Penghargaan Oktovianus Pogau untuk Jurnalis Tempo yang Berani Meliput Manuver Jokowi

Siniar ‘Bocor Alus’ diharapkan dapat memberikan informasi tepercaya bagi publik “di tengah demokrasi yang buruk sekalipun”

Baca Juga

Floresa.co – Memanjangkan jalan ke program siniar [podcast] demi menyingkap manuver Presiden Joko Widodo [Jokowi], baru-baru ini lima jurnalis Majalah Tempo dianugerahi Penghargaan Oktovianus Pogau.

Kelima jurnalis itu adalah Egi Adyatama, Francisca Christy Rosana, Hussein Abri Donggoran, Raymundus Rikang, dan Stefanus Pramono. 

Kolaborasi kelimanya menghadirkan program siniar Bocor Alus, yang tayang secara langsung setiap Sabtu melalui YouTube dan Spotify.

Dalam kolom deskripsi pada platform Spotify, Bocor Alus dijelaskan sebagai siniar yang ‘membocorkan’ informasi yang bisa jadi belum terekspos media. Kelima jurnalis bercerita tentang politikus, pengalaman selama bekerja di Tempo, hingga analisis mengenai dinamika politik terkini.

Episode perdana Bocor Alus bertajuk “Jokowi Kingmaker Pemilu 2024, Siapa Calon Presiden yang Ia Jagokan?” 

Berturut-turut sesudahnya Bocor Alus terus memberitakan sang presiden serta orang-orang di sekitarnya–baik kawan maupun lawan politiknya.

Manuver Istana

Diberikan secara tahunan oleh Yayasan Pantau, sebuah organisasi fokus pada peningkatan mutu jurnalisme, Penghargaan Oktovianus Pogau dianugerahkan kepada wartawan yang dinilai memiliki keberanian dalam kerja jurnalistik.

Dalam siaran pers pada laman resminya pada 31 Januari, Yayasan Pantau mengatakan peliputan kelima jurnalis Tempo “bukanlah pekerjaan mudah karena butuh waktu lama guna menilai pelbagai manuver Jokowi.”

Waktu, lanjut Yayasan Pantau, “adalah barang mewah dalam jurnalisme.”

Tantangan meliput Jokowi juga diungkapkan Yuliana Lantipo, satu dari lim juri penghargaan ini.

Jurnalis asal Papua itu menilai “Jokowi bergerak ‘tertutup’ dengan komunikasi terbatas, canggih dalam public relations dan mampu membentuk citra dirinya.”

“Bocor Alus itu penting,” katanya, “termasuk buat kitorang di tanah Papua.”

Ia beranggapan Bocor Alus “turut memberikan contoh soal bagaimana media seyogyanya memberitakan kemungkinan Jokowi menggunakan kekuasaan untuk berbuat curang dalam pemilihan umum.”

Selain Yuliana, empat juri lainnya adalah Andreas Harsono, Alexander Mering, Coen Husain Pontoh dan Made Ali.

“Di Tengah Demokrasi yang Buruk”

Setri Yasra, Pemimpin Redaksi Tempo mengapresiasi penghargaan yang diberikan Yayasan Pantau untuk lima jurnalis Bocor Alus pada 31 Januari.

Penghargaan Oktovianus Pogau “sangat berarti bagi kami untuk menjalankan tugas jurnalistik menjadi lebih baik lagi.”

Stefanus Pramono, salah satu pemandu siniar itu mengatakan Bocor Alus “tumbuh dan berkembang bersama publik” lewat informasi “terpercaya, diverifikasi dengan ketat dan memenuhi kaidah jurnalistik.”

Menurut Stefanus, “tidak boleh ada ruang sedikit pun di suatu negara demokrasi bagi politik dinasti, termasuk dinasti Jokowi.”

Melanggengkan politik dinasti hanya akan “melahirkan praktik pemerintahan yang buruk, termasuk korupsi.”

Bagi Stefanus, penghargaan ini tak hanya diberikan kepada Tempo dan para pemandu siniar, melainkan juga “publik yang membutuhkan informasi terpercaya di tengah-tengah demokrasi yang buruk sekalipun.”

Selain memberikan penghargaan, Yayasan Pantau juga mengkritik Bocor Alus, terutama ketika membahas peran Iriana, istri Jokowi, guna melapangkan jalan Gibran Rakabuming menjadi calon wakil presiden. 

Ketika Bocor Alus mengupas soal Iriana, menurut Yuliana, Tempo seolah-olah “mengedepankan Iriana bergerak sendiri” yang baginya, “turut menyudutkan perempuan.” 

Ia berharap Tempo dapat memperhatikan kritikannya, sekaligus “mengevaluasi agar tak lagi ada peliputan yang merendahkan perempuan.”

Resah oleh Minimnya Pemberitaan 

Penghargaan Oktovianus Pogau mengimbuh nama Oktovianus Pogau, seorang wartawan asal Pulau Papua. 

Ia lahir di Sugapa, kini ibu kota Kabupaten Intan Jaya, Provinsi Papua Tengah pada 1992. 

Oktovianus meninggal pada 31 Januari 2016 di Jayapura, saat usianya memasuki 23 tahun. Ia berpulang setelah selama beberapa waktu dirawat secara intensif di sebuah rumah sakit akibat komplikasi paru-paru.

Pada Oktober 2011, Pogau melaporkan kekerasan terhadap ratusan warga Papua ketika berlangsung Kongres Rakyat Papua III di Jayapura. 

Kejadian itu menyebabkan tiga warga Papua meninggal terkena peluru aparat, sedangkan lima orang lainnya dipenjara dengan dugaan makar.

Tim investigasi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia [Komnas HAM] menemukan aparat telah melanggar, di antaranya hak bebas dari penyiksaan, hak atas rasa aman dan hak untuk hidup.

Oktovianus meliput peristiwa tersebut. Gelisah lantaran tak banyak media memberitakan pelanggaran oleh aparat, dua bulan kemudian ia turut menginisiasi berdirinya media daring Suarapapua.com.

Editor: Anastasia Ika

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kawan-kawan bisa berdonasi dengan cara klik di sini.

Terkini