Floresa.co – R, yang berusia empat tahun, tak kuasa menahan tangis ketika pada 24 Maret tiga pegawai Kejaksaan Negeri Maumere, Kabupaten Sikka, NTT mengendarai mobil tahanan untuk menjemput Maria Magdalena Leny, ibunya.
Hari itu, Leny, 44 tahun, dibawa ke Rumah Tahanan Negara [Rutan] Kelas II B Maumere usai sepekan sebelumnya divonis penjara.
Leny sedang menggendong R saat mobil kejaksaan masuk pekarangan rumah Antonius Yohanes ‘John’ Bala, salah satu kuasa hukum warga dari Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara [PPMAN].
Lenny bersama tujuh warga adat lainnya dari Suku Soge Natarmage dan Suku Goban Runut-Tana Ai divonis penjara 10 bulan oleh Pengadilan Negeri Maumere pada 17 Maret.
Selain Leny, perempuan lainnya yang juga dibui adalah Magdalena Marta, 50 tahun.
Mereka dipenjara karena dilaporkan oleh Romo Robertus Yan Faroka terkait tuduhan perusakan plang korporasi milik Keuskupan Maumere, PT Krisrama di Desa Nangahale, Kecamatan Talibura pada 29 Juli 2024.
Sementara korporasi itu mengklaim memiliki status legal atas lahan Hak Guna Usaha [HGU] di Nangahale, warga adat menyatakan itu sebagai tanah leluhur mereka, yang pada era penjajahan dirampas oleh perusahaan Belanda, lalu dijual kepada Gereja Katolik.
Pada 24 Maret pagi, Leny sempat mendatangi Kantor Kejaksaan Negeri Maumere untuk melaporkan diri. Ia berstatus wajib lapor sebagai tahanan kota sejak penetapan tersangka oleh Polres Sikka pada 25 Oktober 2024.
Semula ia memang ditahan bersama tujuh rekannya, namun karena R masih berusia tiga tahun dan terus-menerus menangis, ia diberi keringanan sebagai tahanan kota dan tinggal di rumah John Bala.
Pelaporan dirinya pada pagi itu direspons pihak kejaksaan dengan menyatakan statusnya sebagai tahanan kota telah berakhir.
Kejaksaan juga beralasan R sudah berusia lebih dari tiga tahun.
Simon Welan, aktivis Aliansi Masyarakat Adat Nusantara [AMAN] Nusa Bunga yang bersama Leny saat melapor diri berkata kepada Floresa, kejaksaan sempat memintanya menjaga R.
Namun, ia menolak karena “saya ini bukan keluarga, saya tidak bisa putuskan.”
“Kami kemudian sepakat untuk berdialog di rumah penasehat hukum,” kata Simon, merujuk rumah John Bala.
Hasil dialog pada sore itu tidak mengubah keputusan kejaksaan, Leny harus berada di balik jeruji besi.
R menangis memeluk ibunya, begitu sebaliknya.
Sekitar pukul 17.15 Wita, ia dibawa ke rutan.
“Kami harus memikirkan berbagai cara untuk menenangkan R,” kata Avelina, warga Soge Natarmage yang ditemui Floresa di rumah John Bala.
Aveline menceritakan, R harus dihibur dengan memberinya tontonan melalui ponsel dan mengajak berkeliling kota dengan sepeda motor agar bisa tenang serta kesedihannya teralihkan.
“Dia masih terus menangis, kami juga kebingungan. Dia terus cari mamanya,” ungkap Avelina.
Rombongan keluarga Leny yang tiba pukul 19.30 Wita di rumah John kemudian ikut menenangkan R.
Beberapa perempuan bergantian menenangkannya, membelikan mainan dan mengajaknya bermain bola.
Namun kerabat itupun tampak kesusahan membujuk R untuk pulang ke rumah mereka.
Berkali-kali ia menolak tawaran pulang dan mengatakan akan menunggu ibunya kembali ke tempat itu.
Ia juga menangis sambil memanggil-manggil ibunya, hal yang membuat kerabatnya cemas.
“R ini kesehatannya terganggu. Jangankan menangis, kalau dia tertawa berlebihan saja, bisa kejang-kejang,” cerita salah satu keluarga yang ikut menjemputnya.
Keluarga Leny baru berhasil membawa R pulang pada pukul 21.00 Wita, namun ia masih menangis, dan terus mengatakan menunggu mamanya kembali.
Sebelum dilaporkan ke polisi, Leny tinggal bersama tiga anaknya. Selain R, dua lainnya berusia 8 dan 14 tahun. Suaminya merantau ke Kalimantan.
Dalam salah satu wawancara dengan Floresa, ia berkata, sejak menghadapi proses hukum, hanya R yang sering bersamanya. Ia jarang bertemu dengan kedua anaknya yang lain yang untuk sementara tinggal dengan paman mereka.
“Saya tidak ingin mereka terbebani dengan situasi yang saya hadapi saat ini,” katanya.
Suaminya sempat berkunjung saat Natal tahun lalu, namun kembali lagi ke Kalimantan untuk mencari nafkah.
Beban Ganda Untuk Keluarga
Seperti Leny, Magdalena Martha juga juga mengalami hal yang sama.
Anak-anaknya harus terhambat sekolahnya karena masalah tempat tinggal dan pengasuhan.
Sejak ditahan pada 25 Oktober 2024, Martha, yang memiliki gangguan pendengaran, kesulitan bertemu anak-anak dan kerabatnya.
Salah satu warga yang tinggal dekat rumah Martha menceritakan kepada Floresa bahwa sejak ditinggalkan ibu mereka, tiga anak Martha – Okto, Nesta dan Katarina- hidup terpisah dan berpindah-pindah.
Okto, anak sulung, sudah tidak melanjutkan sekolahnya dan sudah hidup berkeluarga. Sementara Nesta dan Katarina terpaksa putus sekolah.
Selain tak bisa bertemu anak-anaknya, Martha juga terpisah jauh dari ibunya yang sakit-sakitan.
Ia bahkan tak sempat melayat saat ibunya meninggal pada 12 Maret, hari yang sama dengan persidangan pembacaan pledoi di pengadilan.
Usai sidang, ia menangis histeris menerima kabar tersebut. Tim kuasa hukum berusaha berkonsultasi dengan kejaksaan untuk memberikan kesempatan bagi Martha melayat ibunya.
Kejaksaan menyetujuinya dengan syarat waktu yang diberikan hanya satu jam, dihitung sejak tiba di rumah duka.
Sementara biaya operasional untuk kendaraan kejaksaan, termasuk biaya perjalanan tim kepolisian dan jaksa yang mengawasi, ditanggung sendiri oleh keluarga Martha.
Ia keberatan dengan biaya tersebut.
Sejak hari itu sampai putusan majelis hakim dibacakan pada 17 Maret, Martha belum memiliki kesempatan untuk mengunjungi makam ibunya.

Ada Aksi, Ada Reaksi
Kedelapan warga semula dijerat Pasal 170 ayat [1] dan Pasal 406 ayat [1] juncto Pasal 55 ayat [1] KUHP yang mengatur soal perusakan barang milik orang lain secara bersama-sama. Pasal pertama mengatur ancaman hukuman maksimal 5 tahun 6 bulan penjara, sementara pasal kedua pidana maksimal 2 tahun 8 bulan dan denda Rp4,5 juta.
Namun, JPU menuntut hukuman yang lebih ringan tujuh bulan penjara, kendati vonisnya kemudian lebih tinggi menjadi 10 bulan.
John Bala berkata, kasus ini harus dilihat secara objektif bahwa tindakan warga merupakan respons untuk melindungi hak dan milik mereka.
Penjelasannya merujuk pada peristiwa sebelum perusakan plang pada 29 Juli 2024.
Pada hari yang sama, katanya, juga terjadi pengrusakan tanaman warga oleh PT Krisrama.
Dalam catatan John, pengrusakan tanaman juga beberapa kali dilakukan korporasi itu, termasuk pada 18 Desember 2023. Mereka sempat melaporkannya ke polisi, namun dihentikan karena dianggap tidak memenuhi unsur pidana.
Sementara pengrusakan tanaman pada 29 Juli 2024 juga sudah dilaporkan sejak Agustus 2024, namun tidak diproses.
Dalam persidangan kedelapan warga pada 27 Februari, Widodo Dwi Putro, saksi ahli hukum agraria menyebut bahwa tindakan pengrusakan tanaman warga oleh korporasi tidak bisa hanya mengandalkan SK Hak Guna Usaha.
Asas kepemilikan dalam sistem hukum perdata Indonesia menganut prinsip pemisahan horizontal, katanya, yang artinya, kepemilikan tanah tidak serta merta juga memiliki benda yang berada di atasnya.
Prinsip pemisahan horizontal ini, kata dia, juga diakui dalam Undang-Undang Pokok Agraria Tahun 1960, yang mengatur bahwa hak atas tanah dan hak atas bangunan di atasnya bisa dimiliki oleh pihak yang berbeda.
Jadi, kata dia, kalau ada sengketa, tidak boleh ada perusakan properti di atasnya, seperti yang dilakukan oleh PT Krisrama terhadap tanaman warga.
Penggusuran terhadap benda karena konflik kepemilikan, kata Widodo, harus terlebih dahulu diselesaikan perkaranya di persidangan.
“Termasuk perbuatan pidana apabila menghancurkan rumah, walaupun pihak pemilik adalah pemegang sertifikat. Mengapa? Karena Indonesia menganut asas pemisahan horizontal,” katanya.
Lapor Belasan Warga Lainnya dan Aktivis
Sementara Leny, Marta dan rekan mereka kini mendekam di penjara, PT Krisrama kembali melapor lagi belasan warga lain ke Polda NTT di Kupang.
Mereka juga melapor John Bala, penasehat hukum warga.
Laporan itu diajukan oleh Romo Ephivanius Markus Nale Rimo atau Romo Epy Rimo dan Romo Aloysius Ndate.
Epy berstatus sebagai direktur sekaligus kuasa hukum PT Krisrama, sementara Aloysius merupakan pastor yang bertugas di Nangahale saat kejadian yang disebutnya sebagai ‘pengancaman’ oleh warga terjadi pada Desember 2023.
Dalam surat tanda terima laporan yang diperoleh Floresa, Aloysius melaporkan Anastasya, Anton Toni, Bartol, Darius Dare, Don, Hendrikus Hemu, Ignasius Nasi, Ignasius Soge, Kasianus Adeo Datus, Liwu, Manto, Riki Fernandez, Servasius Didimus Endi, Thomas Tapang dan Yakobus Juang.
“Kejadian berawal ketika terlapor, cs datang ke kediaman korban di pastoran Nangahale, Kecamatan Talibura, Kabupaten Sikka dan berteriak-teriak tidak terima karena adanya penebangan pohon mete di kebun [di] Pedang,” menurut surat itu.
Aloysius juga melaporkan bahwa Anastasya dan 14 warga itu tidak menerima penjelasannya terkait tujuan penebangan pohon mete untuk penanaman kelapa “karena sudah mempunyai sertifikat HGU PT Krisrama.”
Warga juga “langsung mengeluarkan kata-kata helang [bahasa setempat untuk setan], setan dan suanggi kepada korban disertai dengan mengancam akan membunuh korban dan mengusir korban keluar dari pastoran.”
Sementara laporan Epy terkait tindak pidana penyerobotan, dengan terlapor Antonius Toni, Ignasius Nasi, Jhon Bala dan Leonardus Leo.
Pada 9 Agustus 2014, kata Epy, para terlapor “mendirikan tujuh pondok di dalam lokasi tanah milik PT Krisrama dengan nomor sertifikat HGU Nomor:04 tanggal 28 Agustus 2023.”
Ia juga menyatakan bahwa PT Krisrama sudah melakukan somasi terhadap para terlapor.
“Namun sampai dengan saat ini tidak pernah mengindahkan somasi tersebut” dan “malah membangun pondok-pondok baru dan menebang tanaman kelapa milik PT Krisrama.”
Dalam siaran pers yang dikeluarkan Tim Kuasa Hukum PT Krisrama pada 20 Maret, laporan Epy juga disebut terkait “tindak pidana penyebaran berita bohong yang menimbulkan perpecahan di antara warga masyarakat.” Hal itu dianggap melanggar UU tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Pasal 28 jo Pasal 45a.
Mereka menyebut John Bala melakukan “cara-cara anarkis” dengan menghasut warga melakukan penyerobotan dan “mendirikan gubuk liar” di atas lahan HGU PT Krisrama.
Merespons langkah terbaru itu, dalam pernyataan bersama, Konsorsium Pembaruan Agraria dan AMAN menyatakan pelaporan adalah upaya kriminalisasi petani dan pembela masyarakat adat “demi memuluskan perampasan tanah adat yang diklaim oleh Keuskupan Maumere melalui PT Kristus Raja Maumere.”
“Jika Kapolda NTT benar-benar memahami hukum, harusnya dia tidak memproses laporan dan mengedepankan upaya-upaya persuasif untuk menyelesaikan masalah tersebut,” kata kata Rukka Sombolinggi, Sekretaris Jenderal AMAN.
Konflik Berkepanjangan
Konflik antara warga adat dengan PT Krisrama terkait lahan 868.730 hektare lahan yang diambil dari warga adat selama penjajahan Belanda di Indonesia.
Setelah kemerdekaan, lahan tersebut beralih ke Keuskupan Agung Ende melalui PT. Perkebunan Kelapa Diag untuk masa kontrak selama 25 tahun, hingga 2013.
Keuskupan Maumere mulai menguasainya setelah keuskupan itu didirikan pada 2005.
Setelah izin pengelolaan perusahaan keuskupan tersebut berakhir, masyarakat adat yang tinggal di dan mengelola lahan tersebut berupaya untuk mengklaimnya.
Namun, pada 2023, PT Krisrama memperoleh perpanjangan izin atas tanah itu.
Dari total luas lahan 868,703 hektare, 543 hektare dikembalikan kepada negara dan 325 hektare yang diberi hak oleh negara untuk dikelola PT Krisrama.
Namun, sengketa terus berlanjut, dengan konflik terbesar pecah pada 22 Januari saat PT Krisrama menggusur rumah dan lahan warga.
Menurut John Bala, wilayah HGU PT Krisrama mencakup lahan yang sudah ditempati warga sejak 2014, bagian dari pelaksanaan reforma agraria.
Sementara lahan seluas 543 hektare, yang dalam bahasa Romo Epy Rimo, Direktur PT Krisrama, disebut dikembalikan ke negara, “adalah bagian yang tidak produktif, yang dibiarkan, yang sebelumnya disebut sebagai tanah terlantar ketika dikelola oleh PT Diag.”
“Mereka mengusulkan lahan yang tidak produktif itu sebagai bagian untuk warga, padahal tanah itu tidak ditempati warga saat ini.”
Ia juga berkata, lahan 543 hektare di luar HGU PT Krisrama juga “tidak secara gelondongan” diberikan kepada warga, tetapi sebagian diberikan kepada Pemerintah Kabupaten Sikka.
Editor: Anno Susabun dan Ryan Dagur