Oleh: Melky Nahar
Polemik proyek panas bumi di Flores dan Lembata terus menyala. Dari Wae Sano di ujung barat Flores hingga Atadei di Lembata, semua memperlihatkan satu pola yang sama: masyarakat lokal dipaksa tunduk pada proyek “energi bersih” yang digadang-gadang akan menyelamatkan masa depan manusia di planet bumi.
Salah satu titik konflik yang terus membara adalah Poco Leok, Kabupaten Manggarai. Wilayah adat ini selama sekitar empat tahun terakhir menjadi medan penolakan terhadap proyek perluasan PLTP Ulumbu oleh PT PLN (Persero) dan anak usahanya.
Warga menolak pengeboran yang mengancam hutan, sumber mata air, serta keberlangsungan hidup mereka sebagai komunitas agraris.
Pada 16 Juli 2025 lalu, Gubernur NTT, Emanuel Melkiades Laka Lena, melakukan kunjungan mendadak ke Desa Lungar, salah satu desa di sekitar area eksplorasi.
Namun, yang jadi sorotan bukan hanya isi kunjungannya. melainkan cara kunjungan itu dilakukan. Laka Lena datang dengan kawalan aparat bersenjata laras panjang.
Kunjungan ini bukan sekadar pertunjukan kekuasaan, tapi tampak sebagai pesan, bahwa di mata negara, rakyat bukan subjek pembangunan, melainkan objek yang harus ditertibkan, dan bila perlu disingkirkan.
Hal yang juga jauh lebih membahayakan dari senjata adalah pernyataan-pernyataan Laka Lena sendiri.
Dalam kunjungan perdananya itu, ia melontarkan sejumlah komentar publik yang bukan saja aneh, tapi juga menyesatkan, merendahkan kecerdasan rakyat dan mencerminkan cara pikir anti-demokratis yang dibungkus jargon pembangunan.
Melalui tulisan ini, saya ingin membedah satu per satu pernyataan Laka Lena, terutama beberapa yang sangat bermasalah sebagai upaya untuk memperlihatkan bagaimana pejabat publik bisa jadi aktor utama pembusukan demokrasi di tingkat lokal.
Ketika Poster Jadi Bukti Konspirasi
Laka Lena menyebut bahwa penolakan warga “sudah didesain” oleh pihak tertentu, hanya karena melihat salah satu spanduk penolakan yang ditulis dalam Bahasa Inggris yang ia sebut ditulis rapi. “Itu bukan tulisan rakyat,” katanya terkait spanduk yang dibawa warga itu.
Pernyataan ini, selain sembrono, juga memperlihatkan betapa rendahnya pandangan Laka Lena terhadap kapasitas intelektual warganya sendiri.
Apakah rakyat tidak boleh menulis rapi? Apakah rakyat tidak mungkin paham bahasa asing? Atau justru Laka Lena yang gelisah karena rakyatnya semakin terdidik dan terhubung dengan jaringan solidaritas internasional?
Logika seperti ini berbahaya. Ia menganggap bahwa rakyat tidak mungkin mampu menyusun narasi sendiri. Jika terlihat cerdas, maka pasti ada “dalang.”
Ini cara berpikir kolonial, yang melihat rakyat hanya sebagai massa pasif yang harus diarahkan, bukan warga negara aktif yang berhak bersuara.
Kepala Siapa yang Harus Ditunjukkan?
Dalam nada sinis penuh kecurigaan, Laka Lena juga menyatakan bahwa “kelompok penolak ini mestinya tunjukkan kepala. Jangan pakai rakyat.”
Sekilas, pernyataannya terdengar seperti permintaan transparansi. Namun, jika ditarik ke konteks lapangan yang sebenarnya, pernyataan ini sangat berbahaya. Ini bukan sekadar imbauan, tapi ancaman terselubung.
Di tengah sejarah panjang kriminalisasi terhadap aktivis lingkungan, pembela hak masyarakat adat, bahkan jurnalis di wilayah konflik sumber daya alam di Indonesia, seruan “tunjukkan kepala” tak bisa dibaca secara netral.
Itu adalah bentuk intimidasi terbuka.
Di Poco Leok, kita bahkan tidak lagi bicara kemungkinan, tapi sudah menjadi kenyataan. Sudah 22 warga yang dikriminalisasi hanya karena mempertahankan ruang hidupnya dari rencana pengeboran panas bumi.
Tak hanya itu, seorang jurnalis Floresa pun turut dipukul hingga babak belur hanya karena meliput aksi protes warga Poco Leok. Tindakan dokumentasi dipelintir menjadi pelanggaran hukum. Ini menunjukkan bahwa negara tidak hanya antikritik, tetapi juga alergi terhadap bukti.
Dalam konteks ini, permintaan Laka Lena agar “kepala” penolak ditunjukkan justru membuka jalan legitimasi bagi praktik represif aparat.
Mereka yang dianggap “otak” aksi bisa dituduh sebagai dalang, provokator atau bahkan musuh pembangunan. Ini strategi klasik: pecah belah gerakan dari dalam, bidik beberapa orang sebagai target, lumpuhkan suara kolektif lewat ketakutan.
Dan, yang menyedihkan adalah, narasi ini datang bukan dari militer atau pejabat keamanan, tapi justru dari seorang kepala daerah—orang yang seharusnya menjamin kebebasan warganya menyatakan pendapat.
Romantisasi Etnis, Penipuan Emosional
Laka Lena juga sempat mengatakan bahwa “penggerak awal panas bumi di Indonesia adalah orang NTT dari Pulau Sabu.”
Pernyataan ini terlihat nasionalis, bahkan membanggakan. Tapi dalam konteks konflik panas bumi di Manggarai atau Flores-Lembata secara keseluruhan, pernyataan ini adalah pengalihan isu.
Menggunakan identitas etnis untuk melegitimasi proyek yang merampas ruang hidup adalah bentuk penipuan emosional.
Apakah karena satu orang dari Sabu dulu terlibat, maka sekarang warga Manggarai dan Flores umumnya harus mengorbankan hutan, tanah, bahkan masa depannya?
Rakyat tidak menolak panas bumi karena tak bangga menjadi orang NTT. Mereka menolak justru karena tidak diajak bicara, tidak diberi pilihan, tidak dihormati hak dasarnya atas tanah dan hidup, dan yang paling penting soal masa depannya yang terancam.
Menggeneralisasi Ulumbu: Kesalahan Fatal dan Manipulatif
Gubernur Laka Lena berkali-kali menyebut bahwa PLTP Ulumbu telah beroperasi selama 13 tahun tanpa masalah.
Ia menggunakan klaim ini untuk menegaskan bahwa proyek panas bumi aman dan ramah lingkungan.
Ini bentuk manipulasi narasi yang kasar. Tidak ada proyek energi yang sepenuhnya netral secara sosial dan ekologis.
Bahkan, Ulumbu yang diklaim “sukses” pun menyisakan jejak konflik: pengabaian partisipasi warga, gangguan terhadap sumber air, meningkatnya kasus ISPA, seng rumah yang berkarat, hingga tanaman produktif yang gagal panen.
Semua ini dicatat dan dirasakan oleh warga sekitar—bukan imajinasi.
Yang lebih fatal adalah cara Laka Lena mengambil kesimpulan. Dalam kunjungan singkat, hanya hitungan jam, ia merasa cukup untuk menilai bahwa semuanya aman.
Padahal, ia hanya mendengar dari segelintir orang yang bisa jadi sudah dikondisikan sebelumnya. Ini bukan sekadar ceroboh—ini ngawur dan manipulatif.
Lebih buruk lagi, pola pikir seperti ini berpotensi menjadi preseden bagi proyek-proyek serupa di Flores dan Lembata.
Kesimpulan instan dari satu titik bisa dijadikan pembenaran di wilayah lain. Padahal, kondisi setiap lokasi sangat berbeda.
Ulumbu tidak bisa disamakan dengan wilayah lain. Struktur geologi berbeda. Topografi berbeda. Kultur sosial pun berbeda.
Menyamakan semua lokasi seolah-olah risiko dan dampaknya seragam adalah cara berpikir paling malas—dan paling berbahaya—dalam membaca risiko pembangunan.
Ketika Demokrasi Memilih Orang yang Salah
Tragedi dari semua ini bukan hanya sekadar proyek geotermal. Tragedi terbesar adalah wajah demokrasi kita hari ini.
Sebuah sistem yang memungkinkan siapa pun dipilih dan memilih, tetapi sering kali melahirkan pemimpin yang tidak siap, tidak paham, atau lebih buruk—tidak peduli.
Demokrasi memang memberi kita hak untuk memilih, tapi ia tidak bisa menjamin kualitas orang yang terpilih.
Dan, dalam banyak kasus, seperti yang kita saksikan hari ini di NTT, justru orang-orang yang paling minim empati dan nalar kritis lah yang duduk di kursi kekuasaan. Laka Lena adalah produk dari demokrasi elektoral itu.
Pernyataan dan sikapnya di Poco Leok memperlihatkan bahwa elektabilitas tidak sama dengan kapasitas.
Ia datang ke wilayah konflik dengan senjata, bukan dengan telinga. Ia bicara soal teknologi, tapi tak paham tentang keadilan. Ia berbicara tentang rakyat, tapi tidak mendengarkan rakyat.
Dengan demikian, jika pembangunan energi “bersih” dijalankan dengan cara-cara kotor—menakuti rakyat, menutupi informasi, menginjak demokrasi—maka proyek itu kehilangan legitimasi moralnya.
Poco Leok, sekali lagi, bukan anti pembangunan. Mereka hanya menuntut hak dasar: untuk hidup di tanah mereka sendiri, tanpa ditakut-takuti, tanpa dimanipulasi, tanpa ditertawakan oleh orang yang kebetulan menjabat sebagai gubernur.
Demokrasi semestinya memberi ruang kepada yang lemah untuk bersuara. Tapi dalam praktiknya, kita justru sering menyaksikan demokrasi dipakai sebagai alat untuk mengukuhkan dominasi yang kuat.
Dan, dari situ kita belajar satu hal: bahwa dalam demokrasi yang hanya berhenti di kotak suara, sering kali justru orang ngawur yang terpilih.
Melky Nahar adalah Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang
Editor: Ryan Dagur