Floresa.co – Pada September 1999, Rosalia Setia Leowae dan keluarganya harus mengungsi ke Atambua, ibukota Kabupaten Belu, NTT yang berbatasan langsung dengan Timor Timur.
Kala itu konflik sedang memanas di wilayah ujung timur Pulau Timor tersebut antara warga yang berjuang untuk merdeka dengan aparat keamanan Indonesia.
Wilayah yang sebelumnya menjadi salah satu dari provinsi di bawah Negara Kesatuan Republik Indonesia itu kemudian menjadi negara sendiri pada 2002, dengan nama Timor-Leste.
Yang diingat Mama Ros saat mengungsi adalah kekacauan di ibu kota Dili.
Ia mendengar bunyi peluru dari segala penjuru, termasuk saat keluarganya melarikan diri. Adik perempuan dari suaminya ikut tertembak di kaki kiri.
“Kami bawa adik ipar ini ke rumah sakit untuk operasi, kasih keluar peluru dari kaki,” kenang Mama Ros, kini 61 tahun.
“Sepulang dari rumah sakit, kami langsung mengungsi ke Atambua, masuk lewat Motaain,” salah satu kampung di perbatasan.
Mereka pertama kali tinggal di sebuah tenda di pantai Atapupu, daerah wisata di Belu yang terkenal dengan pantai pasir putihnya.
Setahun kemudian, mereka pindah ke Tulamalae, kamp pengungsi yang beratap terpal dan beralaskan tanah.
“Kami tinggal di situ selama empat tahun,” katanya. Saat di Tulamalae, putrinya, bungsu dari empat saudara, lahir.
Pemerintah Indonesia kemudian mendirikan pemukiman bagi para pengungsi, yang mulai dihuni pada 2004.
Berlokasi di Haekrit, Desa Manleten, Kecamatan Tasifeto Timur, wilayah itu sebelumnya tanah kosong.
Maria Da Costa Noronha atau Tanta Noy, 31 tahun, juga salah satu yang tinggal di Haekrit sejak 2004.
Pada 1999, ia dan keluarganya mengungsi dengan truk yang membawa mereka dari Suai di Timor-Leste ke Betun, yang kini jadi ibu kota Kabupaten Malaka.
Sama seperti Mama Ros, keluarganya juga sempat pindah ke kamp di Tulamalae, sebelum ke Haekrit.
Kini Tanta Noy tinggal di rumah di Haekrit bersama tiga anak – Foni, Istin, dan Grace. Suaminya, Om Ane, bekerja sebagai tukang bangunan.
Haekrit Dulu
Keluarga Mama Ros dan Tanta Noy adalah dua dari 80 keluarga eks pengungsi yang kini mendiami Haekrit.
Mama Ros berkisah, pada 2004, akses ke Haekrit hanya berupa jalan tanah.
“Listrik juga belum ada sehingga kami menggunakan pelita,” kenangnya, menyebut alat penerangan yang biasanya terbuat dari kaleng bekas dengan minyak tanah sebagai bahan bakar.
Baru pada 2017, kata Mama Ros, ada perhatian dari pemerintah desa, dengan membuat telford, hasil dari upaya mereka menyampaikan usulan dari tingkat desa hingga kecamatan.
“Jalan ini dibuat menggunakan dana desa,” katanya.
Sekolah juga belum ada kala itu, membuat anak-anak harus bersekolah ke Atambua, yang berjarak enam kilometer dari Haekrit.
Kondisi itu membuat Mama Ros memutuskan untuk merintis SD dengan satu orang guru PNS sebagai pengajar sementara. Jumlah siswanya enam orang.
Beberapa tahun kemudian, ia berkonsultasi dengan Save the Children, suatu lembaga kemanusiaan internasional, meminta untuk membangun sekolah di Haekrit. Lembaga tersebut lalu membangun SD pada 2008.
Dua tahun kemudian, Mama Ros dan biarawati Katolik, Sr Sesilia Ketut, SSpS dari Forum Peduli Perempuan dan Anak Kabupaten Belu merintis PAUD di Haekrit.
Mama Ros dan salah satu anaknya, Ani menjadi guru di PAUD itu, yang memilih nama Oan Timor, berarti Anak Timor.
Haekrit Hari Ini
Kondisi Haekrit dulu dan kini tidaklah berbeda jauh. Telford yang dibangun pada tujuh tahun silam itu sudah rusak. Selain itu, air bersih juga jadi masalah pelik.
Di Haekrit memang ada satu sumur, namun harus dimanfaatkan untuk mencukupi kebutuhan semua warga sekampung.
Saat musim kemarau, debit air sumur berkurang. Warga Haekrit pun mencuci dan mandi di kali yang jaraknya 100 meter dari pemukiman, demi menghemat air sumur.
Selain itu, rumah bantuan juga sudah mulai rusak. Dinding-dinding rumah mulai rapuh, sementara atap dari seng sudah berwarna kecoklatan.
Ketika musim hujan, kata Mama Ros, “terjadi kebocoran di mana-mana.”
Kendati sudah ada SD, di Haekrit belum ada SMP, membuat anak-anak kesulitan melanjutkan pendidikan.
Untuk ke SMP di Atambua yang berjarak enam kilometer, mereka biasanya jalan kaki, naik ojek maupun diantar orang tua.
Namun, kata Mama Ros, hal itu membuat mereka lelah sehingga banyak anak yang putus sekolah.
Sementara bagi anak-anak yang bisa sampai SMA, biaya untuk bisa kuliah adalah kendala utama, sehingga pilihannya adalah merantau.
Ika, anak bungsu Mama Ros misalnya. Ia sempat mencoba ikut seleksi jadi polisi wanita, namun tidak lolos.
Mama Ros mengaku kesulitan untuk membiayai kuliah Ika karena sebagai Bunda PAUD, pendapatannya tidak cukup.
Ia mendapat gaji bulanan Rp400 ribu dari dana APBD, dan tambahan Rp200 ribu dari dana desa.
Bertahan sebagai Bunda PAUD, katanya, semata karena “merasa pendidikan di wilayah pelosok ini sangat penting untuk anak-anak usia dini.”
Terikat dengan Kampung Halaman
Berbeda dengan Mama Ros yang lahir di Ende, Flores dan bertemu dengan suaminya di Dili, Tanta Noy adalah warga asli Timor-Leste.
Lebih dari dua dekade meninggalkan kampung halaman, Tanta Noy masih memiliki ikatan kuat dengan keluarganya di kampung.
“Hubungan dengan keluarga di Timor-Leste baik. Biasa kunjung terus, apalagi kalau ada acara adat,” katanya.
Demi tetap membina hubungan itu, Tanta Noy menyisihkan penghasilan suaminya dan dari hasil usaha jualan minuman di depan rumah untuk urusan adat, selain untuk biaya sekolah anak-anak.
Untuk urusan adat, “harus dibayar, tidak boleh bilang tidak,” katanya.
Ia mencontohkan biaya yang mesti dikeluarkan ketika ada paman yang meninggal bisa mencapai 250 dolar AS, setara Rp4 juta. Rinciannya, 100 dolar untuk membiayai urusan hingga penguburan dan 150 dolar untuk urunan membeli sapi saat acara peringatan 40 hari kematian.
Bagi orang Timor, katanya, ketika telah menikah, tanggung jawab bukan hanya pada keluarga sendiri, tapi pada keluarga besar.
Rindu untuk Kembali?
Tanta Noy mengaku tidak menyesal telah hidup di tanah Indonesia. Ia “bersyukur karena di sini aman.”
Namun, ia punya keinginan untuk kembali ke Timor-Leste, terutama sejak mamanya meninggal pada 2017 dan dikuburkan di Dili.
Ia sempat mengajak suaminya untuk kembali karena “saya merasa jauh sekali dengan mama.”
Namun, suaminya bilang, “kita bisa pindah ke sana, cuma bagaimana dengan sekolah anak-anak?”“Sekolah di sana kan pakai Bahasa Inggris dan Bahasa Portugis. Jadi, anak-anak akan kesulitan untuk sekolah,” kata Tanta Noy, mengulang kata-kata suaminya.
Sementara Mama Ros mengaku keluarganya tidak punya keinginan untuk pulang ke Timor-Leste walaupun rumah mereka masih ada hingga saat ini.
Rumah itu kini dihuni oleh adik dari suaminya. Hubungan mereka pun selalu terjaga.
Setiap kali keluarga di Timor-Leste menggelar hajatan, katanya, “saya dan suami selalu ikut.”
Liputan ini dikerjakan setelah mengikuti lokakarya fotografi #SetaraBercerita yang diselenggarakan oleh Project Multatuli
Editor: Ryan Dagur