Floresa.co – Hanya beberapa bulan usai Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka menduduki kursi presiden dan wakil presiden, gelombang protes dari berbagai elemen masyarakat muncul di sejumlah daerah.
Di samping mengecam kebijakan pemotongan anggaran sejumlah kementerian dan lembaga yang berdampak pada sektor pelayanan publik, sementara di sisi lain ada penambahan sejumlah jabatan baru yang diisi mantan tim sukses dan anggota partai pendukung, salah satu sasaran kritikan adalah karena khawatir Indonesia bakal kembali ke era Orde Baru.
Hal ini dipicu oleh munculnya usulan untuk merevisi UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia [TNI] yang membuka ruang lebih luas bagi keterlibatan militer pada ranah sipil, hal yang sebetulnya telah menjadi agenda perlawanan saat reformasi lebih dari dua dekade silam.
Di samping itu, menurut catatan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan [KontraS], ada kebijakan lain era Prabowo yang mengarah pada kecenderungan militeristik.
Beberapa di antaranya adalah banyaknya simbol-simbol dan seremoni ala militer; wacana pembentukan 100 batalion infanteri teritorial pembangunan; dan wacana penambahan kantor komando daerah militer di sejumlah provinsi.
Dalam aksi unjuk rasa yang digelar di Jakarta dan sejumlah kota lain pada pekan ini, berbagai elemen masyarakat mengkhawatirkan bahaya sejumlah kebijakan ini bagi demokrasi.
Jika tidak dicegah, Indonesia dikhawatirkan bakal kembali ke era Orde Baru yang selama 32 tahun di bawah kekuasaan pemimpin otoriter Soeharto, mertua Prabowo, sebelum runtuh saat aksi protes menuntut reformasi pada 1998.
Usulan Pasal Bermasalah dalam Revisi UU TNI
Dalam pernyataan pada 20 Februari, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan yang mencakup belasan organisasi advokasi secara khusus menyoroti tendensi militeristik itu dalam usulan revisi UU TNI karena beberapa usulan pasal perubahannya mengembalikan peran dan fungsi sosial dan politik institusi itu.
“Perubahan tersebut dapat memperluas penempatan TNI di kementerian dan lembaga, serta perpanjangan masa pensiun prajurit,” kata koalisi, yang anggotanya mencakup Imparsial, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, KontraS, Amnesty International Indonesia dan Aliansi Jurnalis Independen Jakarta.
Koalisi misalnya menyoroti usulan perubahan Pasal 47 Ayat 2 yang memperluas keterlibatan TNI pada “kementerian/lembaga lain yang membutuhkan tenaga dan keahlian prajurit aktif sesuai dengan kebijakan presiden.”
Hal ini “membuka peluang yang cukup luas serta dapat memberikan ruang kepada prajurit TNI aktif untuk ditempatkan pada kementerian dan lembaga di luar dari 10 kementerian dan lembaga yang telah ditetapkan dalam UU TNI.”
Koalisi mencatat, setidaknya terdapat 2.569 prajurit TNI aktif yang menduduki jabatan sipil pada 2023. Dari jumlah itu, 29 diantaranya merupakan perwira aktif yang menduduki jabatan sipil di luar lembaga yang ditetapkan oleh UU TNI.
Karena itu, kata koalisi, perubahan pasal ini “sebenarnya tak lain merupakan upaya Prabowo melegitimasi penempatan TNI aktif yang sudah dilakukannya secara tidak sah dan bertentangan dengan UU TNI sejak awal pemerintahannya berlangsung.”
Mereka mencontohkan penempatan Mayor Teddy Indra Wijaya sebagai Sekretaris Kabinet [Seskab] dan Mayjen TNI Novi Helmy sebagai Direktur Utama Perum Bulog, BUMN yang menangani logistik pangan. Teddy adalah asisten Prabowo saat ia menjadi Menteri Pertahanan.
“Parahnya, ketimbang melakukan evaluasi dengan mengacu kepada UU TNI, dalam konteks penempatan pada posisi Seskab, pemerintah justru melakukan akrobatik hukum dengan mengubah regulasi terkait struktur Seskab,” kata koalisi.
Dalam Perpres No. 55 Tahun 2020, Seskab berada di bawah dan bertanggung jawab kepada presiden. Namun, struktur ini diubah melalui Perpres No. 148 Tahun 2024 tentang Kementerian Sekretariat Negara, yang dalam Pasal 48 ayat 1 menempatkannya sebagai bagian dari Sekretariat Militer Presiden.
Perubahan itu “berimplikasi terhadap legitimasi penempatan prajurit TNI pada jabatan Seskab.” Padahal, “penempatan prajurit TNI aktif dalam jabatan sipil mengabaikan spesialisasi, kompetensi, pengalaman, serta masa pengabdian ASN di instansi terkait.”
Koordinator KontraS Dimas Bagus Arya dalam pernyataan terpisah menegaskan, “kecenderungan untuk menabrak aturan hukum terkait dengan penunjukan perwira aktif untuk mengisi jabatan sipil membuktikan bahwa pemerintahan hari ini mengedepankan corak militeristik untuk menjalankan tata kelola pemerintahan yang tentu tidak kompatibel dengan nilai demokrasi.”
Di sisi lain, menurut koalisi, perubahan ini juga dapat menjadi legitimasi kebijakan keliru dalam pelibatan dan mobilisasi TNI untuk menjalankan program-program sipil dan domestik pemerintahan Prabowo-Gibran.
Beberapa di antaranya adalah program Makan Bergizi Gratis, distribusi elpiji, ketahanan pangan, penjagaan kebun sawit, Proyek Strategis Nasional, penertiban dan penjagaan kawasan hutan hingga pengelolaan ibadah haji.
“Kebijakan tersebut dapat membuat TNI berhadapan secara langsung dengan masyarakat lokal dan adat serta berisiko menimbulkan pelanggaran HAM.”
Hal ini, kata mereka, mengulang pola pada Orde Baru di mana militer dilihat sebagai solusi atas semua problematika pembangunan dan pelibatan mereka diklaim menjadi “manifestasi akselerasi pembangunan.”
“Paradigma ini memperlihatkan pejabat pemerintahan masih menempatkan kondisi Orde Baru sebagai patokan dalam pembangunan melalui dwifungsi ABRI ketika itu. Padahal berbagai perkembangan konsep pemerintahan, seperti good governance hingga collaborative governance dapat menjadi konsep menuju pembangunan yang demokratis.”
Dimas Bagus Arya dari KontraS secara khusus menyoroti pelibatan militer dalam proyek berkaitan dengan pangan.
Hal ini, kata dia, dapat menciptakan ketimpangan kekuasaan yang berpotensi mengancam hak-hak warga sipil dan memunculkan sejumlah pelanggaran HAM dan kekerasan oleh negara terhadap warga.
“Sebagai institusi yang memiliki mandat utama di bidang pertahanan dan keamanan, militer tidak dirancang secara khusus untuk melakukan pengelolaan agraria dan pembangunan ekonomi berbasis komunitas. Hal ini berisiko menimbulkan konflik kepentingan serta memperburuk tata kelola proyek tersebut,” katanya.
Di sisi lain, koalisi menyatakan penempatan TNI di luar fungsinya akan memperlemah profesionalisme yang seharusnya “dibangun dengan cara meletakkan TNI dalam fungsi aslinya sebagai alat pertahanan negara, tidak dalam fungsi dan jabatan sipil lain yang bukan merupakan kompetensinya.”
Masalah akuntabilitas dan transparansi juga menjadi soal lain karena sampai saat ini “tidak ada satu cabang kekuasaan atau lembaga apapun yang dapat mengawasi TNI secara efektif, sekalipun itu DPR RI.”
“Terlebih jika terjadi pelanggaran hukum yang dilakukan oleh TNI selama melaksanakan tugas pada jabatan sipil, urusan sipil serta domestik.”
Kebijakan seperti ini, kata koalisi, juga bisa membuat hubungan sipil dengan militer menjadi tegang karena merusak pola organisasi, jenjang karir atau kebijakan dan manajemen ASN.
Pemicunya adalah “ceruk prajurit TNI untuk mengambil alih semua jabatan sipil yang tersedia semakin luas.”
Koalisi juga menyoroti usulan perubahan Pasal 53 Ayat 2 yang menambah usia pensiun prajurit TNI dari 58 tahun menjadi 60 tahun untuk perwira, serta dari 53 tahun menjadi 58 tahun untuk bintara dan tamtama.
Tamtama merupakan jenjang kepangkatan terendah TNI, secara berturut-turut disusul bintara dan perwira.
“Usulan tersebut akan memicu inefisiensi pada tubuh TNI, dapat menambah beban anggaran di sektor pertahanan, menghambat regenerasi, serta membuat macet jenjang karier dan kepangkatan.”
Kondisi tersebut akan melanggengkan masalah klasik penumpukan perwira TNI non-job.
“Alih-alih melakukan kebijakan percepatan pensiun terhadap perwira TNI non-job, perubahan usia pensiun ini juga akan berpotensi mengkaryakan mereka di luar instansi militer,” kata koalisi.
Upaya politisasi militer juga menjadi sasaran kritikan, yang tertuang dalam usulan revisi Pasal 53 Ayat 3. Pasal ini memungkinkan perpanjangan masa jabatan bagi perwira tinggi bintang empat berdasarkan keputusan presiden.
Hal ini “akan membuat perwira tinggi bintang empat tersebut rentan digunakan dalam agenda politik kekuasaan.”
“Mengingat Prabowo memiliki latar belakang militer, langkah ini semakin memperkuat dugaan bahwa revisi UU TNI didorong oleh kepentingan elite tertentu, bukan demi profesionalisme TNI,” kata koalisi.
Bertentangan dengan Cita-Cita Reformasi
Koalisi berpendapat jika revisi ini tetap dijalankan, Indonesia akan menghadapi ancaman kembalinya dwifungsi ABRI dalam politik dan pemerintahan Orde Baru yang bertentangan dengan cita-cita reformasi.
Usulan revisi ini menunjukkan “cara pandang Prabowo terhadap sektor pertahanan yang masih sangat konservatif, tradisional dan non-reformis.”
Karena itu, mereka mendesak pemerintah menghentikan pembahasan revisi UU TNI.
Seharusnya, DPR dan pemerintah fokus “mendorong agenda reformasi TNI yang mengalami regresi, membentuk UU Tugas Perbantuan, reformasi sistem peradilan militer dan restrukturisasi komando teritorial.”
Selain itu, mereka juga mendesak perlunya evaluasi dan koreksi secara menyeluruh terhadap penyimpangan tugas pokok TNI, serta membangun sistem pengawasan internal dan eksternal terhadap TNI yang efektif, akuntabel dan transparan.
Sementara menurut KontraS, era Prabowo yang “sangat mengesankan pemusatan corak militer pada tata kelola negara dan pemerintahan merupakan wujud dari pengkhianatan pada amanat reformasi yang tertuang pada TAP MPR VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri.”
Bagian pertimbangan TAP MPR itu “telah menegaskan bahwa peran sosial politik melalui dwifungsi ABRI menyebabkan terjadinya penyimpangan tugas pokok.”
Hal ini membuat “tidak berkembanganya sendi-sendi demokrasi dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat.”
Karena itu, “kegagalan pemerintahan Orde Baru yang memusatkan kekuasaan di sekitar kekuatan militer, seharusnya menjadi sebuah pelajaran yang bisa mencegah pengulangan.”
Apabila tidak diawasi, dievaluasi dan ditinjau ulang, kata KontraS, “Prabowo bertanggung jawab dalam kapasitasnya sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan terhadap regresi reformasi sektor keamanan dan pertahanan, pelanggaran HAM dan krisis demokrasi berkelanjutan.”
Editor: Anno Susabun