Dewan Pers: Indeks Kemerdekaan Pers Merosot, Kekerasan dan Kriminalisasi Jadi Pemicu

Setelah enam tahun sebelumnya mencatat peningkatan, indeks tahun ini menunjukkan sebaliknya

Baca Juga

Floresa.co – Kemerdekaan pers Indonesia tahun ini mengalami penurunan signifikan, kontras dengan indeks beberapa tahun sebelumnya yang terus mencatat peningkatan.

Dalam hasil hasil survei Indeks Kemerdekaan Pers [IKP]  yang diluncurkan di Jakarta, Kamis, 31 Agustus, Dewan Pers menyatakan IKP nasional 2023 adalah 71,57, turun 6,30 poin jika dibandingkan dengan tahun lalu yang mencapai nilai 77,87. 

“Penurunan angka IKP ini merupakan yang pertama sejak enam tahun lalu,” kata Atmaji Sapto Anggoro, Ketua Komisi Pendataan, Penelitian, dan Ratifikasi Pers, Dewan Pers.

Pada tahun 2018, IKP adalah 69  (kategori “agak bebas”), meningkat menjadi 73,71 (kategori “cukup bebas”) pada 2019, lalu 75,27 pada 2020 dan 76,02 pada 2021.

Meskipun turun, IKP 2023 masih masuk kategori “baik” yang berarti secara nasional kemerdekaan pers berada dalam kondisi “cukup bebas.”

Secara teknis, survei IKP menilai kondisi kemerdekaan pers pada periode satu tahun sebelumnya. Dengan demikian, survei IKP 2023 mengukur kondisi kemerdekaan pers selama tahun 2022.

Atmaji Sapto Anggoro, Ketua Komisi Pendataan, Penelitian, dan Ratifikasi Pers Dewan Pers. (Dokumentasi Dewan Pers)

Survei tersebut mengukur kondisi kemerdekaan pers dengan 20 indikator dari tiga kategori, yakni lingkungan fisik politik, ekonomi dan hukum. 

Dipicu Kasus Kekerasan, Intervensi dan Kriminalisasi

“Kebebasan dari Kekerasan” dan  “Kebebasan dari Intervensi” politik yang turun sekitar 7 poin, dan “Independensi dari Kelompok Kepentingan Kuat” secara ekonomi yang turun 8 poin, menurut Dewan Pers, adalah faktor utama penurunan IKP 2023.

Selain itu, penurunan yang lebih besar, yakni sekitar 8 sampai 9 poin, terjadi pada indikator “Kriminalisasi dan Intimidasi Pers” dan “Etika Pers” di lingkungan hukum.

Sapto mengungkapkan, selama tahun 2022 masih terjadi kekerasan terhadap pers, baik terhadap wartawan maupun media. 

Kekerasan, jelasnya, terjadi di sejumlah daerah dalam bentuk kekerasan fisik maupun non-fisik, melalui sarana digital serta intervensi terhadap ruang redaksi, baik dari luar maupun dari dalam perusahaan media sendiri.

Sementara penurunan di lingkungan ekonomi, kata dia, disebabkan oleh ketergantungan media di banyak daerah pada kelompok-kelompok ekonomi kuat, di antaranya tampak dalam “kerja sama” berita berbayar dengan pemerintah daerah .

“Tak sedikit media yang mengandalkan pemasangan iklan dan berita berbayar pemerintah daerah, penggunaan APBD sebagai sumber pemasukan utama, sehingga mereka rentan terkooptasi oleh kepentingan pemerintah daerah setempat,” ungkapnya. 

Di samping itu, kata dia, survei IKP 2023 mendapati banyak perusahaan pers yang “merasa berat untuk membayar upah karyawan, termasuk wartawannya, minimal sesuai upah minimum provinsi.”

“Media seperti ini tidak memiliki bargaining position cukup kuat berhadapan dengan kekuatan ekonomi dan politik dari luar,” lanjutnya. 

Belum Merata di Setiap Provinsi

Selain mengukur IKP nasional, Dewan Pers juga mengadakan survei di level provinsi, dengan temuan kondisi kemerdekaan pers yang belum merata.

Dewan Pers menemukan rentang nilai yang cukup besar, sekitar 20 poin antara provinsi dengan nilai terendah dengan yang tertinggi.

Nilai IKP Provinsi tertinggi adalah 84,38 dan yang terendah 64,01, sementara nilai rata-rata dari 34 provinsi adalah 75,69.

Nilai rata-rata tersebut, yang menurun di 24 provinsi dan meningkat di 10 provinsi, turun 3,02 poin dibandingkan tahun 2022.

Kalimantan Timur mencatat nilai tertinggi (84,38), disusul Jawa Barat (83,02), Bali (82,58), Kalimantan Utara (982,42), dan Kalimantan Tengah (81,05).

IKP provinsi terendah diduduki Papua (64,01), Papua Barat (68,22), Lampung (69,76), Sumatra Selatan (70,83), dan DKI Jakarta (71,73).  

Harapan Dewan Pers

Ninik Rahayu, Ketua Dewan Pers mengharapkan, hasil survei ini dapat memberi gambaran yang sesungguhnya tentang kondisi kemerdekaan pers di Tanah Air. 

Ia mengatakan, selama lima tahun terakhir sejak 2018 hingga 2022, nilai IKP nasional cenderung meningkat. Artinya, situasi kemerdekaan pers direpresentasikan membaik. 

“Hal itu sempat memunculkan pertanyaan sejumlah kalangan, terutama apabila disandingkan dengan hasil survei IKP yang dilakukan lembaga internasional. Demikian pula bila dikaitkan dengan indeks demokrasi yang memberikan alarm untuk perbaikan sistemik yang memerlukan perhatian bersama,” ungkapnya. 

Ninik Rahayu, Ketua Dewan Pers berbicara saat peluncuran IKP 2023. (Dokumentasi Dewan Pers)

Ia juga mengingatkan bahwa pers saat ini menghadapi banyak tantangan berat. 

Selain kondisi ekonomi yang tidak mudah, kata Ninik, pers juga menghadapi perkembangan teknologi informasi, seperti kecerdasan buatan atau artificial intelligence, Chat GPT, yang menuntut penyikapan secara bijak dan kritis.

“Namun, yang paling penting, apapun tantangannya, pers harus tetap berpegang pada kode etik jurnalistik, agar tetap menjadi rujukan yang benar bagi publik,” ungkapnya

Acara peluncuran hasil survei IKP 2023 menghadirkan Ismail Hasani dari Setara Institute, Teguh Santosa dari Jaringan Media Siber Indonesia dan Nurul Azizah, Kabag Penum Humas Polri.

Ismail menyatakan nilai IKP 2023 yang sejalan dengan tren penurunan IKP global  memerlukan perhatian khusus untuk perbaikan ke depan, mengingat IKP Indonesia masih di bawah Malaysia dan Timor Leste.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kawan-kawan bisa berdonasi dengan cara klik di sini.

Terkini