Floresa.co – Sebuah kelompok pemuda di Provinsi Nusa Tenggara Timur [NTT] menggelar jambore untuk mengajak sesama mereka peduli pada perubahan iklim.
“Jambore Gotong Royong untuk Flobamoratas [GRUF]” yang diselenggarakan oleh Koalisi Orang Muda Atas Perubahan Iklim [KOPI] itu bertujuan membangun jaringan antarkomunitas agar semakin banyak orang yang peduli dan bergerak melakukan aksi iklim secara masif di NTT, kata mereka dalam dalam sebuah pernyataan yang diterima Floresa.
Berlangsung di Pantai Londa Lima, Kabupaten Sumba Timur, Jambore GRUF digelar pada 2-5 Mei dan dihadiri 152 orang muda dari 12 daerah di NTT. Peserta selama ini bergerak di berbagai isu, seperti lingkungan, seni budaya, pendidikan, anak, kesehatan, dan gender.
Gilbert Sandy, ketua pelaksana mengatakan “kami mengemas kegiatan ini dengan sentuhan seni.”
Karena itu, kata dia, “kami mengundang 20 seniman muda yang telah diberi pelatihan sejak April untuk bersama-sama membuat karya melalui kampanye bertajuk Seni Untuk Bumi.”
Ia berkata para seniman itu merupakan hasil seleksi dari 60 seniman muda di seluruh NTT melalui rekrutmen terbuka.
Para seniman terpilih telah diberikan pelatihan dasar dan dipertemukan dengan beberapa pakar seperti Akiq AW, Anggota ruang MES 56, Ismail Muntaha, Direktur Jatiwangi Art Factory, Intan Anggita Pratiwie, Co-Founder Setali Indonesia, Frengki Lollo, Direktur Skolmus, dan Manuel Alberto Maia, filmmaker KFK.
“Setelah itu, 20 orang seniman tersebut diberikan waktu pengkaryaan selama tiga minggu untuk kemudian dipamerkan di Jambore GRUF 2024,” katanya.
“Seni adalah bahasa ekspresi manusia yang universal. Melalui seni, kita dapat menyuarakan pesan positif seperti perlindungan hutan dan aksi iklim,” tambahnya.
Gilbert berkata kegiatan dikemas dengan konsep green camp [kemah ramah lingkungan], menghadirkan kelas penguatan kapasitas bertema “Climate Justice”, sharing bersama dengan 20 seniman terpilih dalam bentuk Artivism Session, sharing peserta dalam bentuk Human LIVErary Session, berbagi pangan lokal, pasar barter, diskusi dan nonton film iklim, serta pembuatan rancangan aksi iklim bersama 12 Komite Eksekutif Daerah Koalisi KOPI.
Pada hari terakhir, kata dia, diadakan festival yang dibuka untuk umum, sehingga masyarakat sekitar bisa berpartisipasi dan turut menikmati suguhan pameran artivism “Seni Untuk Bumi.”
“Tidak hanya itu, ada penampilan aksi panggung dari setiap daerah, baik melalui teater, tari-tarian, musikalisasi puisi sampai dengan bazar produk komunitas,” katanya.
Gilbert berkata, dalam kampanye aksi iklim juga disisipkan isu ketahanan pangan.
Ketahanan pangan, kata dia, bukan hanya tentang memastikan pangan tersedia dalam jumlah yang cukup, tetapi juga tentang keadilan sosial, kesehatan, keberlanjutan lingkungan, dan hak asasi manusia.
“NTT memiliki potensi wisata dan alam yang indah, namun lahan pertanian yang terbatas dan ketersediaan air seringkali menjadi kendala ketahanan pangan yang signifikan,” katanya.
Ia berkata, ketergantungan pada hasil pertanian tradisional seperti jagung, padi, sorgum dan kedelai seringkali menjadi risiko bagi ketahanan pangan, sementara perubahan iklim yang terjadi seperti kekeringan berkepanjangan dan perubahan pola hujan semakin menekan produksi pangan lokal.
Ia berkata tanah yang kurang subur dan kurangnya akses terhadap teknologi pertanian yang modern memperumit upaya meningkatkan produktivitas pertanian di berbagai wilayah.
Oleh karena itu, kata dia, Jambore GRUF mengajak lapisan masyarakat terlibat secara sosial dengan urun dana di platform kitabisa.com/jagasumberpangan.
“Semoga dengan adanya kegiatan ini dan partisipasi aktif masyarakat, kita dapat memitigasi perubahan iklim dan menjamin kebutuhan pangan tersedia, dan kampanye yang disuguhkan melalui karya dapat meningkatkan rasa cinta masyarakat pada pelestarian alam,” katanya.
Dicky Lopulalan, Direktur KOPI berharap melalui kegiatan ini kesadaran para peserta tentang perubahan iklim dan lingkungan ekosistem semakin meningkat dan dapat menjadi bekal bagi mereka dalam melakukan kampanye dan aksi iklim.
Dengan demikian, kata dia, semakin banyak anak muda menyuarakan krisis iklim seperti yang terjadi sekarang.
“Kami juga berharap, GRUF kali ini dapat melahirkan kesepakatan cara bekerja jaringan organisasi/komunitas kaum muda di seluruh NTT yang akan dijalankan para peserta pasca kegiatan ini,” katanya
KOPI diinisiasi Perkumpulan Hutan Itu Indonesia dan Perkumpulan Terasmitra yang didukung Yayasan Humanis dan Inovasi Sosial [Hivos] dalam program ‘Suara untuk Perubahan Iklim.’
Fokus programnya adalah menumbuhkan rasa cinta anak muda di NTT untuk dengan mempopulerkan isu perlindungan hutan melalui berbagai kampanye dengan cara baru “yang tidak biasa,” seperti pendekatan yang membawa pesan positif, kreatif dan menyenangkan hingga mengikuti tren sambil memperkuat narasi perlindungan hutan dengan aksi nyata sebagai aksi iklim; dan menjaring pelibatan lebih banyak mitra untuk berkolaborasi dalam mencapai tujuan kampanye.
KOPI menyatakan kepedulian terhadap perubahan iklim menjadi mendesak, dengan mengutip laporan The Global Carbon Project yang menyebut Indonesia berada dalam daftar 10 besar sebagai negara penghasil emisi karbon di dunia.
Krisis iklim, kata KOPI, telah memberi dampak yang besar bagi manusia dan lingkungan mulai dari pangan, tanah, air, energi, pendidikan, ekonomi, budaya, dan gender.
Koalisi juga mengutip laporan Badan Nasional Penanggulangan Bencana pada 2019 yang menyebutkan 7 dari 10 bencana merupakan akibat krisis iklim yang juga disebut sebagai bencana hidrometeorologi.
KOPI mengatakan krisis iklim juga menyebabkan terjadinya cuaca ekstrem badai siklon tropis Seroja di sejumlah daerah di NTT pada 2021 yang memicu terjadinya bencana banjir bandang, gelombang pasang, dan longsor.
Editor: Ryan Dagur