Tema Hari Kebebasan Pers tahun ini menjadi pengingat bahwa ketika kebebasan berekspresi dan kebebasan pers ditekan, itu berarti menginjak-injak dan secara terang-terangan melanggar hak-hak asasi lainnya, terutama hak mereka yang miskin dan rentan, yang dikucilkan dan dieksploitasi, minoritas dan kelompok terpinggirkan lainnya.
Seharusnya polisi bisa bertindak lebih bermartabat dari sekadar mendaur ulang cara kekerasan. Pelaku wisata dan warga bukan musuh, apalagi mereka hanya ingin menuntut haknya. Menabur benih kekerasan hanya akan menuai konflik berkepanjangan.
Jika pemerintah memang punya maksud serius untuk konservasi dengan membatasi kunjungan wisata [mass tourism], tetap ada jalan lain, misalnya mengatur lalu lintas wisata secara terjadwal. Kebijakan-kebijakan seperti ini seharusnya tertuang dalam Integrated Tourism Master Plan [ITMP]. Sayangnya, ambisi mengambil untung menutup mata pemerintah dalam pengelolaan pariwisata yang bertanggung jawab pada aspek sosial, ekonomi, dan ekologi.
Artikel berjudul "'Tanah itu Ibu Kami’: Cara Perempuan Poco Leok, Flores Pertahankan Tanah dari Ancaman Proyek Geothermal” menjadi juara satu dalam lomba yang digelar oleh Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Indonesiana.id dan Mongabay Indonesia itu.
Dalam acara Hari Kebebasan Pers Sedunia di Labuan Bajo yang digelar Project Multatuli dan Floresa, para jurnalis, warga adat, kaum muda, aktivis dan akademisi bersama-sama mendiskusikan peran pers dalam mengawal proses pembangunan di Flores.
Ketika yang jadi alat ukur hanyalah Produk Domestik Bruto, kekayaan alam dan masyarakat hanya dilihat sebagai faktor produksi, sementara dampak ekologis dan sosial tak jadi pertimbangan. Hukum pun dipakai sebagai alat legitimasi kerusakan melalui pelbagai pelonggaran dan deregulasi.
Penolakan para perempuan Poco Leok didasarkan pada kesadaran bahwa tanah adalah sumber kehidupan, kosmologi adat setempat yang melihat bumi sebagai ibu, penghormatan terhadap warisan leluhur dan kecemasan terhadap potensi bencana alam.