ke Poco Leok “untuk melihat keresahan masyarakat adat terkait proyek geotermal.”
“Musik bagi saya adalah alat perlawanan dan saya sering menggunakannya untuk menyampaikan pesan yang bertujuan membangun kesadaran masyarakat.”
Ia mengaku berusaha menyesuaikan karyanya dengan realitas sosial.
Menyuarakan Harapan dari Timur Indonesia
Sigit Wijaya berkata, album “Menenun Suara Timur” tidak hanya menampilkan karya musik, tetapi juga mencerminkan semangat perlawanan warga NTT terhadap korupsi dan perjuangan mereka melestarikan lingkungan hidup.
Album tersebut, kata dia, adalah cara untuk menjaga semangat dan optimisme masyarakat dalam menghadapi kejahatan korupsi, khususnya di Indonesia Timur.
Memilih NTT sebagai lokasi acara karena “kami merasa daerah ini mempunyai budaya musik yang cukup kuat sehingga kolaborasi bersama seniman di sini sangat cocok.”
Rangkaian kegiatan Hakordia pada tahun ini dirancang untuk menyebarluaskan hasil program integritas ICW, termasuk analisis korupsi terhadap pengadaan barang dan jasa.
“Acara ini bertujuan memperluas pemahaman masyarakat terhadap isu-isu antikorupsi serta merayakan kontribusi kolaborasi antara musisi lokal dan komunitas warga di NTT,” katanya.
Sigit berkata, partisipasi generasi muda adalah elemen fundamental dalam keberhasilan kampanye antikorupsi.
Dengan pendekatan yang kreatif dan relevan, seperti musik, “kami berharap dapat menginspirasi kembali optimisme dan keterlibatan anak muda dalam gerakan ini.”
“Ini bukan sekadar perlawanan terhadap korupsi, tetapi juga perjuangan untuk menjaga harapan,” katanya.
Ia berkata, peringatan Hakordia dan peluncuran album lagu menjadi momentum penting untuk menunjukkan bahwa meskipun tantangan besar mengadang, semangat melawan korupsi di Indonesia terus menyala, terutama melalui kreativitas dan partisipasi aktif masyarakat.
Korupsi Kebijakan
Agustinus Tuju, salah satu warga adat Poco Leok yang ikut dalam kegiatan tersebut menyatakan keprihatinannya atas melemahnya dukungan masyarakat terhadap gerakan antikorupsi di Indonesia.
Fenomena tersebut, kata dia, tidak hanya disebabkan oleh tekanan sistemik seperti kriminalisasi dan ancaman terhadap aktivis antikorupsi, tetapi juga oleh pesimisme masyarakat terhadap efektivitas pemberantasan korupsi, terutama terkait korupsi kebijakan.
“Korupsi bisa terjadi di mana-mana, tetapi korupsi yang paling besar adalah korupsi kebijakan,” katanya.
Agustinus berkata korupsi kebijakan terjadi ketika “masyarakat adat tidak pernah dilibatkan dalam perumusan sebuah kebijakan.”
Hal itu membuat kepercayaan masyarakat adat terhadap pemerintah menurun lantaran “suara mereka tidak pernah didengar.”
Karena itu, ia meminta agar ICW serta lembaga-lembaga advokasi lainnya untuk “sama-sama berjuang agar RUU Masyarakat Adat segera disahkan.”
“Sepanjang RUU tersebut belum disahkan, maka masyarakat adat akan diinjak-injak, bahkan diusir pulang, dan tidak tahu lagi akan tinggal di mana,” katanya.
Agustinus merupakan salah satu warga Poco Leok yang menjadi korban kekerasan aparat pada 2 Oktober, saat melakukan protes terhadap proyek geotermal. Kasus tersebut sedang ditangani Polda NTT, baik terkait laporan etik maupun pidana.
Para koruptor dan pengusaha besar, kata dia, tidak pernah memperhatikan keseimbangan alam yang telah dijaga oleh masyarakat adat.
“Mereka hanya memikirkan bagaimana investasi bisa berkembang” dengan terlebih dahulu “menguasai tanah, kemudian adat dan budaya serta yang terakhir adalah manusia.”
“Kami tidak mau dikuasai oleh siapapun, baik tanah maupun hukum-hukum adat kami,” katanya.
Editor: Herry Kabut