Floresa.co – Perwakilan Floresa hadir dan mengisi materi dalam salah satu panel konferensi internasional Association for Asian Studies tahun ini yang digelar di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Konferensi dengan tema Global Asias: Latent Histories, Manifest Impacts berlangsung pada 9-11 Juli 2024.
Pesertanya mencapai 1.500 orang, mencakup para peneliti dan akademisi dari 43 negara, termasuk Amerika Serikat, Tiongkok, Jepang, Kanada, Jerman, Belanda, Inggris, Korea Selatan, dan Australia, menurut data dari panitia.
Salah satu panel dalam konferensi, di mana perwakilan Floresa menjadi salah satu panelis, mengangkat tema “Agrarian Dimensions of the New Tourism Industry in Indonesia” atau “Dimensi Agraria dalam Industri Pariwisata Baru di Indonesia.”
Panel ini yang digelar pada 10 Juli dengan peserta 50 orang menyoroti transformasi agraria pasca penetapan 10 Bali Baru, salah satunya Labuan Bajo, dalam rangka meningkatkan industri pariwisata.
Dimoderatori Cypri Jehan Paju Dale dari Universitas Wisconsin, Madison, Amerika Serikat, panel ini menghadirkan Eko Cahyono dari Sajogyo Institute; Tongam Pangabean dan Delima Silalahi – dua peneliti dari Sumatra Utara; Gregorius Afioma dari Universitas Negeri Colorado dan Ryan Dagur, pemimpin umum sekaligus editor Floresa.

Para panelis membahas isu-isu yang muncul dalam studi agraria dan pariwisata, seperti ekonomi politik kepemilikan lahan di lokasi pariwisata, ketegangan antara konservasi dan ekowisata, perampasan sumber daya dan transformasi mata pencaharian lokal.
Eko menyoroti secara khusus kontroversi kebijakan penetapan 10 Bali Baru. Ia mempertanyakan soal penggunaan Bali sebagai referensi – yang dengan sejumlah soal sosial dan agrarianya sebenarnya tidak layak ditiru – , sembari menyoroti sejumlah masalah di lokasi-lokasi ‘Bali Baru’ yang jadi lokasi risetnya.
Sementara Tongam dan Deli, berdasarkan studi kasus di lima kabupaten sekitar Danau Toba, menyoroti aspek lingkungan dan agraria dari industri pariwisata baru, terutama terkait konflik lahan, dampaknya terhadap keanekaragaman hayati, komunitas petani serta kelompok masyarakat adat yang terpinggirkan.

Cypri, Afioma dan Ryan membahas secara khusus soal proyek-proyek pariwisata di Flores, juga proyek energi panas bumi dalam rangka mendukung industri pariwisata.
Cypri menyoroti tentang bagaimana skema ekowisata yang kini dikembangkan di Flores, kendati membuka peluang mata pencaharian baru bagi masyarakat lokal, juga telah memfasilitasi perampasan sumber daya dan kesempatan oleh korporasi yang memiliki hubungan dekat dengan elite penguasa.
Afi secara khusus menyoroti perpaduan antara ekowisata dan energi hijau – lewat proyek geotermal – dalam kebijakan dan wacana negara, serta tanggapan masyarakat lokal terhadap proyek-proyek tersebut.
Sementara Ryan membawa materi bagaimana dalam satu dekade terakhir sejak 2014, Floresa, mendokumentasikan dimensi agraria dalam industri pariwisata di Labuan Bajo. Materi ini juga mengungkap cara Floresa merekam sejumlah ironi dalam narasi pembangunan dan memberi ruang yang luas bagi aspirasi warga setempat yang memperkuat posisi tawar mereka.

Dua akademisi dari Amerika Serikat menjadi penanggap dalam panel ini, masing-masing Veronika Kusumaryati dari Universitas Wisconsin, Madison dan Emily Yeh dari Universitas Colorado, Boulder.
Ryan berkata, hadir dalam konferensi ini menjadi kesempatan bagus memperkenalkan cara-cara kerja Floresa kepada audiens yang lebih luas, yang diharapkan bisa menjadi sumbangan bagi studi-studi penting tentang peran media dalam gerakan sosial.
Editor: Anastasia Ika