Agar Warga NTT Tak Lagi Diperjualbelikan

Hari Anti-Perdagangan Orang harus menjadi momentum kebangkitan moral dan nalar. Ini bukan sekadar agenda seremonial, tapi panggilan untuk peduli pada sesama kita

Oleh: Marselus Natar

Hari Anti-Perdagangan Orang Sedunia yang akan kita peringati setiap 30 Juli tidaklah populer. Ia tidak semeriah Hari Valentine, tak seromantis Hari Ibu dan jelas tak seramai Hari Kemerdekaan.

Peringatan yang ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) itu hendak mengajak dunia untuk memberi perhatian pada penderitaan para korban perdagangan manusia dan mendorong upaya global untuk memerangi kejahatan ini.

Hari Anti-Perdagangan Orang Sedunia merupakan ajakan kolektif kepada seluruh umat manusia untuk berhenti mengorbankan sesama. Ajakan ini penting untuk mengingatkan kita semua bahwa dunia kita sedang tidak baik-baik saja.

Di pelosok negeri, anak-anak muda terus diangkut dari kampung usai diberi janji-janji manis, yang ternyata membawa mereka ke jurang eksploitasi. Hal itu terjadi saban tahun, dengan beragam modus yang tidak semuanya mudah dideteksi.

Merujuk pada Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons, Especially Women and Children yang dikeluarkan Dewan Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 2000, perdagangan orang mencakup segala bentuk perekrutan, pengangkutan, pemindahan, penampungan atau penerimaan seseorang dengan cara paksa, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau tekanan lain untuk tujuan eksploitasi. 

Eksploitasi di sini bisa berarti kerja paksa, perbudakan, pelacuran, kawin paksa, pengambilan organ atau praktik-praktik keji lainnya yang memperlakukan manusia seolah sebagai barang.

Di Indonesia, definisi ini diperkuat lewat UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).

Pasal 1 UU tersebut merinci dengan jelas berbagai bentuk praktik perdagangan orang seperti “tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antarnegara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.”

Hal penting yang perlu dicatat adalah perdagangan orang bukan hanya soal praktik menjual seseorang ke luar negeri. Bentuk eksploitasi yang melanggar hak asasi manusia ini juga bisa terjadi di dalam negeri: di kota besar, di rumah tangga, di tambang-tambang liar, perkebunan sawit, bahkan di dapur rumah makan dan restoran.

NTT: Lumbung Migran, Ladang Perdagangan Orang

NTT telah lama dikenal sebagai kantong kemiskinan dan salah satu daerah di Indonesia yang menjadi pengirim buruh migran terbesar ke luar negeri.

Per September 2024, penduduk miskin di NTT mencapai 19,02 persen atau 1,11 juta dari 5,83 juta total populasi, menurut Badan Pusat Statistik. Angka ini hampir dua kali lipat dari rata-rata nasional 8,57 persen.

Kondisi ini menjadi salah satu pemicu yang membuat setiap tahun ribuan orang meninggalkan kampung halaman untuk menjadi buruh migran.

Mayoritas berangkat tidak sesuai prosedur atau non-prosedural, hal yang membuat mereka rentan menjadi korban perdagangan orang.

Menurut data Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), sepanjang 2023 tercatat lebih dari 1.900 kasus pengiriman tenaga kerja non-prosedural asal NTT. 

Banyak pihak meyakini angka ini lebih kecil dari realitas yang sebenarnya karena banyak kasus yang tak diketahui atau korban memilih diam karena takut dan malu.

Wilayah dengan angka kasus tertinggi meliputi Kabupaten Malaka, Timor Tengah Utara, Timor Tengah Selatan, Belu, Sumba Timur dan Flores Timur. 

Kawasan-kawasan ini mengalami fenomena yang disebut “migrasi terpaksa”—bukan karena pilihan bebas, tapi karena harus pergi dari kampung halaman.

Dalam sebuah wawancara oleh Komnas Perempuan pada 2024, seorang ibu di pedalaman Belu berkata; “Beta tahu itu bukan jalan baik, tapi kalau tinggal di sini, anak-anak hanya makan ubi tiap hari. Kalau bisa dapat kerja di Malaysia, setidaknya ada harapan bisa beli semen untuk bangun dapur.”

Dari pengakuan ibu itu, jelas bahwa kepergiannya bukan karena keinginannya, tapi terpaksa demi kehidupan keluarganya.

Sementara data dari Balai Pelayanan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP3MI) Wilayah NTT menyebut, jumlah pekerja migran asal NTT yang tahun ini meninggal di negara tujuan bekerja mencapai 82 orang. Jumlah tersebut sudah mencapai 66 persen dari total 124 sepanjang tahun lalu.

Mayoritas atau 77 di antaranya berstatus non-prosedural, dengan jumlah terbanyak dari Kabupaten Ende, Malaka dan Flores Timur, masing-masing 16, 14 dan 13 pekerja.

Modus: Dari Janji Pekerjaan sampai Pernikahan Bohongan

Mengapa kita terus mendengar litani kasus serupa setiap tahun, seolah tidak ada ujung dari soal ini? 

Langgengnya praktik perdagangan manusia terkait erat dengan modus-modus licik yang terus dipakai untuk menjerat korban.

Jika dulu orang dijual dengan cara dijemput secara paksa, kini praktik perdagangan orang cukup dilakukan dengan menjanjikan pekerjaan, sedikit gombalan dan tiket ke surga bernama “kerja luar negeri.”

Modus umum perdagangan orang di NTT biasanya dimulai dengan perekrutan lewat media sosial Facebook, TikTok, bahkan WhatsApp yang kini menjadi alat yang efektif. 

Selain itu, korban ditawari iming-iming mendapat pekerjaan yang jauh lebih bagus daripada di kampung mereka. Tawaran tersebut muncul dalam bentuk iklan yang tampak profesional, tapi penuh tipu daya.

Selain itu, ada juga agen ilegal yang keliling dari kampung ke kampung. Mereka datang dengan cerita sukses—seringkali fiktif—tentang anak-anak desa yang sudah “berhasil” di Malaysia atau Timur Tengah. 

Mereka tak canggung membawa testimoni bohong untuk meyakinkan orang tua korban.

Modus berikutnya adalah pemalsuan dokumen dan identitas. Misalnya memanipulasi usia anak di bawah umur.

Seorang anak berusia 15 tahun bisa “dibuat” menjadi 22 tahun hanya dengan bantuan KTP palsu dan surat keterangan dari oknum aparat.

Modus lainnya dengan pernikahan palsu. Anak-anak perempuan dijodohkan dengan orang asing atau orang lokal yang bertindak sebagai perantara. 

Mereka dinikahi secara adat, lalu dibawa pergi. Setelah tiba di tempat tujuan, mereka dijual ke jaringan pelacuran atau kerja paksa.

Negara: Antara Ada dan Tiada

Pemerintah memang sudah punya Undang-Undang TPPO, ada BP2MI, BP3MI, juga ada satuan tugas TPPO yang sudah ada di sejumlah provinsi. 

Namun, kehadiran negara kadang masih terasa seperti hantu: katanya ada, tapi sulit ditemui.

Seringkali korban atau keluarga korban perdagangan manusia mengadu ketika ada masalah, tapi dipingpong dari satu instansi ke instansi lain. 

Ada pula laporan yang tak ditindaklanjuti karena alasan kurang bukti. Padahal, foto, nama agen, hingga lokasi praktik perdagangan orang sudah jelas. 

Ada juga keluarga yang harus menunggu berbulan-bulan hanya untuk mendapat informasi keberadaan anak mereka di luar negeri.

Lebih pahit lagi, ada oknum aparat dan pejabat daerah yang justru ikut bermain dalam jaringan ini.

Sungguh menyakitkan ketika negara yang seharusnya memastikan kemaslahatan warganya justru membiarkan mereka dijual ke negeri orang.

Butuh Upaya yang Lebih Masif

Pemerintah dan organisasi masyarakat sipil telah bekerja keras mencegah hal ini dengan membuat poster, selebaran, menggelar seminar, menyebar pesan lewat mimbar gereja-gereja dan sekolah. 

Namun harus diakui, kampanye ini belum menyentuh akar rumput dengan maksimal.

Bisa jadi karena bahasa kampanyenya kerap terlalu formal dan jauh dari realitas. 

Selain itu, pendekatan yang digunakan kadang tak membumi—terlalu normatif dan tidak membangkitkan empati.

Sebagai contoh, ketika spanduk bertuliskan “Waspada TPPO!” dipajang di pinggir jalan desa, berapa banyak orang yang benar-benar mengerti kepanjangan dari TPPO itu? 

Yang dibutuhkan adalah bahasa yang hidup, yang menyentuh langsung dan dengan upaya yang masif.

Informasi bahaya perdagangan orang misalnya perlu terus diumumkan setiap kali ibadah di gereja pada hari Minggu atau diselipkan dalam khotbah. 

Lebih jauh, edukasi juga harus melibatkan semua pihak, karena korban bisa siapa saja dan penyelamat bisa datang dari mana saja.

Bukan Hari Menangis, Tapi Hari Bangkit

Beragam sambutan terhadap jenazah seorang pekerja migran yang dipulangkan ke NTT, seperti menggelar ibadah atau Misa, menabur bunga dan menggugah konten di media sosial dengan beragam takarir sedih tidaklah cukup.

Sudah saatnya Hari Anti-Perdagangan Orang yang kita peringati beberapa hari lagi menjadi momentum kebangkitan moral dan nalar. 

Ini bukan sekadar agenda seremonial, tapi panggilan untuk membongkar jaringan gelap di sekitar kita.

Sudah waktunya kita tak hanya mengutuk pelaku, tapi juga membekali sesama warga agar tak mudah terjebak. 

Sudah waktunya kita terus bersuara meminta tanggung jawab negara yang nyata dan tegas. 

Sudah waktunya kita berhenti menjadi bangsa yang hanya pandai berbelasungkawa, tapi tak kunjung mencegah agar tak ada lagi “luka” berikutnya.

Ketika manusia bisa “dibeli” lewat pesan-pesan di media sosial dan dikirim dengan kapal barang, diam adalah bentuk lain dari kekejaman.

Marselus Natar adalah rohaniawan Katolik dari Kongregasi Frater-Frater Bunda Hati Kudus yang tinggal di Oesapa, Kota Kupang. Ia menulis buku antologi cerpen dengan judul “Usaha Membunuh Tuhan.”

Editor: Ryan Dagur

DUKUNG KAMI

Terima kasih telah membaca artikel kami.

Floresa adalah media independen. Setiap laporan kami lahir dari kerja keras rekan-rekan reporter dan editor yang terus berupaya merawat komitmen agar jurnalisme melayani kepentingan publik.

Kami menggalang dukungan publik, bagian dari cara untuk terus bertahan dan menjaga independensi.

Cara salurkan bantuan bisa dicek pada tautan ini: https://floresa.co/dukung-kami

Terima kasih untuk kawan-kawan yang telah mendukung kami.

Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel WhatsApp dengan klik di sini.

ARTIKEL PERPEKTIF LAINNYA

TRENDING