Floresa.co – Lokakarya bertajuk “Memperkuat Peran Jurnalis di Flores dalam Mendorong Tata Pemerintahan yang Baik dan Memerangi Korupsi” yang digelar Floresa memasuki hari kedua pada Selasa, 29 Agustus dan secara khusus membahas strategi liputan investigatif terkait kasus korupsi.
Kegiatan tersebut, bagian dari upaya memperkuat kapasitas para jurnalis di Flores, NTT, menghadirkan tiga jurnalis sebagai pembicara, yakni Avit Hidayat dari Koran Tempo; Ika Ningtyas, Sekjen Aliansi Jurnalis Independen [AJI]; dan Evi Mariani, pendiri dan pemimpin umum Project Multatuli.
Rosis Adir, pemimpin redaksi Floresa mengatakan lokakarya ini menjadi langkah awal yang penting bagi kolaborasi media dalam mengawal pembangunan dan mendorong demokratisasi di Flores melalui kerja jurnalistik.
Melalui lokakarya tersebut, kata dia, peserta yang terdiri dari 27 orang jurnalis di Flores mendapatkan masukan-masukan yang berguna dari para jurnalis yang menjadi pembicara.
Ia juga berharap perkenalan dan komunikasi antara para pembicara dan peserta akan terus berlanjut ke depan, “tidak hanya dalam program ini.”
Avit Hidayat yang membawakan materi “Menyisir Potensi Korupsi” mengatakan tugas jurnalis adalah menjaga atau menjadi watchdog bagi kepentingan publik.
“Kerja-kerja investigasi lekat dengan mengungkap skandal dan kejahatan yang kemudian acap kali dilihat oleh penguasa sebagai niat buruk, padahal itu adalah demi kepentingan publik,” ungkapnya.
Mengambil contoh liputan Koran Tempo tentang perdagangan kayu langka ilegal, pembangunan kawasan wisata yang merusak habitat Komodo di Taman Nasional Komodo, dan revisi Rencana Tata Ruang Wilayah [RTRW] Provinsi tahun 2023-2024, ia mengatakan akumulasi kekuasaan dan kekayaan oleh kelompok penguasa berkaitan erat dengan praktik kejahatan, “lantaran perbuatannya dilakukan dengan cara-cara tidak adil, menabrak aturan, menggilas kelompok marjinal, dan mengabaikan lingkungan.”
“Memang ada yang mengakomodasi masyarakat adat atau masyarakat luas, tapi tidak banyak. Selebihnya adalah kebijakan baru untuk perubahan yang menguntungkan perusahaan tertentu,” katanya terkait agenda revisi RTRW di 38 provinsi.
Agenda pemerintah yang berkaitan dengan Undang-Undang Cipta Kerja tersebut, kata dia, akan dilaksanakan di 25 hingga 27 provinsi pada tahun 2023, dan sisanya, termasuk Provinsi NTT akan dilakukan pada tahun 2024.
Ia juga mengatakan, terdapat tiga hal menarik yang bisa menjadi studi kasus bagi jurnalis di NTT, yakni revisi tata ruang, perdagangan manusia, dan oligopoli investasi dalam industri pariwisata di Taman Nasional Komodo.
“Perdagangan orang di sana itu sudah bertahun-tahun, mungkin kita bisa berkolaborasi,” ungkapnya.
Ika Ningtyas, yang menceritakan pengalamannya sebagai jurnalis Tempo sejak 2008, menyatakan tantangan kerja jurnalisdi daerah berkaitan dengan isu korupsi dalam pelayanan publik sehari-hari, “misalnya kemiskinan, krisis air bersih, kematian ibu hamil, dan sebagainya.”
“Liputan yang akan dihasilkan kawan-kawan secara langsung bisa mengaitkan atau membidik kaitan antara korupsi politik dengan banyaknya investasi sumber daya alam,” ungkapnya mencermati konteks tahun politik 2024 mendatang.
Ia mengatakan, dalam konteks maraknya kasus korupsi di daerah dan lemahnya kinerja penegak hukum, peran jurnalis dan media lokal yang independen dan kritis sangat dibutuhkan untuk mengungkap kejahatan dalam tata kelola pemerintahan.
“Kita tidak lagi bisa mengharapkan institusi-institusi hukum bekerja sesuai yang seharusnya, sesuai dengan mandat undang-undang,” tegasnya.
Ia juga mengingatkan beberapa tantangan dalam peliputan isu korupsi, yang membuat kerja jurnalis di daerah lebih berat dan kompleks, di antaranya transparansi informasi publik yang buruk, pengabaian terhadap pentingnya pers yang bebas, hingga ancaman serangan fisik, digital, seksual, dan psikologis bagi jurnalis.
Sementara itu, Evi Mariani yang membawakan materi “Jurnalisme yang Mengawasi Kekuasaan” menyatakan bahwa peran pers seharusnya adalah menjadi “anjing penjaga yang bekerja untuk publik atau rakyat.”
“Kenyataannya, pers Indonesia hari ini modelnya menjadi komersial dan kapitalis, disetir oleh oligarki dan pasar, lalu bergantung pada iklan,” ungkapnya.
Hal tersebut, kata dia menyebabkan adanya “awul-awulan informasi dan adanya gurun berita”, di mana media dan jurnalis “mengerumuni satu berita” atau hanya memberitakan hal-hal yang viral, sedangkan berita-berita protes warga tidak diberi perhatian.
“Gurun berita di Indonesia berkaitan dengan suara mereka yang dipinggirkan, termasuk juga masyarakat yang jadi korban korupsi,” ungkapnya.
Ia juga mengatakan bahwa “hanya media yang independen, yaitu media yang tidak bergantung pada pasar dan tidak disetir oleh penguasa, yang dapat secara sungguh-sungguh dan efektif mengawasi kekuasaan.”
Kegiatan lokakarya ini akan dilanjutkan dengan perencanaan proyek liputan investigatif, yang akan diadakan pada Kamis, 31 Agustus.
Sebanyak 10 peserta terpilih dari 27 jurnalis akan mendapatkan beasiswa liputan.
Dalam kegiatan sebelumnya pada 28 Agustus, dengan tema mengenali pola-pola korupsi, hadir pembicara dari Komisi Pemberantasan Korupsi, Indonesia Corruption Watch dan Litbang Floresa.